Syamsuddin Simmau
Diach bukan penari sembarangan.
Ia adalah ratu penari. Penari
penakluk.
Rambutnya berkibas bagai kawat baja.
Matanya bagai kucing betina lapar.
Sepulang
menari, Diach melepas busananya satu-satu. Kancing atas kemejanya, kencing ke
dua, tiga, dan ke empat. Lepas. Jean berwarna hitam, ketat juga dibuka.
Kancing, lalu kancing ritsleting. Kaki kanan, lalu kaki kirinya dilepas. Diach
kini hanya pakaian dalamnya yang berwarna serba hitam. Dua luka seperti bekas
cakaran tergambar jelas diatas buah dadanya yang bagian kanan. Tampaknya luka
itu luka bekas cakaran. Busana putih dan jeans hitam yang menemaninya seharian
tergeletak di atas restbang yang ditutup seprei putih. Diach perempuna yang tak
mengenal lelah.
Telepon genggam
yang tersimpan dalam tas tangannya yang berwarna coklat berdering. Siapa ya ?
Sekilas Diach memperhatikan layar teleponnya. Lalu sejenk dia mencibir.
“Iya, Pak.
Saya siap. Atur saja harganya. Tapi ingat harganya. Saya tidak setuju jika
tidak sesuai dengan harga yang telah saya tetapkan,” nada Dia tegas. Entah
siapa yang berbicara diseberang.
“Ini profesi
saya. Saya siap melakukan apa saja yang penting sesuai harga. Oke, Pak. Saya
siap malam ini,” sejenak Diach termenung lalu telepon pun disimpan di atas satu-satunya
meja rias yang ada dalam kamarnya.
Diach bukan
penari sembarangan. Ia adalah ratu penari. Penari penakluk. Rambutnya berkibas
bagai kawat baja. Matanya bagai kucing betina lapar.
Malam tiba.
Diach acuh. Segera saja ia mengambil pakaian di dalam lemari kayu yang juga
satu-satunya dalam kamar Diach. Pakain dalam hitam kembali menutup organ
vitalnya. Lalu baju hitam, berlobang tanpa lengan. Entah apa nama model baju
itu. Stocking berna coklat menutup kulit kakinya yang mulus. Lalu, jeans kulit
menutup kakinya hingga sedikit di bawah pusar. Rambutnya digerai, masih basah.
Parfum dan sedikit make up. Diach simple. Tapi jelas dari kedua bola mata di
wajahnya tergambar sesuatu yang begitu misterius. Karena mata sulit berdusta.
Diach menataph
wajahnya. Merapikan lipstiknya. Lalu, pintupun dibuka. Diach memandang
sekeliling. Cahaya lampu dilorong remang-remang. Diach melangkah santai. Tas
tangan hitam kini menemaninya. Diach berjalan seolah tanpa beban. Tapi mata
sulit berdusta.
Tujuh anak
muda bercengkrama di lorong. Bau tuak bercampur bir menyebarkan aroma khas.
Diach datang. Anak muda yang rata-rata bertampang sangar itu tiba-tiba berdiri.
Mereka serempak menyapanya.
“Malam, Mbak.
Mau kerja,” para muda itu begitu hormat. “Malam. Biasa cari duit,” Diach
santai. Ada apa ? Ah, ini luar biasa. Biasanya, pemuda selalu menggoda
perempuan, apalagi perempuan secantik Diach. Ada apa ya ?
“Hati-hati,
Mbak,” tambah seorang pemuda berambut cepak.
“Terima
kasih,” Diach pun berlalu yang masih tersisah adalah bau parfumnya yang
bercampur dengan aroma laut. Diach tianggal di rumah kontrakan dipinggir, atau
tepatnya di atas laut yang telah ditimbun. Diach baru tinggal di tempat itu.
Kira-kira satu bulan yang lalu.
Taxi meluncur.
Perempuan misterius itu pun bersenandung. Tapi lagi-lagi, nadanya tertahan. Ada
banyak misteri yang menyumbat tenggorokannya. Ah. Diach mendesah.
Diach bukan
penari sembarangan.
Ia adalah
ratu penari. Penari penakluk. Rambutnya berkibas bagai kawat baja.
Matanya
bagai kucing betina lapar itu memandang
Sebuah tempat
hiburan di bagian bawah hotel berbintang. Perempuan bermata kucing betina lapar
itu pun mengambil telepon genggamnya.
“Saya sudah
datang, Pak. Di depan pintu lif. Iya saya menunggunya. Apa pak ? Dia mengenakan
kemeja berwarna hijau ? Iya Pak. Dasi Merah berstrep putih ? Iya, siap Pak.
Bapak tenang saja. Tapi ingat, pak harganya. Okey,” Perempuan berambut baja itu
pun menutup pembicaraan.
Dua menit
berlalu. Seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun melangkah. Dia mengenakan
kemeja Berwarna Hijau dengan dasi merah berstrek putih. Dua body guard berjalan
di kiri kanannya. Pintu, tempat hiburanpun terbuka.
Diach, melihat
jam tangan di lengan kirinya. Tapi belum sempat waktu berbicara padanya, lelaki
itupun menyapa.
“Hai, Di,”
lelaki itu tersenyum ramah seraya mengulurkan tangan. “Masih ingat aku ?”
lanjutnya.
Diach tertegun
sejenak. Jelas ia keget. Tapi ia lalu tersenyum manis seperti tak ada apa-apa.
“Hai. Iya,
Pak. Saya masih kenal,” Diach menjawab singkat. Tapi jelas perempuan cantik itu
menyimpan sesuatu.
“Kamu tidak
senang bertemu dengan aku setelah sekian tahun tidak bertemu, Di ?” lagi-lagi
lelaki itu bertanya. Sepertinya, ia sedikit kecewa. “Kita perlu bicara banyak,
Di. Keluarlah dari duniamu ini segera,” lelaki bertambang pengusaha itu
menggenggam lengan Diach. Ah, melankolis. Seperti sinetron Indonesia saja
layaknya.
“Maaf, Pak.
Saya pekerja professional. Saya pikir ini bukan tempat yang anda sepakati
dengan bos saya, bukan. Lagipula menurut bos saya, kita hanya berdua. Jadi tanpa
pengawal. Oke pak. Ingat ini bukan tempat yang disepakati,”
“Tapi, Di.
Bukan itu yang aku mau. Aku hanya ingin bicara denganmu. Sekilan tahun aku
mencarimu tapi baru sekarang bisa ketemu. Aku ingin mengajakmu…..”
“Maaf, Pak.
Kalau anda tidak memenuhi kesepakatan maka perjanjian pun batal. Saya harus
menelpon bos saya sekarang. Dan saya harus menunggu tugas yang lain.” Diach
menegaskan perjanjiannya.
“Baiklah,”
lelaki itu lalu mengajak dia ke mobil mewah lelaki itu. Perempuan penari itupun
melangkah. Sementara dua bodyguard yang menyertai lelaki berwajah bersih itu
hanya bisa memandang kepergian bosnya bersama Diach.
Kamar 607 di
sebuah hotel berbintang. Dari jendela kaca tampak jelas kerlap kerlip lampu
nelayan di lautan. Sementara Diach, telah siap. Diah kini hanya mengenakan
pakaian dalam hitamnya. Musik padang pasir layaknya musik penari pusar
mengalun. Diach pun menari. Menari. Terus menari.
“Diach. Aku
Budi Diah. Apakah kamu lupa siapa aku ? Aku tidak butuh tarianmu, tapi aku
butuh cintamu Diach. Cinta yang pernah kamu berikan padaku dulu,” lelaki itu
mematikan MP3 yang mengiringi tarian Diach. “Aku tidak menyangka kalu kamu
tersesat sejauh ini, Di. Aku masih mencintaimu. Percayalah, Di,” Lelaki itu
mengguncang baru Diach yang tetap tenang dan tersenyum manis. Tak ada air mata.
“Pak Budi.
Anda telah membayar saya untuk menari. Saya melakukan tarian saya. Apakah anda
tidak suka tarian saya ?” balas Diach tenang.
“Diach…..”
Diach
buru-buru menutup bibir lelaki itu dengan jari telunjuk menghadap keatas.
“Sssst. Ingat,
Pak Budi. Saya hanya seorang penari. Tidak lebih dari itu. Saya tidak memiliki
cinta lagi. Bahkan saya tidak lagi memiliki air mata. Aku bahkan tidak mengenal
anda,” lanjut Diach seraya mengambil tempat duduk di dekat jendela.
“Diach…bukankah
tadi kamu mengaku….”
“Betul pak Budi. Tadi aku mengaku
mengenalmu. Karena kamu mirip sekali dengan mantan pacarku yang 15 tahun lalu
memperkosaku. Ia merenggut keperawananku lalu menikah dengan perempuan lain.
Lalu mantan pacarku itu bersenang-senang. Dan ketika aku hamil, mantan pacarku
itu menyuruhku menggugurkan kandunganku. Kandungan yang mengandung bakal
bayinya sendiri. Apakah mantan pacarku itu adalah anda, Pak Budi ?” Nada suara
Diach meninggi seraya pelan-pelan membalikkan wajahnya ke wajah lelaki yang
bernama Budi itu.
“Tapi, Di…”
“Pak, Budi.
Mantan Pacarku itu lalu memaksaku meninggalkan kota kelahiranku. Setelah kedua
orang tuanya tidak ingin melihat wajahku lagi. Mantan pacarku tidak tahu,
alangkah sakitnya jika menggugurkan kandungan secara paksa. Sakit, pak Budi.
Mantan pacarku itu juga tidak tahu alangkah sakitnya berpisah dengan keluarga,”
napas Diach memburu.
“Diach, ini
aku. Aku akan menghapus perbuatanku yang telah lalu. Aku minta maaf, Di,” Budi
duduk springbed empuk.
“Pak Budi,
jangan salah faham. Ini bukan kesalahan anda. Ini berbuatan mantan pacarku
dulu. Mantan pacarku itu juga tidak tahu bahwa salah seorang teman dekatnya
juga telah memperkosa aku setelah berpura-pura ingin menolongku. Lihatlah pak
Budi…” Diach berdiri lalu membalikkan badannya tepat menghadap ke wajah Budi.
“Bekas luka
cakar yang diatas ini adalah luka yang diakibatkan oleh mantan pacarku ketika
ia memperkosaku. Ia seperti harimau kelaparan,” nada Diach semakin meningggi.
“Luka yang
dibagian bawah ini adalah bekas luka gores teman dekat mantan pacarku. Ia
mengancamku dengan sebilah belati, Pak Budi. Tapi sudalah, nikmatilah tarianku
ini,” Diach bersiap menari.
“Diach siapa
temanku yang telah memperkosamu itu. Katakan Diach, aku akan mencarinya. Aku
akan memberinya pelajaran,” Budi geram seraya berdiri mendekati Diach.
“Pak Budi.
Saya hanya seorang penari. Lelaki itu bukan teman Pak Budi. Lelaki itu adalaha
teman mantan pacar saya. Saya dengar dia kini sedang menjabat sebagai anggota
dewan. Tapi entah anggota dewan apa. Saya tidak tahu. Tapi sudalah,” Diach
melangkah mengambil pakaiannya.
“Diach,
dengarkan aku….”
“Maaf, Pak.
Waktu anda sudah habis. Maaf kalau anda tidak menyukai tarian saya. Terima
kasih telah membayar saya. Tapi sayang, saya tidak dapat menari dengan baik di
depan bapak karena bapak lebih banyak bicara,” sambil berbicara Diach merapikan
pakaiannnya.
“Diach. Apakah
kamu tidak perduli lagi padaku ? Diach, jangan perlakukan aku dengan cara
begini,” Budi memegang erat lengan
Diach. Tapi secepat kilat, Diach melepaskan tangannya bahkan perempuan berambut
baja itu segera memlintir lengan Budi.
“ Diach ?!”
Budi heran. Diach yang cantik ternyata memiliki kekuatan yang begitu besar.
Budi terperangah memandang Diach yang berdiri tegak di depannya.
“Pak Budi.
Saya hanya seorang penari. Ingatlah anak istri Pak Budi di rumah. Saya telah
merasakan begitu banyak sakit. Jangan sampai anak istri Pak Budi juga merasakan
kepedihan akibat ulah Pak Budi yang seperti ulah mantan pacar saya itu,” Diach
pun berlalu.
Lelaki yang bernama
Budi itu masih memegangi pergelangan tangannya yang serasa remuk dipelintir
oleh Diach—perempuan yang bertahun-tahun dicarinya—tapi kini perempuan itu
telah berubah.
Diach bukan
penari sembarangan.
Ia adalah
ratu penari. Penari penakluk.
Rambutnya
berkibas bagai kawat baja.
Matanya
bagai kucing betina lapar.
Jam
menunjukkan pukul 10 pagi. Diach baru terjaga. Ia bergegas ke kamar mandi yang
hanya berjarak satu meter dari kamar tidurnya. Diach kembali seperti hari
kemarin. Dia tampak tenang meski banyak duka dalam hidupnya.
Seperti biasa,
perempuan cantik itu sangat acuh jika hendak mengenakan busana. Ia tidak
menutupi tubuhnya. Ia hanya bergegas mengenakan busana yang diinginkannya.
Diach merasa
aneh. Ada yang lain hari ini. Karena suara sorak sorai dan caci maki masyarakat
terdengar riuh. Perempuan berambut baja itu pun melangkah keluar kama.
Diach kaget.
Ratusan warga sedang berhadap hadapan dengan petugas trantib kota. Bu Nino yang
satu bulan ini menjadi tempat Diach bercerita juga berteriak-teriak. Bahkan ia
mengacungkan pisau dapur menantang petugas. Diach menghabur masuk kedalaman
keruman. Ia mendekati Bu Nino.
“Kenapa, Mak.
Ada Apa ?” Diach bertanya kepada Bu Nino. Perempuan sepuh itupun berbalik.
Hampir saja Diach terkena sabetan pisau Bu Nino. Karena perempuan tua itu
mengira Diach petugas trantib.
“Hoe, kurang
ajar. Ini tanah tanah negara. Tanah rakya juga. Kami sudah tinggal disini sejak
lama. Kenapa sekarang baru kalian gusur. Kami berhak tinggal ditanah ini. Kami
akan tinggal disini selamanya,” teriak Bu Nino mengumpat. “Kalian hanya
mementingkan orang kaya, sementara kami tidak kalian perhatikan. Kami juga
memiliki hak hidup,” teriak Bu Nino lagi seperti demonstran ketika hendak
menurunkan Pak harto dari kekuasaannya.
“Berani
sekali, Bu Nino,” gumam Diach seraya memandang garang ke arah petugas trantib.
Tiba-tiba mata Diach melihat seorang lelaki yang sangat dikenalnya. Lelaki yang
telah mengukir duka dalam kehidupannya. Ternyata lelaki itu adalah pengusaha
real estat yang hendak menggusur pemukiman warga.
Diach pun
berteriak. Lawan, lawan terus lawan ketidak adilan. Diach sang penari. Menari
dalam duka zaman.
Diach bukan
penari sembarangan.
Ia ratu penari.
Penari penakluk.
Rambutnya berkibas bagai kawat baja.
Matanya
bagai kucing betina lapar.
No comments:
Post a Comment