Saturday, November 24, 2012

Sang Penari



Syamsuddin Simmau

Diach bukan penari sembarangan.
Ia adalah ratu penari. Penari penakluk.
Rambutnya berkibas bagai kawat baja.
Matanya bagai kucing betina lapar.

Sepulang menari, Diach melepas busananya satu-satu. Kancing atas kemejanya, kencing ke dua, tiga, dan ke empat. Lepas. Jean berwarna hitam, ketat juga dibuka. Kancing, lalu kancing ritsleting. Kaki kanan, lalu kaki kirinya dilepas. Diach kini hanya pakaian dalamnya yang berwarna serba hitam. Dua luka seperti bekas cakaran tergambar jelas diatas buah dadanya yang bagian kanan. Tampaknya luka itu luka bekas cakaran. Busana putih dan jeans hitam yang menemaninya seharian tergeletak di atas restbang yang ditutup seprei putih. Diach perempuna yang tak mengenal lelah.
Telepon genggam yang tersimpan dalam tas tangannya yang berwarna coklat berdering. Siapa ya ? Sekilas Diach memperhatikan layar teleponnya. Lalu sejenk dia mencibir.
“Iya, Pak. Saya siap. Atur saja harganya. Tapi ingat harganya. Saya tidak setuju jika tidak sesuai dengan harga yang telah saya tetapkan,” nada Dia tegas. Entah siapa yang berbicara diseberang.
“Ini profesi saya. Saya siap melakukan apa saja yang penting sesuai harga. Oke, Pak. Saya siap malam ini,” sejenak Diach termenung lalu telepon pun disimpan di atas satu-satunya meja rias yang ada dalam kamarnya.
Diach bukan penari sembarangan. Ia adalah ratu penari. Penari penakluk. Rambutnya berkibas bagai kawat baja. Matanya bagai kucing betina lapar.
Malam tiba. Diach acuh. Segera saja ia mengambil pakaian di dalam lemari kayu yang juga satu-satunya dalam kamar Diach. Pakain dalam hitam kembali menutup organ vitalnya. Lalu baju hitam, berlobang tanpa lengan. Entah apa nama model baju itu. Stocking berna coklat menutup kulit kakinya yang mulus. Lalu, jeans kulit menutup kakinya hingga sedikit di bawah pusar. Rambutnya digerai, masih basah. Parfum dan sedikit make up. Diach simple. Tapi jelas dari kedua bola mata di wajahnya tergambar sesuatu yang begitu misterius. Karena mata sulit berdusta.
Diach menataph wajahnya. Merapikan lipstiknya. Lalu, pintupun dibuka. Diach memandang sekeliling. Cahaya lampu dilorong remang-remang. Diach melangkah santai. Tas tangan hitam kini menemaninya. Diach berjalan seolah tanpa beban. Tapi mata sulit berdusta.
Tujuh anak muda bercengkrama di lorong. Bau tuak bercampur bir menyebarkan aroma khas. Diach datang. Anak muda yang rata-rata bertampang sangar itu tiba-tiba berdiri. Mereka serempak menyapanya.
“Malam, Mbak. Mau kerja,” para muda itu begitu hormat. “Malam. Biasa cari duit,” Diach santai. Ada apa ? Ah, ini luar biasa. Biasanya, pemuda selalu menggoda perempuan, apalagi perempuan secantik Diach. Ada apa ya ?
“Hati-hati, Mbak,” tambah seorang pemuda berambut cepak.
“Terima kasih,” Diach pun berlalu yang masih tersisah adalah bau parfumnya yang bercampur dengan aroma laut. Diach tianggal di rumah kontrakan dipinggir, atau tepatnya di atas laut yang telah ditimbun. Diach baru tinggal di tempat itu. Kira-kira satu bulan yang lalu.
Taxi meluncur. Perempuan misterius itu pun bersenandung. Tapi lagi-lagi, nadanya tertahan. Ada banyak misteri yang menyumbat tenggorokannya. Ah. Diach mendesah.
Diach bukan penari sembarangan.
Ia adalah ratu penari. Penari penakluk. Rambutnya berkibas bagai kawat baja.
Matanya bagai kucing betina lapar itu memandang
Sebuah tempat hiburan di bagian bawah hotel berbintang. Perempuan bermata kucing betina lapar itu pun mengambil telepon genggamnya.
“Saya sudah datang, Pak. Di depan pintu lif. Iya saya menunggunya. Apa pak ? Dia mengenakan kemeja berwarna hijau ? Iya Pak. Dasi Merah berstrep putih ? Iya, siap Pak. Bapak tenang saja. Tapi ingat, pak harganya. Okey,” Perempuan berambut baja itu pun menutup pembicaraan.
Dua menit berlalu. Seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun melangkah. Dia mengenakan kemeja Berwarna Hijau dengan dasi merah berstrek putih. Dua body guard berjalan di kiri kanannya. Pintu, tempat hiburanpun terbuka.
Diach, melihat jam tangan di lengan kirinya. Tapi belum sempat waktu berbicara padanya, lelaki itupun menyapa.
“Hai, Di,” lelaki itu tersenyum ramah seraya mengulurkan tangan. “Masih ingat aku ?” lanjutnya.
Diach tertegun sejenak. Jelas ia keget. Tapi ia lalu tersenyum manis seperti tak ada apa-apa.
“Hai. Iya, Pak. Saya masih kenal,” Diach menjawab singkat. Tapi jelas perempuan cantik itu menyimpan sesuatu.
“Kamu tidak senang bertemu dengan aku setelah sekian tahun tidak bertemu, Di ?” lagi-lagi lelaki itu bertanya. Sepertinya, ia sedikit kecewa. “Kita perlu bicara banyak, Di. Keluarlah dari duniamu ini segera,” lelaki bertambang pengusaha itu menggenggam lengan Diach. Ah, melankolis. Seperti sinetron Indonesia saja layaknya.
“Maaf, Pak. Saya pekerja professional. Saya pikir ini bukan tempat yang anda sepakati dengan bos saya, bukan. Lagipula menurut bos saya, kita hanya berdua. Jadi tanpa pengawal. Oke pak. Ingat ini bukan tempat yang disepakati,”
“Tapi, Di. Bukan itu yang aku mau. Aku hanya ingin bicara denganmu. Sekilan tahun aku mencarimu tapi baru sekarang bisa ketemu. Aku ingin mengajakmu…..”
“Maaf, Pak. Kalau anda tidak memenuhi kesepakatan maka perjanjian pun batal. Saya harus menelpon bos saya sekarang. Dan saya harus menunggu tugas yang lain.” Diach menegaskan perjanjiannya.
“Baiklah,” lelaki itu lalu mengajak dia ke mobil mewah lelaki itu. Perempuan penari itupun melangkah. Sementara dua bodyguard yang menyertai lelaki berwajah bersih itu hanya bisa memandang kepergian bosnya bersama Diach.
Kamar 607 di sebuah hotel berbintang. Dari jendela kaca tampak jelas kerlap kerlip lampu nelayan di lautan. Sementara Diach, telah siap. Diah kini hanya mengenakan pakaian dalam hitamnya. Musik padang pasir layaknya musik penari pusar mengalun. Diach pun menari. Menari. Terus menari.
“Diach. Aku Budi Diah. Apakah kamu lupa siapa aku ? Aku tidak butuh tarianmu, tapi aku butuh cintamu Diach. Cinta yang pernah kamu berikan padaku dulu,” lelaki itu mematikan MP3 yang mengiringi tarian Diach. “Aku tidak menyangka kalu kamu tersesat sejauh ini, Di. Aku masih mencintaimu. Percayalah, Di,” Lelaki itu mengguncang baru Diach yang tetap tenang dan tersenyum manis. Tak ada air mata.
“Pak Budi. Anda telah membayar saya untuk menari. Saya melakukan tarian saya. Apakah anda tidak suka tarian saya ?” balas Diach tenang.
“Diach…..”
Diach buru-buru menutup bibir lelaki itu dengan jari telunjuk menghadap keatas.
“Sssst. Ingat, Pak Budi. Saya hanya seorang penari. Tidak lebih dari itu. Saya tidak memiliki cinta lagi. Bahkan saya tidak lagi memiliki air mata. Aku bahkan tidak mengenal anda,” lanjut Diach seraya mengambil tempat duduk di dekat jendela.
“Diach…bukankah tadi kamu mengaku….”
“Betul pak Budi. Tadi aku mengaku mengenalmu. Karena kamu mirip sekali dengan mantan pacarku yang 15 tahun lalu memperkosaku. Ia merenggut keperawananku lalu menikah dengan perempuan lain. Lalu mantan pacarku itu bersenang-senang. Dan ketika aku hamil, mantan pacarku itu menyuruhku menggugurkan kandunganku. Kandungan yang mengandung bakal bayinya sendiri. Apakah mantan pacarku itu adalah anda, Pak Budi ?” Nada suara Diach meninggi seraya pelan-pelan membalikkan wajahnya ke wajah lelaki yang bernama Budi itu.
“Tapi, Di…”
“Pak, Budi. Mantan Pacarku itu lalu memaksaku meninggalkan kota kelahiranku. Setelah kedua orang tuanya tidak ingin melihat wajahku lagi. Mantan pacarku tidak tahu, alangkah sakitnya jika menggugurkan kandungan secara paksa. Sakit, pak Budi. Mantan pacarku itu juga tidak tahu alangkah sakitnya berpisah dengan keluarga,” napas Diach memburu.
“Diach, ini aku. Aku akan menghapus perbuatanku yang telah lalu. Aku minta maaf, Di,” Budi duduk springbed empuk.
“Pak Budi, jangan salah faham. Ini bukan kesalahan anda. Ini berbuatan mantan pacarku dulu. Mantan pacarku itu juga tidak tahu bahwa salah seorang teman dekatnya juga telah memperkosa aku setelah berpura-pura ingin menolongku. Lihatlah pak Budi…” Diach berdiri lalu membalikkan badannya tepat menghadap ke wajah Budi.
“Bekas luka cakar yang diatas ini adalah luka yang diakibatkan oleh mantan pacarku ketika ia memperkosaku. Ia seperti harimau kelaparan,” nada Diach semakin meningggi.
“Luka yang dibagian bawah ini adalah bekas luka gores teman dekat mantan pacarku. Ia mengancamku dengan sebilah belati, Pak Budi. Tapi sudalah, nikmatilah tarianku ini,” Diach bersiap menari.
“Diach siapa temanku yang telah memperkosamu itu. Katakan Diach, aku akan mencarinya. Aku akan memberinya pelajaran,” Budi geram seraya berdiri mendekati Diach.
“Pak Budi. Saya hanya seorang penari. Lelaki itu bukan teman Pak Budi. Lelaki itu adalaha teman mantan pacar saya. Saya dengar dia kini sedang menjabat sebagai anggota dewan. Tapi entah anggota dewan apa. Saya tidak tahu. Tapi sudalah,” Diach melangkah mengambil pakaiannya.
“Diach, dengarkan aku….”
“Maaf, Pak. Waktu anda sudah habis. Maaf kalau anda tidak menyukai tarian saya. Terima kasih telah membayar saya. Tapi sayang, saya tidak dapat menari dengan baik di depan bapak karena bapak lebih banyak bicara,” sambil berbicara Diach merapikan pakaiannnya.
“Diach. Apakah kamu tidak perduli lagi padaku ? Diach, jangan perlakukan aku dengan cara begini,”  Budi memegang erat lengan Diach. Tapi secepat kilat, Diach melepaskan tangannya bahkan perempuan berambut baja itu segera memlintir lengan Budi.
“ Diach ?!” Budi heran. Diach yang cantik ternyata memiliki kekuatan yang begitu besar. Budi terperangah memandang Diach yang berdiri tegak di depannya.
“Pak Budi. Saya hanya seorang penari. Ingatlah anak istri Pak Budi di rumah. Saya telah merasakan begitu banyak sakit. Jangan sampai anak istri Pak Budi juga merasakan kepedihan akibat ulah Pak Budi yang seperti ulah mantan pacar saya itu,” Diach pun berlalu.
Lelaki yang bernama Budi itu masih memegangi pergelangan tangannya yang serasa remuk dipelintir oleh Diach—perempuan yang bertahun-tahun dicarinya—tapi kini perempuan itu telah berubah.
Diach bukan penari sembarangan.
Ia adalah ratu penari. Penari penakluk.
Rambutnya berkibas bagai kawat baja.
Matanya bagai kucing betina lapar.
Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Diach baru terjaga. Ia bergegas ke kamar mandi yang hanya berjarak satu meter dari kamar tidurnya. Diach kembali seperti hari kemarin. Dia tampak tenang meski banyak duka dalam hidupnya.
Seperti biasa, perempuan cantik itu sangat acuh jika hendak mengenakan busana. Ia tidak menutupi tubuhnya. Ia hanya bergegas mengenakan busana yang diinginkannya.
Diach merasa aneh. Ada yang lain hari ini. Karena suara sorak sorai dan caci maki masyarakat terdengar riuh. Perempuan berambut baja itu pun melangkah keluar kama.
Diach kaget. Ratusan warga sedang berhadap hadapan dengan petugas trantib kota. Bu Nino yang satu bulan ini menjadi tempat Diach bercerita juga berteriak-teriak. Bahkan ia mengacungkan pisau dapur menantang petugas. Diach menghabur masuk kedalaman keruman. Ia mendekati Bu Nino.
“Kenapa, Mak. Ada Apa ?” Diach bertanya kepada Bu Nino. Perempuan sepuh itupun berbalik. Hampir saja Diach terkena sabetan pisau Bu Nino. Karena perempuan tua itu mengira Diach petugas trantib.
“Hoe, kurang ajar. Ini tanah tanah negara. Tanah rakya juga. Kami sudah tinggal disini sejak lama. Kenapa sekarang baru kalian gusur. Kami berhak tinggal ditanah ini. Kami akan tinggal disini selamanya,” teriak Bu Nino mengumpat. “Kalian hanya mementingkan orang kaya, sementara kami tidak kalian perhatikan. Kami juga memiliki hak hidup,” teriak Bu Nino lagi seperti demonstran ketika hendak menurunkan Pak harto dari kekuasaannya.
“Berani sekali, Bu Nino,” gumam Diach seraya memandang garang ke arah petugas trantib. Tiba-tiba mata Diach melihat seorang lelaki yang sangat dikenalnya. Lelaki yang telah mengukir duka dalam kehidupannya. Ternyata lelaki itu adalah pengusaha real estat yang hendak menggusur pemukiman warga.
Diach pun berteriak. Lawan, lawan terus lawan ketidak adilan. Diach sang penari. Menari dalam duka zaman.
Diach bukan penari sembarangan.
 Ia ratu penari.
 Penari penakluk.
 Rambutnya berkibas bagai kawat baja.
Matanya bagai kucing betina lapar.

Makassar, 11 September 2004

No comments: