Reportase

Makassar, 24 Desember 2012. Gerimis mulai menjelma hujan. Jalan di depan kantor Lembaga Perlindugan Anak Sulawesi Selatan (LPA) Sulsel masih basah, bahkan sesekali gerimis menderas. Biarlah gerimis, biarlah hujan. Shooting dokumenter program Yapta-U, LPA Sulsel dan ILO IPEC tetap dilakukan. Gufran H. Kordi menjadi salah seorang narasumber kunci kali ini. Irwan, Suhud Madjid, Makmur telah mendahuli saya tiba di kantor LPA Sulsel sementara Risnawati (Risna) dan Ayustina (Ayu) tiba beberapa menit setelah saya.


Bagi saya, yang terpenting dari produksi dokumenter ini adalah saya masih mendapat kesempatan untuk terus belajar meningkatkan pemahaman dangkal saya tentang film dokumenter. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah saya bisa belajar dari Irwan, Ayu, Risna, Suhud, Makmur, Gufran dan Yusuf (Anto) yang datang usai shooting. Saya sungguh belajar dari tawa dan canda mereka semua. Saya merasa bahwa masih ada kebahagiaan di negeri yang dicabik-cabik oleh beragam patologi sosial.

Ketika shooting berlangsung, beberapa kali saya memandangi jendela yang membantu pencahayaan kamera sederhana yang kami gunakan. Beberapa berkas cayah menerpa wajah Gufran yang sedang menjelaskan tentang pentingnya penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (BPTA) di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Tamangapa, Antang. ketika itu, saya kembali memandang ke jendela kaca, gerimis kembali menderas tapi berkas cahaya yang menerpa wajah Gufran tidak berubah. Saya berpikir bahwa berkas-berkas cahaya itu adalah sisi lain dari penjelasan Gufran. Sepertinya, penjelasan Gufran yang disampaikan dengan sedikit aksen Ternate dan didominasi oleh aksen Makassar yang mengental itu menjelma menjelma berkas-berkas cahaya melintasi gerimis yang sesekali menjelma hujan itu.

Beberapa scene (baca sin) telah kami selesaikan. Canda kami pun melebar setelah Suhud melakukan transfer data dari dua kamera shooting dan satu kamera foto ke dalam laptop Risna yang kami gunakan sebagai storage data. Kami bercanda tentang Singapura yang dimuat di Harian Kompas sebagai negara yang penduduknya paling tidak bahagia di dunia ini. Kami juga disuguhi dengan peristiwa nasi bungkus Ayu yang tidak ada lauknya padahal Risna dan Ayu sendiri yang pergi membeli ransum untuk makan siang kami hari ini.Bukan hanya sampai pada kasus nasi bungkus Ayu, kami bahkan berdiskusi tentang Thomas A. Edison, teori evolusi Darwin. Irwan sampai pada ide mendirikan perguruan tinggi alternatif di Antang. Diskusi tentang teori teori ini bermula dari Irwan yang menanyakan banyak hal. Irwan memang semakin pandai bertanya. Katanya, itu karena ia sudah makan ikan goreng pada santap siang kami.

Tak terasa, Waktu telah menunjuk pukul 15 kurang 5 menit. Kami lalu bergegas ke Sanggar Kegiatan Warga (SKW) Yapta-U untuk melanjutkan shooting dengan Makmur. Sebagai pelaksana program kerjasama Yapta-U, LPA Sulsel dan ILO IPEC, Makmur menjelaskan banyak beragam program (silahkan nonton nanti filmnya) yang dilakukan sebagai upaya untuk menghapuskan BPTA di TPAS Antang.

Usai shooting di Taman Baca Pabbata (bagian dari SKW Yapta-U), kami menuju ke bukit sampah tempat sampah-sampah warga Kota Makassar di tumpah. Bagi saya tempat ini tidak asing karena saya memang sudah beberapa kali masuk ke tempat ini. Hanya, baru kali ini saya masuk usai hujan menderas. Jalan sungguh berlumpur, mobil boks pengangkut sampah berlalu lalang, buldoser meraung meratakan sampah yang ditumpah dari truk yang datang silih berganti, belasan pemulung "mengganco" sampah-sampah yang bernilai ekonomi, di antara pemulung itu masih ada anak-anak. Sungguh, disini saya kembali disuguhi pemandangan yang ironi. Sebahagian rakyat negeri yang kaya raya ini menggantungkan hidup dari sampah. Bahkan dengan mata telanjang saya melihat ada pemulung yang memungut beberapa bungkus mentega kadaluarsa yang telah dibuang untuk dibawah pulang ke rumah guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Sungguh, hanya Allah yang Maha Kaya. Di balik rahmanNYA yang dilimpahkan ke negeri ini berupa kekayaan alam yang melimpah ruah, sebahagian rakyat negeri ini justru hidup sengsara dengan segala keterbatasan. Sementara di sisi lainnya, para pejabat negera dan politisi merasa bangga menjadi koruptor. Semoga Allah memafkan dosa-dosa kami.

Masih banyak yang hendak saya kisahkan disini tapi saya harus berhenti karena saya harus menelpon Kak Rasyid (Abdul Rasyid Idris) dan Kak Nanna (Rusnawati Idris). Dua orang, suami istri, yang sudah kami anggap sebagai kakak kami ini telah mengundang kami untuk menikmati hidangan "songkolo" hitam hari Rabu besok (25 Desember) di rumahnya di Bulurokeng. Semoga songkolo hitam, esok, bisa meredam sedikit gejolak sensitifitas saya tentang negeri ironi ini.

No comments: