Syamsuddin Simmau
Pak
Uding termangu. Matanya menerawang. Sesekali lelaki berusia 65 tahun itu
mendesah. Bukan lantaran menghabiskan tiga bungkus rokok setiap hari. Tapi
dadanya memang begemuruh. Ada yang mengganjal. Pikirannya kusut. Matanya merah.
Sudah tiga hari ia tak bisa memejamkan mata.
Bagaimana
tidak, pernikahan anak semata wayangnya dibatalkan secara sepihak. “Lelaki
bangsat !” geramnya. Lagi-lagi Pak Uding membuang napas panjangnya. Jemari
tuanya bergetar.
*
* *
Seorang
pemuda tanggung, kelahiran Makassar, sedang berjalan gontai. Dialah
Uding. Matanya merah. Usianya 35 tahun. Jagoan yang menguasai Pelabuhan
Makassar. Tak berbeda dengan hari dan malam yang dilaluinya, saban hari ia dan
teman-temannya menghabiskan minimal tiga jergen ballo. Sementara,
sebilah badik lompo battang selalu setia menemaninya. Katanya, kawan
lelaki adalah besi. Jadi badik adalah kawan sejati lelaki Makassar.
Hari
menjelang subuh, kira-kira pukul 04.30. Uding melangkah gontai. Rumah tempat Uding
menginap tidak jauh dari pelabuhan. Rumah itu, menyerupai gudang. Jelas
bangunan itu berciri bangunan peninggalan Belanda. Entah bangunan itu milik
siapa. Teman-teman Uding tak tahu. Yang mereka tahu, pahlawan dan pelindung
mereka Uding itu berdiam di bangunan itu.
Uding
masih gontai. Matanya berkunang-kunang. Terasa berat. Tapi ia tidak muntah
layaknya peminum junior. Sejenak Uding bergumam, “Fatimang, Fatimang….” Udin
lelap.
Pukul
10.30 pagi. Uding menggeliat, mengerang. “Fatimang…” lagi-lagi ia bergumam.
Bagaiman tidak, I fatimang putri Haji Hasan adalah perempuan tercantik yang
pernah di kenalnya. Fatimang sendiri, baru 7 hari pindah dan bermukim dengan
ayahnya, ya Haji Hasan itu di bangunan sebelah bangunan yang di tempati Uding.
Haji
Hasan adalah pedagang Bugis. Kabarnya, istrinya meninggal ketika Pasukan Westerling
membantai orang-orang Bugis Makassar. Anak semata wayangnya, Fatimang lah yang
selama ini mendampingi Haji Hasan.
Setiap
kali menyebut nama Fatimang, birahi Uding berdesir. Apalagi setiap pagi ketika
Uding menuju ke temat mangkalnya, ia pasti berpapasan dengan I Fatimang. Gadis
berdarah bugis itu tak ayal lagi membuat dada Uding yang berbulu itu bergelora.
Bergelora bak gelora selat Makassar.
Uding
bergegas. Ia membasuh wajahnya yang agak brewokan itu dengan satu muk air. Pagi
itu ternyata adalah pagi yang menentukan perjalanan hidup Uding dan I Fatimang.
Seperti
Biasa, Uding menuju Pelabuhan. Yang berbeda adalah pagi itu, suasana hening.
Nyaris tak ada orang yang melintas. Sementara I Fatimang sedang membersihkan
beras dengan tampi. Uding cambang pun memandangi perempuan yang berjarak
sekitar 30 langkah di depannya. Uding tertegun. Dadanya kembali bergemuruh.
Mengetahui
di tatap, Fatimah menghindar. Ia segera masuk rumah. Karena buru-buru, ia
nyaris terjatuh. Hingga kain sarung yang menutupi betisnya tersingkap.
Gila.
Uding kesetanan. Sebelum Fatimang menutup pintu kayu besi rumahnya. Udin Brewok
merangsek. Bahkan gadis cantik itupun tak mampu berkata apa apa lagi ketika lengan
Uding yang di penuhi tato huruf lontar
itu menyekap mulutnya. Uding semakin menggila. Ia mencabut badik kebanggaanya.
Fatimang lalu tak sadarkan diri lagi.
Seminggu
berlalu. Uding tiba-tiba berubah. Ia tidak mabuk lagi. Saban malam ia hanya
memungut upeti dari anak buahnya. Uding juga tak banyak bicara. Sementara anak
buah Uding juga tak berani bersuara. Jangan-jangan ada yang tak beres terhadap
Daeng Uding – sapan mereka kepada Uding – yang selama ini memang mereka takuti.
Di
tempat terpisah, I Fatimang membisu. Keceriaan Fatimang tiba-tiba lenyap. Haji
Hasan Gelisah. Lelaki berumur itu juga tak mau memaksa anaknya yang hanya
semata wayang. Meskipun kebanyakan orang tua lelaki pada umumnya di Bugis
Makassar terbiasa memaksa perempuan untuk mengatakan apa saja yang diinginkan.
Tapi Haji Hasan tak mampu memaksa anaknya.
Ketika
gelisahnya memuncak, Haji Hasan kaget. Pagi itu, puluhan jagoan pelabuhan
mendatangi rumahnya. Tapi yang aneh. Para jawara yang rata-rata bertampang
brewok itu tiba-tiba muncul dengan wajah bersih dan rapi. “Tamaki, ee….” Ucap
Haji Hasan terbata mempersilahkan tamu tak didundang itu masuk ke rumahnya.
Tentu saja kursi rotan yang ada tidak memuat tamu laki-laki itu. Mereka
akhirnya melantai. Haji Hasan semakin kaget. Karena para orang kasar di
depannya itu tiba-tiba sopan. Meskipun suara juru bica mereka Daeng Basri
terdengar besar.
Pembicaraan
berlangsung singkat. Ternyata mereka datang melamar I Fatimang untuk Daeng
Uding. Awalnya, Haji Hasan ragu. Tapi karena takut menolak. Lelaki yang telah
menduda 2 tahun itu mengiyakan.
***
Semua
kenangan itu melintas di benak pak Uding. Bahkan ia tak mampu lagi menahan air
mata ketika wajah I Fatimang istrinya melintas. Ketika itu, istrinya melahirkan
anak mereka, Sitti Salamah. “Anak ta Daeng….” Suara Fatimang melemah. Dan hanya
hitungan jari, perempuan cantik itupun meninggalkan suami dan bayi perempuannya untuk selamanya.
Dada
Pak Udin berguncang. Lelaki yang kulitnya mulai keriput itu berdiri. Entah
kenapa ia merasa seperti muda lagi. Rumah panggungnya yang berada dipinggiran
Timur kota Makassar itu seakan bergetar.
Ia
bergegas. Mata Pak Udin kembali memerah seperti ketika ia masih muda dulu. Dari
balik pakaian dalam lemari kayu, Pak Udin menarik badik Lompo Battangnya.
“Tetta
! Kenapa ki. Mau ki kemana ?” suara Sitti Salamah anak kesayanganya tak mampu
lagi menahan gemuruh dadanya.
“Saya
akan ke rumah Anto. Anak itu telah memperkosamu tapi tidak mau bertanggung
jawab !” geram Pak Uding.
“Tetta.
Janganki, Tetta….” Raungan I Salamah tak mampu menahan ayahnya.
Satu,
dua, tiga, dan ribuan langkah Pak Udin. Di ujug jalan di depan rumah Anto,
lalaki tua itu mengamuk bagai kerbau buleng. Satu, dua, tiga orang terluka.
Sementara Anto anak muda yang dicarinya menghandang dengan sebilah parang. Dua
kali tebasan, Pak Udin linglung. Dalam keadaan genting itu, tangannya bergetar.
Entah setan dari mana yang merasukinya ia lalu menubruk Anto. Badik Lompo
Battangnya pun bersarang di lambung anak muda yang telah mempermalukannya itu.
Darah
bersimbah. Mata Pak Udin masih memerah. Tapi ia telah pergi menyusul I
Fatimang, kekasihnya. Sementara, Sitti Salamah, putri kesayangannya sedang
termangu memandangi sebotol racun nyamuk di pojok rumah.
No comments:
Post a Comment