Tuesday, November 27, 2012

MATA MERAH PAK UDING



Syamsuddin Simmau


            Pak Uding termangu. Matanya menerawang. Sesekali lelaki berusia 65 tahun itu mendesah. Bukan lantaran menghabiskan tiga bungkus rokok setiap hari. Tapi dadanya memang begemuruh. Ada yang mengganjal. Pikirannya kusut. Matanya merah. Sudah tiga hari ia tak bisa memejamkan mata.
            Bagaimana tidak, pernikahan anak semata wayangnya dibatalkan secara sepihak. “Lelaki bangsat !” geramnya. Lagi-lagi Pak Uding membuang napas panjangnya. Jemari tuanya bergetar.

* * *
            Seorang pemuda tanggung, kelahiran Makassar, sedang berjalan gontai. Dialah Uding. Matanya merah. Usianya 35 tahun. Jagoan yang menguasai Pelabuhan Makassar. Tak berbeda dengan hari dan malam yang dilaluinya, saban hari ia dan teman-temannya menghabiskan minimal tiga jergen ballo. Sementara, sebilah badik lompo battang selalu setia menemaninya. Katanya, kawan lelaki adalah besi. Jadi badik adalah kawan sejati lelaki Makassar.
            Hari menjelang subuh, kira-kira pukul 04.30. Uding melangkah gontai. Rumah tempat Uding menginap tidak jauh dari pelabuhan. Rumah itu, menyerupai gudang. Jelas bangunan itu berciri bangunan peninggalan Belanda. Entah bangunan itu milik siapa. Teman-teman Uding tak tahu. Yang mereka tahu, pahlawan dan pelindung mereka Uding itu berdiam di bangunan itu.
            Uding masih gontai. Matanya berkunang-kunang. Terasa berat. Tapi ia tidak muntah layaknya peminum junior. Sejenak Uding bergumam, “Fatimang, Fatimang….” Udin lelap.
            Pukul 10.30 pagi. Uding menggeliat, mengerang. “Fatimang…” lagi-lagi ia bergumam. Bagaiman tidak, I fatimang putri Haji Hasan adalah perempuan tercantik yang pernah di kenalnya. Fatimang sendiri, baru 7 hari pindah dan bermukim dengan ayahnya, ya Haji Hasan itu di bangunan sebelah bangunan yang di tempati Uding.
            Haji Hasan adalah pedagang Bugis. Kabarnya, istrinya meninggal ketika Pasukan Westerling membantai orang-orang Bugis Makassar. Anak semata wayangnya, Fatimang lah yang selama ini mendampingi Haji Hasan.
            Setiap kali menyebut nama Fatimang, birahi Uding berdesir. Apalagi setiap pagi ketika Uding menuju ke temat mangkalnya, ia pasti berpapasan dengan I Fatimang. Gadis berdarah bugis itu tak ayal lagi membuat dada Uding yang berbulu itu bergelora. Bergelora bak gelora selat Makassar.
            Uding bergegas. Ia membasuh wajahnya yang agak brewokan itu dengan satu muk air. Pagi itu ternyata adalah pagi yang menentukan perjalanan hidup Uding dan I Fatimang.
            Seperti Biasa, Uding menuju Pelabuhan. Yang berbeda adalah pagi itu, suasana hening. Nyaris tak ada orang yang melintas. Sementara I Fatimang sedang membersihkan beras dengan tampi. Uding cambang pun memandangi perempuan yang berjarak sekitar 30 langkah di depannya. Uding tertegun. Dadanya kembali bergemuruh.
            Mengetahui di tatap, Fatimah menghindar. Ia segera masuk rumah. Karena buru-buru, ia nyaris terjatuh. Hingga kain sarung yang menutupi betisnya tersingkap. 
            Gila. Uding kesetanan. Sebelum Fatimang menutup pintu kayu besi rumahnya. Udin Brewok merangsek. Bahkan gadis cantik itupun tak mampu berkata apa apa lagi ketika lengan Uding yang  di penuhi tato huruf lontar itu menyekap mulutnya. Uding semakin menggila. Ia mencabut badik kebanggaanya. Fatimang lalu tak sadarkan diri lagi.
            Seminggu berlalu. Uding tiba-tiba berubah. Ia tidak mabuk lagi. Saban malam ia hanya memungut upeti dari anak buahnya. Uding juga tak banyak bicara. Sementara anak buah Uding juga tak berani bersuara. Jangan-jangan ada yang tak beres terhadap Daeng Uding – sapan mereka kepada Uding – yang selama ini memang mereka takuti.
            Di tempat terpisah, I Fatimang membisu. Keceriaan Fatimang tiba-tiba lenyap. Haji Hasan Gelisah. Lelaki berumur itu juga tak mau memaksa anaknya yang hanya semata wayang. Meskipun kebanyakan orang tua lelaki pada umumnya di Bugis Makassar terbiasa memaksa perempuan untuk mengatakan apa saja yang diinginkan. Tapi Haji Hasan tak mampu memaksa anaknya.
            Ketika gelisahnya memuncak, Haji Hasan kaget. Pagi itu, puluhan jagoan pelabuhan mendatangi rumahnya. Tapi yang aneh. Para jawara yang rata-rata bertampang brewok itu tiba-tiba muncul dengan wajah bersih dan rapi. “Tamaki, ee….” Ucap Haji Hasan terbata mempersilahkan tamu tak didundang itu masuk ke rumahnya. Tentu saja kursi rotan yang ada tidak memuat tamu laki-laki itu. Mereka akhirnya melantai. Haji Hasan semakin kaget. Karena para orang kasar di depannya itu tiba-tiba sopan. Meskipun suara juru bica mereka Daeng Basri terdengar besar.
            Pembicaraan berlangsung singkat. Ternyata mereka datang melamar I Fatimang untuk Daeng Uding. Awalnya, Haji Hasan ragu. Tapi karena takut menolak. Lelaki yang telah menduda 2  tahun itu mengiyakan.
***
            Semua kenangan itu melintas di benak pak Uding. Bahkan ia tak mampu lagi menahan air mata ketika wajah I Fatimang istrinya melintas. Ketika itu, istrinya melahirkan anak mereka, Sitti Salamah. “Anak ta Daeng….” Suara Fatimang melemah. Dan hanya hitungan jari, perempuan cantik itupun meninggalkan suami dan  bayi perempuannya untuk selamanya.
            Dada Pak Udin berguncang. Lelaki yang kulitnya mulai keriput itu berdiri. Entah kenapa ia merasa seperti muda lagi. Rumah panggungnya yang berada dipinggiran Timur kota Makassar itu seakan bergetar.
            Ia bergegas. Mata Pak Udin kembali memerah seperti ketika ia masih muda dulu. Dari balik pakaian dalam lemari kayu, Pak Udin menarik badik Lompo Battangnya.
            “Tetta ! Kenapa ki. Mau ki kemana ?” suara Sitti Salamah anak kesayanganya tak mampu lagi menahan gemuruh dadanya.
            “Saya akan ke rumah Anto. Anak itu telah memperkosamu tapi tidak mau bertanggung jawab !” geram Pak Uding.
            “Tetta. Janganki, Tetta….” Raungan I Salamah tak mampu menahan ayahnya.
            Satu, dua, tiga, dan ribuan langkah Pak Udin. Di ujug jalan di depan rumah Anto, lalaki tua itu mengamuk bagai kerbau buleng. Satu, dua, tiga orang terluka. Sementara Anto anak muda yang dicarinya menghandang dengan sebilah parang. Dua kali tebasan, Pak Udin linglung. Dalam keadaan genting itu, tangannya bergetar. Entah setan dari mana yang merasukinya ia lalu menubruk Anto. Badik Lompo Battangnya pun bersarang di lambung anak muda yang telah mempermalukannya itu.
            Darah bersimbah. Mata Pak Udin masih memerah. Tapi ia telah pergi menyusul I Fatimang, kekasihnya. Sementara, Sitti Salamah, putri kesayangannya sedang termangu memandangi sebotol racun nyamuk di pojok rumah.

Makassar, 30 Oktober 2003.

No comments: