Pada
mulanya para perintis teoritis sosiologi memandang bahwa masyarakat dan
individu adalah dua hal yang berdiri sendiri. Pandangan ini sangat ektrem
terhadap keduanya. Bagi Comte, Spenser, Karl Marx, Durkheim, masyarakatlah yang
menentukan perilaku indivudu. Menurt Comte, masyarakat bersifat organik dimana
individu sedemikian hebatnya dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan
sosialnya, sehingga satuan masyarakat yang azasi bukanlah individu, melainkan
keluarga-keluarga (Johnson, 1986: 90). Semenara Marx memandang bahwa baik kehidupan
individu maupun masyarakat sesungguhnya ditentukan oleh faktor dari luar, yaitu
faktor ekonomi. Karena itu, interaksi yang terjadi dalam masyarakat adalah
interaksi ekonomi. Kenyataan-kenyataan sosial tidak ditemukan di dunia abstrak
dalam diri individu tapi justru ditemukan di pabrik-pabrik, di tambang-tambang
dan industri lainnya. Marx memandang bahwa cara individu melihat dunia
dikondisikan oleh kedudukannya (kelas) yang tertentu dalam lingkungan materil
dan sosialnya ((Johnson, 1986: 131).
Demikian
halnya dengan Durkheim, dalam teori Fakta Sosial, Durkheim memandang
bahwa persepsi individu tentang kepentingan pribadinya tidak ditentukan oleh
dirinya sendiri melainkan ditentukan oleh kepercaayaan bersama serta
nilai-nilai bersama yang dianut masyarakat (Johnson, 1986: 173). Dengan
demikian, individu sangat ditentukan oleh fakta-fakta sosial.
Berbanding
terbalik dengan Durkheim, Weber yang menguraikan gagasannya melalui teori Tindakan
Sosial justru memandang bahwa kenyataan sosial didasakan pada motivasi
individu dan tindakan-tindakan sosialnya ((Johnson, 1986: 214). Dari pandangan ini dapat ditekankan bahwa tindakan-tindakan (perilaku
sosial) individu yang bersumber dari motivasi untuk mencapai tujuannya itulah
yang menentukan kenyataan-kenyataan sosial. Karena itu, subjektifitas bagi
Weber sangat penting. Subjektifitas tersebut dipandangn menentukan
tindakan-tindakan sosial. Verstehen
menurut pandangan Weber merupakan pemahaman subjektif untuk memperoleh
pemahaman yang valid mengenai tindakan sosial.
Menurut
Weber, ada beberapa tindakan sosial yang dilakukan invividu yang menentukan
kontruksi sosial, yaitu; tindakan rasionalitas instrumental, tindakan
rasionalitas yang beriorentasi nilai, tindakan tradisional dan tindakan afektif
(Johnson, 1986: 220-224).
Selain
Teori Fakta Sosial dan Tindakan Sosial,
teori penting yang patut dijelaskan berkaitan dengan penelitian ini
adalah Teori interaksionisme simbolik. Dalam hal ini, Mead (Salim, 2008: 32) mengatakan bahwa tindakan (perilaku)
adalah inti dari teorinya. Menurut Mead, ada empat tahap yang berlangsung dalam
suatu tindakan, yaitu: impuls, persepsi,
manipulasi dan konsumsi. Keempat
tahapan ini terikat satu dengan lainnya secara dialektis.
Selain
Herbert Mead, John Dewey (Salim, 2008: 24) adalah tokoh teori interaksionisme simbolik. Menurut Dewey,
manusia sesungguhnya adalah pencerminan dari dunia luar, fotocopy, yang merupakan hasil dari kegiatan manusia sendiri. Dalam
teori belajar yang dikembangkan oleh Dewey, beriorentasi pada pengendapan impuls-impuls yang telah dipelajari sehingga
membentuk sikap yang menjadi pilihan seseorang.
Tokoh
penting lainnya yang merupakan tokoh teori interaksionisme
simbolik adalah Herbert Blumer. Blumer (Poloma, 2010:264-265) mengemukakan
beberapa ide-ide dasar yang berhubungan dengan teori interaksionisme simbolik.
Ide-ide dasar tersebut adalah:
a. Masyarakat
terdiri dari manusia-manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling
bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai
organisasi atau struktur sosial.
b. Interaksi
terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia
lain. interaksi nonsimbolis mencakup
stimulus respon yang sederhana, seperti batuk untuk membersihkan tenggorokan
seseorang. Interaksi simbolis mencakup
penafsiran tindakan. Jika seseorang berpura-pura batuk ketika tidak setuju
dengan sebuah pembicaraan maka batuk tersebut menjadi simbol yang berarti
c. Objek-objek
tidak mempunyai makna yang instrinsik, makna lebih merupakan produk interaksi
simbolis.
d. Manusia
tidak hanya mengenal objek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai
objek.
e. Tindakan
manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
f. Tindakan
manusia tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota
kelompok, hal ini disebut tindakan bersama yang dibatasi sebagai “organisasi
sosial” dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia.
Berbeda
dengan pandangan positivistic Comte, materialistic Marx, fakta sosial Durkheim dan tindakan
sosial Weber, dan berbagai pandangan dalam teori interaksionisme simblik, teoritis sosiologi seperti Simmel dan
Parson justru memandang bahwa masyaraka dan individu tidak dapat dipisahkan
dalam dikotomi yang ektrem. Demikian halnya bagi Spenser (Johnson, 1986:172) bahwa
masyarakat dan individu tidak bisa dipisahkan. Sepenser menjelaskan bahwa
masyarakat tidak seperti organisme biologis. Suatu masyarakat tidak memiliki
kulit penutup dan tidak mempunyai sumber intelegensia yang sentral atau sumber
kontrol yang analogis dengan otak. Sementara bagian-bagian masyarakatlah yang
memiliki intelengensia dan sumber kontrol tersebut. Bagian-bagian masyarakat
inilah yang merupakan individu-individu. Dengan demikian, masyarakat lahir dari
persetujuan kontraktual dimana individu saling berinteraksi untuk mengejar
kepentingan pribadinya. Dalam hal ini, Sepenser juga mendeskripsikan kondisi
masyarakat ideal, yaitu masyarakat dimana individu memiliki kebebasan
sebesarbesarnya untuk mengejar kepentingannya dan meningkatkan kebahagiaan
tanpa diarahkan atau dokontrol oleh otoritas pusat.
Sebagaimana
Spenser, Simmel juga mengetengahkan pandangannya bahwa masyarakat merupakan
proses interaksi timbal balik antara individu-individu dan masyarakat sebagai
sebuah kenyataan sosial. Bagi Simmel, masyarakat tidak pernah lahir sebagai
sebuah kenyataan objektif tanpa adanya proses interaksi dari anggota-anggotanya
(individu).
Sementara
itu, Parson (Vegeer, 1986: 199) dalam teori Struktural
Fugsional, merupakan teoritis
sosiologi yang mendapat pengaruh dari Weber dan Durkeim. Penjelasan ini dapat
dilihat dari upaya Parson dalam menyusun dalil mengenai kesatuan masyarakat.
Menurut Parson, perpaduan masyarakat terjadi karena:
a. Adanya
nilai-nilai budaya yang dibagi bersama,
b. Nilai-nilai
tersebut dilembagakan menjadi norma-norma sosial,
c.
Nilai-nilai tersebut dibatinkan oleh
individu-individu menjadi motivasi-motivasi.
Dalam
hal ini, Parson menerima pandangan Weber bahwa kelakukan manusia digairahkan
dan diarahkan dari dalam batin oleh tujuan-tujuan tertentu yang berdasarkan atas
nilai-nilai dan norma-norma yang dibagi bersama dengan orang lain. Di lain
pihak, Parson juga menerima pandangan Durkheim bahwa kehidupan bersama
dilandasi oleh suatu kesadaran kolektif, sehingga menjadi realita yang
mempunyai corak tersendiri yang disebut fakta sosial. Fakta sosial bersifat
memaksa, mengontrol, menentukan pikiran, kemauan dan perilaku individu-individu.
Landasan
teoritis seperti telah dideskripsikan di atas merupakan landasan folosofis
pembahasan mengenai perempuan bercerai. Dalam hal ini, perceraian yang
menyebabkan terjadinya sebuah kondisi dimana perempuan menyandang “predikat”
atau bahkan stereotype “janda”
merupakan fenomena realitas sosial yang tidak terjadi begitu saja. Fenomena
tersebut terbentuk dari relasi individu dan masyarakat maupun sebaliknya, atau
individu dengan individu lainnya.
2. Keluarga
dan Ruang Lingkupnya
a. Keluarga
dan Masyarakat
Pendapat
Henslin (2006:116), sebagaimana telah dijelaskan juga pada bab terdahulu bahwa
keluarga (family) terdiri atas
individu-individu yang menganggap bahwa mereka memiliki hubungan darah,
pernihakan atau adopsi. Di negara-negara barat batas-batas antara rumah tangga dan keluarga tidak jelas
karena mereka menganggap bahwa keluarga terdiri dari seorang suami, istri dan
anak-anak. Tapi kenyataannya, ada juga rumah tangga yang hidup serumah dengan
mertua atau orang tua mereka. Karena itu, keluarga dan rumah tangga bagi
Henslin tidak terlalu dikotomikan.
Berdasar
pada pandangan Henslin tersebut maka keluarga dengan sendirinya akan mengalami
perkembangan ke arah yang lebih besar. Setiap individu bisa saja menjadi
anggota keluarga yang baru melalui jalan pernikahan. Dari proses pernikahan,
dua sistem kekeluargaan atau lebih akan saling mengikat diri menjadi sistem
kekeluargaan yang lebih besar. Selain proses pernihakan, pertambahan anggota
keluarga juga bisa bertambah melalui proses adopsi.
Berkaitan
dengan batasan mengenai keluarga, Collins (1987) tidak sekedar membatasi
keluarga menurut pandangan bahwa seorang ayah menikah dengan seorang ibu dan
melahirkan anak-anak. Collins (1987:28) menulis:
The
question of defining a family may like a simple one. What automatically comes
to mind is a husband, wife, and children, living together in a house. But
families are both more and less than this. If we bring other relatives into the
household, they too are part of the family. Moreover, there is a sense in which
we say people comprise a family even if they don’t live together. This is what
we mean when we say, “The family all gathered at Grandma’s for Thanksgiving.”
(Pertanyaan tentang definisi suatu keluarga
bisa dipandang sebagai satu hal yang sederhana. Apa yang muncul secara otomatis
ke dalam pikiran adalah ada seorang suami, isteri, dan anak, tinggal bersama
dalam satu rumah. Tapi keluarga bisa bermakna lebih atau kurang dari pengertian
ini. Jika kita membawa keluarga lain dalam rumah tangga maka tampak bahwa
mereka juga adalah bagian dari keluarga. Lebih dari itu, sebagaimana kita
katakan bahwa orang termasuk sebuah keluarga meskipun mereka tidak tinggal
bersama. Inilah yang kita maksud dengan, “Keluarga berkumpul di nenek untuk
merayakan thanksgiving.”)
Pandangan
Collins tersebut menunjukkan bahwa adanya anggota keluarga tidak hanya
disebabkan oleh faktor perkawinan belaka, bahwa seorang keluarga lain
ketika diajak ke dalam keluarga maka mereka
juga adalah anggota dari keluarga. Sebuah keluarga juga tidak mesti tinggal
bersama.
Lebih
dari itu, pandangan Collins mencakup keluarga dalam pengertian yang lebih luas lagi
karena ia memandang pernikahan kaum lesbian
dan guy juga merupakan bentuk-bentuk
keluarga. Dengan demikian Collins tidak membatasi diri pada apa yang ia sebut
dengan sexualintercourse (hubungan
seksual) yang melahirkan anak saja. Collins mencontohkan bahwa pada suku Nuer
di Sudan, dua orang perempuan dibolehkan menikah bersama. Seorang perempuan
yang lebih kaya boleh menikahi seorang perempuan yang lebih muda. Mereka
menikah juga menikah secara seremonial sebagaimana pernikahan perempuan dan
laki-laki. Untuk melengkapi keluarga mereka, perempuan yang lebih tua tersebut,
yang mereka sebut “suami”, mencari laki-laki untuk menghamili istrinya
(perempuan muda yang telah ia nikahi). Kemudian, anak yang lahir diserahkan
kepada perempuan yang lebih tua (suami) yang kemudian disebut “ayah”.
Yang
terpenting bagi Collins (1987: 34), bukanlah definisi keluarga, tetapi
penekanan mengenai keluarga itu sendiri. Collins berpandangan bahwa esensi
sebuah keluarga adalah bukan terletak pada proses kelahiran anak saja, tapi
lebih dari itu adalah bagaimana menempatkan anak-anak tersebut dalam struktur
sosial. Keluarga seharusnya melakukan transformasi fakta-fakta bilogis ke dalam
organisasi sosial, kemudian membentuk jaringan orang tua dan anak. Selanjutnya
keluarga memperkenalkan peran-peran sosial anak serta melakukan sosialisasi
terhadap nilai-nilai budaya.
Peran
penting keluarga dalam masyarakat tidak dapat disangkal lagi. Untuk memperkuat
pernyataan ini, menurut La Play
(1806-1882) dalam teori determinismenya (Veeger, 1986:55), dia berkeinginan untuk memulihkan keadaan
yang tertib di negaranya. Namun, timbul pertanyaan dalam dirinya bahwa apa yang
harus diperbuat supaya semua orang di negaranya kembali lagi merasakan rasa
aman dan sentosa, kembali lagi menaati nilai-nilai etis dan kembali lagi
bersatu padu ? Rupanya ia berpendapat bahwa jawaban atas semua pertanyaan
tersebut adalah berhubungan dengan keluarga. Setelah melakukan penelitian
mengenai keluarga, La Play mengatakan
bahwa untuk mengenal masyarakat maka terlebih dahulu harus mengenal keluarga.
Karena keluarga bukan saja terdiri dari individu-individu yang ada di dalamnya
tapi juga terdiri dari lembaga-lembaga keluarga lain. Dengan demikian, struktur
keluarga serta pola relasi kekeluargaan sangat menentukan kondisi ketertiban masyarakat
(social order) atau kekacauan
masyarakat (social disorder).
Sejalan
dengan pandangan di atas, Goode (2004:4) mengatakan bahwa keluarga terdiri dari
pribadi-pribadi tapi sekaligus keluarga merupakan bagian dari jaringan sosial
yang lebih besar. Dalam menjalankan fungsinya, keluarga merupakan sarana
pengenalan masyarakat. Dalam hal ini, Goode berpandangan bahwa masyarakat dan
individu merupakan hubungan timbal balik; individu-individu dalam keluarga akan
memperoleh dukungan dari masyarakat dan masyarakat membutuhkan dukungan dari
individu-individu. Karena itu, demikian pentingnya keluarga, Goode menilai
bahwa keluarga berfungsi sebagai katalisator bagi individu-individu untuk
berinteraksi dengan hubungan sosial yang lebih besar.
Lebih
jauh, Goode berpendapat bahwa suatu masyarakat tidak mampu mempertahankan
eksistensinya jika kebutuhannya tidak dapat dipenuhi oleh keluarga. Dalam
kaitan ini, keluarga dipandang sebagai produksi dan distributor hasil-hasil
produksi, sekaligus, keluarga merupakan sarana perlindungan bagi orang tua dan
anak-anak, orang sakit dan perempuan hamil, persamaan hukum dan lain-lain.
Karena
itu, tidak heran, jika Goode meyakini bahwa keluarga merupakan satu-satunya
lembaga sosial, selain agama, yang secara resmi telah berkembang dalam
masyarakat. Dalam hal ini, tugas-tugas kekeluargaan merupakan tanggung jawab
setiap pribadi dalam masyarakat. Tanggung jawab tersebut cukup beralasan karena
setiap individu dilahirkan dari keluarga dan juga membentuk keluarga-keluarga
lainnya. Tanggung jawab keluarga tidak dapat diwakilkan kepada orang lain.
Dengan demikian, setiap orang harus menyesuaikan diri kepada tuntutan-tuntutan
keluarga.
Dalam
pandangan senada, Dianne Gittens menekankan bahwa keluarga adalah institusi
universal yang menunjukkan fungsi-fungsi esensial individu-individu dan
masyarakat (Abbott & Wallace, 1997:137).
Semakin jelaslah bahwa masyarakat dan keluarga
tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Keluarga merupakan institusi penting
dalam mendukung eksistensi masyarakat. Keluarga sangat menentukan
institusi-institusi lain dalam masyarakat. Karena dari keluargalah sumber daya
manusia itu berasal, di mana sumber daya manusia berupa individu-individu
menjadi tenaga kerja dalam relasi bisnis, menjadi pengusaha dan menjadi industriawan.
Dalam bidang pendidikan; keluargalah yang menyuplai para guru besar, dosen,
guru, murid, mahasiswa dan lain-lain. Dalam konteks negara; keluargalah yang
menyuplai pejabat, anggota parlemen, anggota partai politik, militer, petugas
sipil dan bahkan dalam institusi agama sekalipun; keluargalah yang menjadi
ulama, ustadz, paus, uskup, pendeta, biarawati, bante dan lain-lain, sekaligus
keluargalah yang menyediakan umat beragama. Dengan demikian, cukup beralasan
jika dipertegas bahwa rumah tangga sepatutnya menjadi keluarga yang idel,
demokrtais dan sehat. Sehingga keluarga mampu berperan maksimal dalam
mewujudkan tatanan sosial yang tertib namun dinamis.
No comments:
Post a Comment