Sunday, November 18, 2012

Masyarakat dan Individu dalam Konstruksi Teori


Pada mulanya para perintis teoritis sosiologi memandang bahwa masyarakat dan individu adalah dua hal yang berdiri sendiri. Pandangan ini sangat ektrem terhadap keduanya. Bagi Comte, Spenser, Karl Marx, Durkheim, masyarakatlah yang menentukan perilaku indivudu. Menurt Comte, masyarakat bersifat organik dimana individu sedemikian hebatnya dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sosialnya, sehingga satuan masyarakat yang azasi bukanlah individu, melainkan keluarga-keluarga (Johnson, 1986: 90). Semenara Marx memandang bahwa baik kehidupan individu maupun masyarakat sesungguhnya ditentukan oleh faktor dari luar, yaitu faktor ekonomi. Karena itu, interaksi yang terjadi dalam masyarakat adalah interaksi ekonomi. Kenyataan-kenyataan sosial tidak ditemukan di dunia abstrak dalam diri individu tapi justru ditemukan di pabrik-pabrik, di tambang-tambang dan industri lainnya. Marx memandang bahwa cara individu melihat dunia dikondisikan oleh kedudukannya (kelas) yang tertentu dalam lingkungan materil dan sosialnya ((Johnson, 1986: 131).
Demikian halnya dengan Durkheim, dalam teori Fakta Sosial, Durkheim memandang bahwa persepsi individu tentang kepentingan pribadinya tidak ditentukan oleh dirinya sendiri melainkan ditentukan oleh kepercaayaan bersama serta nilai-nilai bersama yang dianut masyarakat (Johnson, 1986: 173). Dengan demikian, individu sangat ditentukan oleh fakta-fakta sosial.
Berbanding terbalik dengan Durkheim, Weber yang menguraikan gagasannya melalui teori Tindakan Sosial justru memandang bahwa kenyataan sosial didasakan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosialnya ((Johnson, 1986: 214). Dari pandangan  ini dapat ditekankan bahwa tindakan-tindakan (perilaku sosial) individu yang bersumber dari motivasi untuk mencapai tujuannya itulah yang menentukan kenyataan-kenyataan sosial. Karena itu, subjektifitas bagi Weber sangat penting. Subjektifitas tersebut dipandangn menentukan tindakan-tindakan sosial. Verstehen menurut pandangan Weber merupakan pemahaman subjektif untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai tindakan sosial.
Menurut Weber, ada beberapa tindakan sosial yang dilakukan invividu yang menentukan kontruksi sosial, yaitu; tindakan rasionalitas instrumental, tindakan rasionalitas yang beriorentasi nilai, tindakan tradisional dan tindakan afektif (Johnson, 1986: 220-224).
Selain Teori Fakta Sosial dan Tindakan Sosial, teori penting yang patut dijelaskan berkaitan dengan penelitian ini adalah Teori interaksionisme simbolik. Dalam hal ini, Mead (Salim, 2008: 32) mengatakan bahwa tindakan (perilaku) adalah inti dari teorinya. Menurut Mead, ada empat tahap yang berlangsung dalam suatu tindakan, yaitu: impuls, persepsi, manipulasi dan konsumsi. Keempat tahapan ini terikat satu dengan lainnya secara dialektis.
Selain Herbert Mead, John Dewey (Salim, 2008: 24) adalah tokoh teori interaksionisme simbolik. Menurut Dewey, manusia sesungguhnya adalah pencerminan dari dunia luar, fotocopy, yang merupakan hasil dari kegiatan manusia sendiri. Dalam teori belajar yang dikembangkan oleh Dewey, beriorentasi pada pengendapan impuls-impuls yang telah dipelajari sehingga membentuk sikap yang menjadi pilihan seseorang.
Tokoh penting lainnya yang merupakan tokoh teori interaksionisme simbolik adalah Herbert Blumer. Blumer (Poloma, 2010:264-265) mengemukakan beberapa ide-ide dasar yang berhubungan dengan teori interaksionisme simbolik. Ide-ide dasar tersebut adalah:
a.    Masyarakat terdiri dari manusia-manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial.
b.    Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. interaksi nonsimbolis mencakup stimulus respon yang sederhana, seperti batuk untuk membersihkan tenggorokan seseorang. Interaksi simbolis mencakup penafsiran tindakan. Jika seseorang berpura-pura batuk ketika tidak setuju dengan sebuah pembicaraan maka batuk tersebut menjadi simbol yang berarti
c.    Objek-objek tidak mempunyai makna yang instrinsik, makna lebih merupakan produk interaksi simbolis.
d.    Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai objek.
e.    Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
f.     Tindakan manusia tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok, hal ini disebut tindakan bersama yang dibatasi sebagai “organisasi sosial” dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia.
Berbeda dengan pandangan positivistic Comte, materialistic Marx, fakta sosial Durkheim dan tindakan sosial Weber, dan berbagai pandangan dalam teori interaksionisme simblik, teoritis sosiologi seperti Simmel dan Parson justru memandang bahwa masyaraka dan individu tidak dapat dipisahkan dalam dikotomi yang ektrem. Demikian halnya bagi Spenser (Johnson, 1986:172) bahwa masyarakat dan individu tidak bisa dipisahkan. Sepenser menjelaskan bahwa masyarakat tidak seperti organisme biologis. Suatu masyarakat tidak memiliki kulit penutup dan tidak mempunyai sumber intelegensia yang sentral atau sumber kontrol yang analogis dengan otak. Sementara bagian-bagian masyarakatlah yang memiliki intelengensia dan sumber kontrol tersebut. Bagian-bagian masyarakat inilah yang merupakan individu-individu. Dengan demikian, masyarakat lahir dari persetujuan kontraktual dimana individu saling berinteraksi untuk mengejar kepentingan pribadinya. Dalam hal ini, Sepenser juga mendeskripsikan kondisi masyarakat ideal, yaitu masyarakat dimana individu memiliki kebebasan sebesarbesarnya untuk mengejar kepentingannya dan meningkatkan kebahagiaan tanpa diarahkan atau dokontrol oleh otoritas pusat.
Sebagaimana Spenser, Simmel juga mengetengahkan pandangannya bahwa masyarakat merupakan proses interaksi timbal balik antara individu-individu dan masyarakat sebagai sebuah kenyataan sosial. Bagi Simmel, masyarakat tidak pernah lahir sebagai sebuah kenyataan objektif tanpa adanya proses interaksi dari anggota-anggotanya (individu).
Sementara itu, Parson (Vegeer, 1986: 199) dalam teori Struktural Fugsional, merupakan teoritis sosiologi yang mendapat pengaruh dari Weber dan Durkeim. Penjelasan ini dapat dilihat dari upaya Parson dalam menyusun dalil mengenai kesatuan masyarakat. Menurut Parson, perpaduan masyarakat terjadi karena:
a.    Adanya nilai-nilai budaya yang dibagi bersama,
b.    Nilai-nilai tersebut dilembagakan menjadi norma-norma sosial,
c.    Nilai-nilai tersebut dibatinkan oleh individu-individu menjadi motivasi-motivasi.
Dalam hal ini, Parson menerima pandangan Weber bahwa kelakukan manusia digairahkan dan diarahkan dari dalam batin oleh tujuan-tujuan tertentu yang berdasarkan atas nilai-nilai dan norma-norma yang dibagi bersama dengan orang lain. Di lain pihak, Parson juga menerima pandangan Durkheim bahwa kehidupan bersama dilandasi oleh suatu kesadaran kolektif, sehingga menjadi realita yang mempunyai corak tersendiri yang disebut fakta sosial. Fakta sosial bersifat memaksa, mengontrol, menentukan pikiran, kemauan dan perilaku individu-individu.
Landasan teoritis seperti telah dideskripsikan di atas merupakan landasan folosofis pembahasan mengenai perempuan bercerai. Dalam hal ini, perceraian yang menyebabkan terjadinya sebuah kondisi dimana perempuan menyandang “predikat” atau bahkan stereotype “janda” merupakan fenomena realitas sosial yang tidak terjadi begitu saja. Fenomena tersebut terbentuk dari relasi individu dan masyarakat maupun sebaliknya, atau individu dengan individu lainnya.
2.      Keluarga dan Ruang Lingkupnya
a.      Keluarga dan Masyarakat
Pendapat Henslin (2006:116), sebagaimana telah dijelaskan juga pada bab terdahulu bahwa keluarga (family) terdiri atas individu-individu yang menganggap bahwa mereka memiliki hubungan darah, pernihakan atau adopsi. Di negara-negara barat batas-batas antara rumah tangga dan keluarga tidak jelas karena mereka menganggap bahwa keluarga terdiri dari seorang suami, istri dan anak-anak. Tapi kenyataannya, ada juga rumah tangga yang hidup serumah dengan mertua atau orang tua mereka. Karena itu, keluarga dan rumah tangga bagi Henslin tidak terlalu dikotomikan.
Berdasar pada pandangan Henslin tersebut maka keluarga dengan sendirinya akan mengalami perkembangan ke arah yang lebih besar. Setiap individu bisa saja menjadi anggota keluarga yang baru melalui jalan pernikahan. Dari proses pernikahan, dua sistem kekeluargaan atau lebih akan saling mengikat diri menjadi sistem kekeluargaan yang lebih besar. Selain proses pernihakan, pertambahan anggota keluarga juga bisa bertambah melalui proses adopsi.
Berkaitan dengan batasan mengenai keluarga, Collins (1987) tidak sekedar membatasi keluarga menurut pandangan bahwa seorang ayah menikah dengan seorang ibu dan melahirkan anak-anak. Collins (1987:28) menulis:
The question of defining a family may like a simple one. What automatically comes to mind is a husband, wife, and children, living together in a house. But families are both more and less than this. If we bring other relatives into the household, they too are part of the family. Moreover, there is a sense in which we say people comprise a family even if they don’t live together. This is what we mean when we say, “The family all gathered at Grandma’s for Thanksgiving.”

(Pertanyaan tentang definisi suatu keluarga bisa dipandang sebagai satu hal yang sederhana. Apa yang muncul secara otomatis ke dalam pikiran adalah ada seorang suami, isteri, dan anak, tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi keluarga bisa bermakna lebih atau kurang dari pengertian ini. Jika kita membawa keluarga lain dalam rumah tangga maka tampak bahwa mereka juga adalah bagian dari keluarga. Lebih dari itu, sebagaimana kita katakan bahwa orang termasuk sebuah keluarga meskipun mereka tidak tinggal bersama. Inilah yang kita maksud dengan, “Keluarga berkumpul di nenek untuk merayakan thanksgiving.”)

Pandangan Collins tersebut menunjukkan bahwa adanya anggota keluarga tidak hanya disebabkan oleh faktor perkawinan belaka, bahwa seorang keluarga lain ketika  diajak ke dalam keluarga maka mereka juga adalah anggota dari keluarga. Sebuah keluarga juga tidak mesti tinggal bersama.
Lebih dari itu, pandangan Collins mencakup keluarga dalam pengertian yang lebih luas lagi karena ia memandang pernikahan kaum lesbian dan guy juga merupakan bentuk-bentuk keluarga. Dengan demikian Collins tidak membatasi diri pada apa yang ia sebut dengan sexualintercourse (hubungan seksual) yang melahirkan anak saja. Collins mencontohkan bahwa pada suku Nuer di Sudan, dua orang perempuan dibolehkan menikah bersama. Seorang perempuan yang lebih kaya boleh menikahi seorang perempuan yang lebih muda. Mereka menikah juga menikah secara seremonial sebagaimana pernikahan perempuan dan laki-laki. Untuk melengkapi keluarga mereka, perempuan yang lebih tua tersebut, yang mereka sebut “suami”, mencari laki-laki untuk menghamili istrinya (perempuan muda yang telah ia nikahi). Kemudian, anak yang lahir diserahkan kepada perempuan yang lebih tua (suami) yang kemudian disebut “ayah”.
Yang terpenting bagi Collins (1987: 34), bukanlah definisi keluarga, tetapi penekanan mengenai keluarga itu sendiri. Collins berpandangan bahwa esensi sebuah keluarga adalah bukan terletak pada proses kelahiran anak saja, tapi lebih dari itu adalah bagaimana menempatkan anak-anak tersebut dalam struktur sosial. Keluarga seharusnya melakukan transformasi fakta-fakta bilogis ke dalam organisasi sosial, kemudian membentuk jaringan orang tua dan anak. Selanjutnya keluarga memperkenalkan peran-peran sosial anak serta melakukan sosialisasi terhadap nilai-nilai budaya.
Peran penting keluarga dalam masyarakat tidak dapat disangkal lagi. Untuk memperkuat pernyataan ini, menurut La Play (1806-1882) dalam teori determinismenya (Veeger, 1986:55), dia berkeinginan untuk memulihkan keadaan yang tertib di negaranya. Namun, timbul pertanyaan dalam dirinya bahwa apa yang harus diperbuat supaya semua orang di negaranya kembali lagi merasakan rasa aman dan sentosa, kembali lagi menaati nilai-nilai etis dan kembali lagi bersatu padu ? Rupanya ia berpendapat bahwa jawaban atas semua pertanyaan tersebut adalah berhubungan dengan keluarga. Setelah melakukan penelitian mengenai keluarga, La Play mengatakan bahwa untuk mengenal masyarakat maka terlebih dahulu harus mengenal keluarga. Karena keluarga bukan saja terdiri dari individu-individu yang ada di dalamnya tapi juga terdiri dari lembaga-lembaga keluarga lain. Dengan demikian, struktur keluarga serta pola relasi kekeluargaan sangat menentukan kondisi ketertiban masyarakat (social order) atau kekacauan masyarakat (social disorder).
Sejalan dengan pandangan di atas, Goode (2004:4) mengatakan bahwa keluarga terdiri dari pribadi-pribadi tapi sekaligus keluarga merupakan bagian dari jaringan sosial yang lebih besar. Dalam menjalankan fungsinya, keluarga merupakan sarana pengenalan masyarakat. Dalam hal ini, Goode berpandangan bahwa masyarakat dan individu merupakan hubungan timbal balik; individu-individu dalam keluarga akan memperoleh dukungan dari masyarakat dan masyarakat membutuhkan dukungan dari individu-individu. Karena itu, demikian pentingnya keluarga, Goode menilai bahwa keluarga berfungsi sebagai katalisator bagi individu-individu untuk berinteraksi dengan hubungan sosial yang lebih besar.
Lebih jauh, Goode berpendapat bahwa suatu masyarakat tidak mampu mempertahankan eksistensinya jika kebutuhannya tidak dapat dipenuhi oleh keluarga. Dalam kaitan ini, keluarga dipandang sebagai produksi dan distributor hasil-hasil produksi, sekaligus, keluarga merupakan sarana perlindungan bagi orang tua dan anak-anak, orang sakit dan perempuan hamil, persamaan hukum dan lain-lain.
Karena itu, tidak heran, jika Goode meyakini bahwa keluarga merupakan satu-satunya lembaga sosial, selain agama, yang secara resmi telah berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini, tugas-tugas kekeluargaan merupakan tanggung jawab setiap pribadi dalam masyarakat. Tanggung jawab tersebut cukup beralasan karena setiap individu dilahirkan dari keluarga dan juga membentuk keluarga-keluarga lainnya. Tanggung jawab keluarga tidak dapat diwakilkan kepada orang lain. Dengan demikian, setiap orang harus menyesuaikan diri kepada tuntutan-tuntutan keluarga.
Dalam pandangan senada, Dianne Gittens menekankan bahwa keluarga adalah institusi universal yang menunjukkan fungsi-fungsi esensial individu-individu dan masyarakat (Abbott & Wallace, 1997:137).
Semakin jelaslah bahwa masyarakat dan keluarga tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Keluarga merupakan institusi penting dalam mendukung eksistensi masyarakat. Keluarga sangat menentukan institusi-institusi lain dalam masyarakat. Karena dari keluargalah sumber daya manusia itu berasal, di mana sumber daya manusia berupa individu-individu menjadi tenaga kerja dalam relasi bisnis, menjadi pengusaha dan menjadi industriawan. Dalam bidang pendidikan; keluargalah yang menyuplai para guru besar, dosen, guru, murid, mahasiswa dan lain-lain. Dalam konteks negara; keluargalah yang menyuplai pejabat, anggota parlemen, anggota partai politik, militer, petugas sipil dan bahkan dalam institusi agama sekalipun; keluargalah yang menjadi ulama, ustadz, paus, uskup, pendeta, biarawati, bante dan lain-lain, sekaligus keluargalah yang menyediakan umat beragama. Dengan demikian, cukup beralasan jika dipertegas bahwa rumah tangga sepatutnya menjadi keluarga yang idel, demokrtais dan sehat. Sehingga keluarga mampu berperan maksimal dalam mewujudkan tatanan sosial yang tertib namun dinamis.

No comments: