Wednesday, October 31, 2012

Perubahan Sosial pada Komunitas Pemulung di TPAS Tamangapa Kota Makassar

Syamsuddin Simmau

Gambaran Umum
            Komunitas Pemulung (payabo) yang menjadi perhatian makalah ini adalah komunitas yang bermukim di Kelurahan Bangkalah dan Kelurahan Tamangapa Kecamatan Manggala Kota Makassar. Terdapat 422 kepala keluarga (KK) pemulung. Secara rinci dapat dijelaskan bahwa jumlah pemulung semua 780 orang; pemulung laki-laki berjumlah 379 orang dan perempuan  401 orang. Dalam klasifikasi usia, komunitas pemulung dibagi menjadi; pemulung remaja yang berusia 19 – 33 tahun berjumlah 199 orang; laki-laki berjumlah 122 orang dan perempuan berjumlah 77 orang. Kelompok umur 6-18 tahun berjumlah 514; laki-laki berjumlah 306 orang, perempuan 208 orang. Sementara kelompok umur 5 tahun ke bawah berjumlah 290 orang; laki-laki berjumlah 135 dan perempuan berjumlah 155 orang. Komunitas pemulung tersebut bermukim di Kelurahan Bangkala RW 4 yang tersebar di RT 00E,00A, 00C, 00D dan Kelurahan Tamangapa yang tersebar di RW 4 RT 1,2,3,4,dan 5. (Yapta-U, Januari 2011).
            Komunitas pemulung yang bermukim di dua kelurahan di kota Makassar ini melakukan aktifitas mereka di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Tamangapa, Kecamatan Manggala Kota Makassar. Mereka berasal dari latar belakang etnis yang berbeda, yaitu; etnis Bugis, Kajang dan Makassar yang berasal dari Kabupaten Sinjai, Jeneponto, Takalar, Maros, Bantaeng, Bulukumba, Gowa dan Kota Makassar.
            Melihat kompleksitas kehidupan sosial komunitas pemulung ini maka penulis tertarik untuk melakukan analisis lebih mendalam berkaitan dengan perubahan sosial yang telah terjadi pada komunitas tersebut sebelum adanya aktifitas pendampingan dan sesudah adanya aktifitas pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan Pabbatta Ummi (Yapta-U) dan lembaga lain di TPAS Antang. Dalam melakukan aktifitasnya, Yapta-U melakukan kegiatan secara independen dan swadaya dan juga bekerja sama beberapa lembaga-lembaga, seperti UNICEF, Plan International, ILO, Kementrian Sosial RI dan Dinas Sosial Propinsi dan Kota Makassar.
            Tentu saja, paper ini membutuhkan pengembangan yang lebih matang, baik dari segi metodologi maupun  dari segi pengumpulan data lapangan. Namun demikian, paper ini akan member arti penting untuk memberikan deskripsi awal tentang komunitas pemulung yang bermukim di Kelurahan Tamangapa dan Bangkala Kota Makassar dengan mengacu pada beberapa teori perubahan sosial.

Persfektif Teoritis
            Keberadaan komunitas pemulung di TPAS Tamangapa, Kota Makassar menarik untuk dikaji berdasarkan beberapa pemikiran teoritis dari beberapa sosiolog. Teori-teori inilah yang kemudian menjadi landasan analisis dalam paper ini. Pemikiran Sztompka dan beberapa pemikiran sosiolog dapat dibuktikan berdasarkan realitas-realitas sosial yang ada. Dalam mendukung gagasan ini, Sztomka rupanya menyetujui pemikiran Macionis (1987) yang mengatakan bahwa perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu. Sementara menurut Ritzer dkk (1987:560), bahwa perubahan sosial mengacu pada variasi hubungan antar individu, kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat  pada  waktu tertentu. Melengkapi gagasannya tentang konsep perubahan sosila, Sztompka juga rupanya menyetujui pendapat Farley, 1990:626) yang mengatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu (Sztompka, 2010:5).
            Secara garis besar dapat dipertegas bahwa berdasarkan teori perubahan sosial di atas maka perubahan sosial meliputi perubahan; pola pikir, perilaku yang berkorelasi langsung dengan perubahan hubungan sosial, variasi hubungan antar individu, kelompok, organisasi sosial, lembaga sosial dan struktur sosial dalam waktu tertentu. Dengan demikian, bahwa perubahan sosial dapat dibagi dalam tiga dimensi, yaitu: dimensi struktural, kultural dan interaksional. Dengan kata lain bahwa perubahan sosial tak lain merupakan perubahan dalam “sistem sosial” (Maria, 2011).
            Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Soekanto (1990) bahwa ada beberapa factor yang mendorong jalannya perubahan, yaitu:
      a. Adanya kontak dengan kebudayaan lain.
      b.      System pendidikan formal yang maju.
      c.       Toleransi terhadap deviasi (perbuatan menyimpang yang bukan merupakan delik).
      d.      Open stratification ( system lapisan masyarakat yang terbuka)
      e.      Penduduk yang heterogen.
      f.       Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
      g.      Orientasi ke masa depan.
      h.      Adanya nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki kehidupan.
Berdasarkan deskripsi teoritis di atas maka ada 5 poin yang menjadi fokus tulisan ini, yaitu; pendidikan, kesehatan, ekonomi, hubungan antar individu dan organisasi kelompok yang terjadi pada komunitas pemulung yang bermukim di sekitar TPAS Tamangapa, Kota Makassar.

Pembahasan
A. Kondisi Awal
Pada mulanya, tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) berlokasi di Baraya, berseberangan dengan Pasar Terong kota Makassar dan dari Tempat pembuangan sampah lainnya di Kota Makassar seperti dari Tanjung. TPAS kemudian dipindahkan ke Tamangapa Antang sekitar tahun 1997. Perpindahan tersebut juga mengakibatkan berpindahnya komunitas pemulung dari Baraya ke sekitar Tamangapa, yang selanjutnya mereka bermukim di kelurahan Tamangapa dan Bangkala.
Ketika TPAS berada di Tamangapa, kondisi pendidikan komunitas pemulung masih sangat rendah. Kepala dan ibu rumah tangga hanya tamatan sekolah dasar (SD), sementara anak-anak mereka tidak lagi bersekolah. Jadi semua anggota keluarga yang sudah bisa keluar rumah (berusia sekitar 3-4 tahun) dapat dikatakan telah menjadi pemulung atau paling tidak sudah berada di lokasi TPAS.
Pada bidang kesehatan masyarakat, komunitas pemulung ketika itu belum memiliki rumah permanen. Mereka masih mendiami rumah-rumah yang terbuat dari kardus dan seng bekas. Selain itu, jamban dan sumber air bersih masih sangat tergantung pada kondisi lingkungan sekitar, tidak ada jamban permanen. Sementara sumber air berasal dari tempat yang jauh di pemukuman warga. Karena itu, air tanah yang berada di sekitar TPAS menjadi sumber air yang peling dekat, padahal sumber air tersebut tidak memiliki jaminan kesehatan karena air tanah mulai terkontaminasi oleh resapan air dari sampah.
            Kondisi ekonomi komunitas pemulung berada pada lapisan terendah, tidak berdaya. Karena, tidak ada manajemen pengelolaan hasil memulung sampah yang memadai. Setiap sampah yang telah dikumpulkan oleh semua anggota keluarga langsung dijual kepada pengumpul sampah tanpa melalui proses pemilahan. Akibatnya, nilai jual sampah sangat rendah. Karena sampah tidak kelompokkan berdasarkan nilai ekonomisnya.
            Sementara hubungan antar individu terjadi dalam keluarga dan anggota keluarga atau kerabat lain yang juga menjadi pemulung. Kumpulan kerabat yang biasanya berasal dari daerah yang sama inilah yang kemudian membentuk kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok pemulung tersebut rentan terhadap konflik antar kelompok. Sehingga, sering terjadi perkelahian antar pemulung ketika itu.
            Secara struktur, komunitas pemulung tidak memiliki organisasi formal. Posisi pengumpul lebih tinggi dari kepala dan ibu rumah tangga pemulung dan pemulung (payabo). Biasanya, anggota keluarga menjual hasil yabo (memulung) mereka kepada pengumpul yang telah ditentukan oleh kepala keluarga. Apalagi, jika si pengumpul juga bertindak sebagai ”rentenir” yang telah meminjamkan uang kepada keluarga pemulung sebelum anggota keluarga pemulung memiliki sampah yang dapat dijual. Kondisi ini menempatkan payabo tergantung kepada si pengumpul.

B. Kondisi Kekinian
Sejak tahun 1994, sekolompok mahasiswa yang menaruh perhatian pada pendampingan anak membentuk sebuah lembaga sosial yang bernama Yayasan Pabbatta Ummi (Yapta-U). Mereka inilah yang kemudian melakukan pendampingan kepada komunitas pemulung di TPAS Tamangapa. Pendampingan yang dilakukan Yapta-U kemudian mendapat respon dari lembaga dunia seperti UNICEF, Plan Iternational, dan ILO. Selain dengan lembaga tersebut juga dengan NGO local dan pemerintah setempat.
Kehadiran orang dari luar komunitas pemulung, baik berupa lembaga, maupun perorangan jelas berdampat pada perubahan sosial di komunitas pemulung. Hal ini disebabkan karena; adanya kontak dengan kebudayaan lain, system pendidikan formal yang maju, toleransi terhadap deviasi (perbuatan menyimpang yang bukan merupakan delik), open stratification ( system lapisan masyarakat yang terbuka), penduduk yang heterogen, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, orientasi ke masa depan, dan Adanya nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki kehidupan seperti yang dikemukakan Soekanto dalam persfektif teoritis tulisan ini.
Perubahan sosial yang terjadi pada komunitas pemulung di TPAS Antang juga dapat dilihat pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hubungan antar individu dan organisasi kelompok. Pada bidang pendidikan, saat ini, semua anak pemulung usia sekolah telah menikmati pendidikan dasar (SD), untuk pendidikan menengah, sebagain besar telah menyelesaikan jenjang pendidikan SMP dan SMA, bahkan sudah ada yang menyelesaikan pendidikan tinggi pada tingkat Strata-1. Peningkatan pendidikan ini jelas merupakan manifestasi dari terjadinya perubahan pola pikir dan perilaku anggota dan keluarga komunitas pemulung. Selain pada pendidikan formal, keberadaan Sanggar Kegiatan Warga (SKW) menjadi ruang pendidikan informal bagi anak-anak dan ibu rumah tangga komunitas pemulung. Dengan demikian, juga terjadi peningkatan kapasitas para ibu rumah tangga. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan dan pola kerja pada komunitas pemulung.
Peningkatan kualitas pendidikan juga berimplikasi positif pada peningkatan kualitas kesehatan mereka. Saat ini, hampir semua rumah komunitas pemulung telah bersifat semi permanen. Pada rumah mereka, juga telah terdapat jamban keluarga. Sumber air bersih dari PDAM juga telah mengalir. Karena itu, pola perilaku sosial dalam bidang kesehatan masyarakat juga mengalami perubahan positif.
Pada bidang ekonomi, komunitas pemulung juga mengalami perubahan positif. Perilaku yang dulunya langsung menjual semua hasil yabo, kini, sudah upaya untuk memilah sampah-sampah yang telah diyabo tersebut berdasatkan nilai ekonominya masing-masing. Sampah pelastik berupa plastik air mineral ukuran gelas lebih rendah harganya dibanding ukuran botol. Demikian pula dengan kerta juga memiliki harga yang bervariasi. Dengan adanya, pemilahan tersebut maka tingkat pendapatan pemulung juga meningkat.
Selain pola pemilahan sampah, secara sederhana, sebagian anggota komunitas pemulung juga telah melakukan upaya menabung dalam bentuk simpan pinjam dengan pola BMT. Pengelolaan dana simpan pinjam tersebut dikelolah langsung oleh ibu-ibu rumah tangga yang telah ditunjuk oleh pendamping dan anak-anak keluarga pemulung yang dinilai telah memiliki kecakapan khusus pengelolaan keuangan. Kecakapan pengelolaan keuangan bagi anak-anak keluarga pemulung diperoleh dari pendidikan formal dan informal dari pendampingan yang telah dilakukan. Dengan adanya pengelolaan keuangan mikro tersebut maka dominasi pengumpul tidak lagi terjadi. Peningkatan kualitas ekonomi komunitas pemulung dapat dilihat dari adanya kepemilikan alat-alat teknologi yang bernilai ekonomi tinggi seperti televisi, hand phone, kulkas dan alat-alat transportasi seperti motor dimana alat-alat tersebut tidak dimiliki oleh komunitas pemulung pada masa-masa awal keberadaan mereka di TPAS Antang.
Pada bidang interaksi antar individu dalam komunitas pemulung juga telah mengalami perubahan. Saat ini, komunitas pemulung lebih terbuka terhadap kelompok lain, termasuk bagi kelompok dari luar yang merupakan pendamping, peneliti, seniman dan kelompok masyarakat lain. Dengan terbukanya pola interaksi sosial tersebut maka terbuka pula peluang bagi terciptanya pola hubungan antar kelompok masyarakat di luar komunitas pemulung.
Pada masa awal keberadaan mereka di TPAS Antang mereka hanya melakukan interaksi sosial secara internal dalam komunitas mereka. Pelaksanaan pesta pernikahan, khitanan dan hajatan lain, kini telah melibatkan masyarakat lain di luar kominitas mereka. Dengan demikian, telah terjadi peningkatan pola hubungan dengan komunitas luar.
Organisasi-organisasi sosial pun kini telah tumbuh dalam komunitas pemulung, seperti; kelompok pengajian, kelompok arisan, pengurus mesjid, remaja mesjid, kelompok kesenian dan radio komunitas. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas pemulung telah menjadi komunitas terbuka dan sama dengan komunitas masyarakat lainnya. Bahkan mayabo (memulung) telah menjadi pekerjaan alternative bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Menurut wawacara mendalam dengan Makmur (38 th), Direktur Pelaksana Yapta-U, perubahan yang terjadi pada mada komunitas pemulung di TPAS Antang dapat dilihat setelah melalui rentan waktu 5 tahun. Namun, perubahan tersebut telah mulai dirasakan kebedaradaan dan manfaatnya setelah 7 tahun. Penilaian Makmur ini juga dibenarkan Daeng Naha (25 th), Ibu Rumah Tangga, komunitas pemulung. Dulu Daeng Naha merupakan payabo namun kini, ia telah mengembangkan usaha menjual kue-kue di sekitar TPAS serta menjadi pengelola ekonomi keuangan mikro.

Kesimpulan
            Komunitas pemulung di TPAS Antang telah mengalami perubahan yang oleh Soekanto disebut perubahan lambat. Meski demikian, perubahan tersebut mengalami peningkatan bertahap berupa perubahan dengan pola bertahap menuju ke arah progres. Perubahan pada kominitas pemulung peliputi perubahan pola pikir, perilaku yang berimpilikasi langsung pada bidang pendidikan, kesehatan masyarakat, ekonomi, pola hubungan antar individu dan oranisasi masyarakat.

Daftar Bacaan:

E. Pandu, Maria, Prof. 2011. Materi Kuliah Perubahan Sosial Kontemporer (tidak diterbitkan).

Fukuyama, Prancis. 2001. Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal.Yogyakarta: Qalam

_______________. 2007. Trust Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Yogyakarta: Qalam

_______________. 2005. Guncangan Besar Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru. Jakarta: PT. Gramedia-Freedom Institute.

Henslin, James M. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi Jilid 2 Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga


Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grasindo Persada

Ritzer, George, Douglas J.Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern (Edisi Keenam). Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Sztompka, Tiotr. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Veeger, K.J. 1986.Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi.

Yapta-U, Januari 2011, Laporan Pendampingan (tidak diterbitkan).

 

No comments: