Wednesday, October 31, 2012

Perubahan Sosial pada Komunitas Pemulung di TPAS Tamangapa Kota Makassar

Syamsuddin Simmau

Gambaran Umum
            Komunitas Pemulung (payabo) yang menjadi perhatian makalah ini adalah komunitas yang bermukim di Kelurahan Bangkalah dan Kelurahan Tamangapa Kecamatan Manggala Kota Makassar. Terdapat 422 kepala keluarga (KK) pemulung. Secara rinci dapat dijelaskan bahwa jumlah pemulung semua 780 orang; pemulung laki-laki berjumlah 379 orang dan perempuan  401 orang. Dalam klasifikasi usia, komunitas pemulung dibagi menjadi; pemulung remaja yang berusia 19 – 33 tahun berjumlah 199 orang; laki-laki berjumlah 122 orang dan perempuan berjumlah 77 orang. Kelompok umur 6-18 tahun berjumlah 514; laki-laki berjumlah 306 orang, perempuan 208 orang. Sementara kelompok umur 5 tahun ke bawah berjumlah 290 orang; laki-laki berjumlah 135 dan perempuan berjumlah 155 orang. Komunitas pemulung tersebut bermukim di Kelurahan Bangkala RW 4 yang tersebar di RT 00E,00A, 00C, 00D dan Kelurahan Tamangapa yang tersebar di RW 4 RT 1,2,3,4,dan 5. (Yapta-U, Januari 2011).
            Komunitas pemulung yang bermukim di dua kelurahan di kota Makassar ini melakukan aktifitas mereka di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Tamangapa, Kecamatan Manggala Kota Makassar. Mereka berasal dari latar belakang etnis yang berbeda, yaitu; etnis Bugis, Kajang dan Makassar yang berasal dari Kabupaten Sinjai, Jeneponto, Takalar, Maros, Bantaeng, Bulukumba, Gowa dan Kota Makassar.
            Melihat kompleksitas kehidupan sosial komunitas pemulung ini maka penulis tertarik untuk melakukan analisis lebih mendalam berkaitan dengan perubahan sosial yang telah terjadi pada komunitas tersebut sebelum adanya aktifitas pendampingan dan sesudah adanya aktifitas pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan Pabbatta Ummi (Yapta-U) dan lembaga lain di TPAS Antang. Dalam melakukan aktifitasnya, Yapta-U melakukan kegiatan secara independen dan swadaya dan juga bekerja sama beberapa lembaga-lembaga, seperti UNICEF, Plan International, ILO, Kementrian Sosial RI dan Dinas Sosial Propinsi dan Kota Makassar.
            Tentu saja, paper ini membutuhkan pengembangan yang lebih matang, baik dari segi metodologi maupun  dari segi pengumpulan data lapangan. Namun demikian, paper ini akan member arti penting untuk memberikan deskripsi awal tentang komunitas pemulung yang bermukim di Kelurahan Tamangapa dan Bangkala Kota Makassar dengan mengacu pada beberapa teori perubahan sosial.

Persfektif Teoritis
            Keberadaan komunitas pemulung di TPAS Tamangapa, Kota Makassar menarik untuk dikaji berdasarkan beberapa pemikiran teoritis dari beberapa sosiolog. Teori-teori inilah yang kemudian menjadi landasan analisis dalam paper ini. Pemikiran Sztompka dan beberapa pemikiran sosiolog dapat dibuktikan berdasarkan realitas-realitas sosial yang ada. Dalam mendukung gagasan ini, Sztomka rupanya menyetujui pemikiran Macionis (1987) yang mengatakan bahwa perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu. Sementara menurut Ritzer dkk (1987:560), bahwa perubahan sosial mengacu pada variasi hubungan antar individu, kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat  pada  waktu tertentu. Melengkapi gagasannya tentang konsep perubahan sosila, Sztompka juga rupanya menyetujui pendapat Farley, 1990:626) yang mengatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu (Sztompka, 2010:5).
            Secara garis besar dapat dipertegas bahwa berdasarkan teori perubahan sosial di atas maka perubahan sosial meliputi perubahan; pola pikir, perilaku yang berkorelasi langsung dengan perubahan hubungan sosial, variasi hubungan antar individu, kelompok, organisasi sosial, lembaga sosial dan struktur sosial dalam waktu tertentu. Dengan demikian, bahwa perubahan sosial dapat dibagi dalam tiga dimensi, yaitu: dimensi struktural, kultural dan interaksional. Dengan kata lain bahwa perubahan sosial tak lain merupakan perubahan dalam “sistem sosial” (Maria, 2011).
            Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Soekanto (1990) bahwa ada beberapa factor yang mendorong jalannya perubahan, yaitu:
      a. Adanya kontak dengan kebudayaan lain.
      b.      System pendidikan formal yang maju.
      c.       Toleransi terhadap deviasi (perbuatan menyimpang yang bukan merupakan delik).
      d.      Open stratification ( system lapisan masyarakat yang terbuka)
      e.      Penduduk yang heterogen.
      f.       Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
      g.      Orientasi ke masa depan.
      h.      Adanya nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki kehidupan.
Berdasarkan deskripsi teoritis di atas maka ada 5 poin yang menjadi fokus tulisan ini, yaitu; pendidikan, kesehatan, ekonomi, hubungan antar individu dan organisasi kelompok yang terjadi pada komunitas pemulung yang bermukim di sekitar TPAS Tamangapa, Kota Makassar.

Pembahasan
A. Kondisi Awal
Pada mulanya, tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) berlokasi di Baraya, berseberangan dengan Pasar Terong kota Makassar dan dari Tempat pembuangan sampah lainnya di Kota Makassar seperti dari Tanjung. TPAS kemudian dipindahkan ke Tamangapa Antang sekitar tahun 1997. Perpindahan tersebut juga mengakibatkan berpindahnya komunitas pemulung dari Baraya ke sekitar Tamangapa, yang selanjutnya mereka bermukim di kelurahan Tamangapa dan Bangkala.
Ketika TPAS berada di Tamangapa, kondisi pendidikan komunitas pemulung masih sangat rendah. Kepala dan ibu rumah tangga hanya tamatan sekolah dasar (SD), sementara anak-anak mereka tidak lagi bersekolah. Jadi semua anggota keluarga yang sudah bisa keluar rumah (berusia sekitar 3-4 tahun) dapat dikatakan telah menjadi pemulung atau paling tidak sudah berada di lokasi TPAS.
Pada bidang kesehatan masyarakat, komunitas pemulung ketika itu belum memiliki rumah permanen. Mereka masih mendiami rumah-rumah yang terbuat dari kardus dan seng bekas. Selain itu, jamban dan sumber air bersih masih sangat tergantung pada kondisi lingkungan sekitar, tidak ada jamban permanen. Sementara sumber air berasal dari tempat yang jauh di pemukuman warga. Karena itu, air tanah yang berada di sekitar TPAS menjadi sumber air yang peling dekat, padahal sumber air tersebut tidak memiliki jaminan kesehatan karena air tanah mulai terkontaminasi oleh resapan air dari sampah.
            Kondisi ekonomi komunitas pemulung berada pada lapisan terendah, tidak berdaya. Karena, tidak ada manajemen pengelolaan hasil memulung sampah yang memadai. Setiap sampah yang telah dikumpulkan oleh semua anggota keluarga langsung dijual kepada pengumpul sampah tanpa melalui proses pemilahan. Akibatnya, nilai jual sampah sangat rendah. Karena sampah tidak kelompokkan berdasarkan nilai ekonomisnya.
            Sementara hubungan antar individu terjadi dalam keluarga dan anggota keluarga atau kerabat lain yang juga menjadi pemulung. Kumpulan kerabat yang biasanya berasal dari daerah yang sama inilah yang kemudian membentuk kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok pemulung tersebut rentan terhadap konflik antar kelompok. Sehingga, sering terjadi perkelahian antar pemulung ketika itu.
            Secara struktur, komunitas pemulung tidak memiliki organisasi formal. Posisi pengumpul lebih tinggi dari kepala dan ibu rumah tangga pemulung dan pemulung (payabo). Biasanya, anggota keluarga menjual hasil yabo (memulung) mereka kepada pengumpul yang telah ditentukan oleh kepala keluarga. Apalagi, jika si pengumpul juga bertindak sebagai ”rentenir” yang telah meminjamkan uang kepada keluarga pemulung sebelum anggota keluarga pemulung memiliki sampah yang dapat dijual. Kondisi ini menempatkan payabo tergantung kepada si pengumpul.

B. Kondisi Kekinian
Sejak tahun 1994, sekolompok mahasiswa yang menaruh perhatian pada pendampingan anak membentuk sebuah lembaga sosial yang bernama Yayasan Pabbatta Ummi (Yapta-U). Mereka inilah yang kemudian melakukan pendampingan kepada komunitas pemulung di TPAS Tamangapa. Pendampingan yang dilakukan Yapta-U kemudian mendapat respon dari lembaga dunia seperti UNICEF, Plan Iternational, dan ILO. Selain dengan lembaga tersebut juga dengan NGO local dan pemerintah setempat.
Kehadiran orang dari luar komunitas pemulung, baik berupa lembaga, maupun perorangan jelas berdampat pada perubahan sosial di komunitas pemulung. Hal ini disebabkan karena; adanya kontak dengan kebudayaan lain, system pendidikan formal yang maju, toleransi terhadap deviasi (perbuatan menyimpang yang bukan merupakan delik), open stratification ( system lapisan masyarakat yang terbuka), penduduk yang heterogen, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, orientasi ke masa depan, dan Adanya nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki kehidupan seperti yang dikemukakan Soekanto dalam persfektif teoritis tulisan ini.
Perubahan sosial yang terjadi pada komunitas pemulung di TPAS Antang juga dapat dilihat pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hubungan antar individu dan organisasi kelompok. Pada bidang pendidikan, saat ini, semua anak pemulung usia sekolah telah menikmati pendidikan dasar (SD), untuk pendidikan menengah, sebagain besar telah menyelesaikan jenjang pendidikan SMP dan SMA, bahkan sudah ada yang menyelesaikan pendidikan tinggi pada tingkat Strata-1. Peningkatan pendidikan ini jelas merupakan manifestasi dari terjadinya perubahan pola pikir dan perilaku anggota dan keluarga komunitas pemulung. Selain pada pendidikan formal, keberadaan Sanggar Kegiatan Warga (SKW) menjadi ruang pendidikan informal bagi anak-anak dan ibu rumah tangga komunitas pemulung. Dengan demikian, juga terjadi peningkatan kapasitas para ibu rumah tangga. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan dan pola kerja pada komunitas pemulung.
Peningkatan kualitas pendidikan juga berimplikasi positif pada peningkatan kualitas kesehatan mereka. Saat ini, hampir semua rumah komunitas pemulung telah bersifat semi permanen. Pada rumah mereka, juga telah terdapat jamban keluarga. Sumber air bersih dari PDAM juga telah mengalir. Karena itu, pola perilaku sosial dalam bidang kesehatan masyarakat juga mengalami perubahan positif.
Pada bidang ekonomi, komunitas pemulung juga mengalami perubahan positif. Perilaku yang dulunya langsung menjual semua hasil yabo, kini, sudah upaya untuk memilah sampah-sampah yang telah diyabo tersebut berdasatkan nilai ekonominya masing-masing. Sampah pelastik berupa plastik air mineral ukuran gelas lebih rendah harganya dibanding ukuran botol. Demikian pula dengan kerta juga memiliki harga yang bervariasi. Dengan adanya, pemilahan tersebut maka tingkat pendapatan pemulung juga meningkat.
Selain pola pemilahan sampah, secara sederhana, sebagian anggota komunitas pemulung juga telah melakukan upaya menabung dalam bentuk simpan pinjam dengan pola BMT. Pengelolaan dana simpan pinjam tersebut dikelolah langsung oleh ibu-ibu rumah tangga yang telah ditunjuk oleh pendamping dan anak-anak keluarga pemulung yang dinilai telah memiliki kecakapan khusus pengelolaan keuangan. Kecakapan pengelolaan keuangan bagi anak-anak keluarga pemulung diperoleh dari pendidikan formal dan informal dari pendampingan yang telah dilakukan. Dengan adanya pengelolaan keuangan mikro tersebut maka dominasi pengumpul tidak lagi terjadi. Peningkatan kualitas ekonomi komunitas pemulung dapat dilihat dari adanya kepemilikan alat-alat teknologi yang bernilai ekonomi tinggi seperti televisi, hand phone, kulkas dan alat-alat transportasi seperti motor dimana alat-alat tersebut tidak dimiliki oleh komunitas pemulung pada masa-masa awal keberadaan mereka di TPAS Antang.
Pada bidang interaksi antar individu dalam komunitas pemulung juga telah mengalami perubahan. Saat ini, komunitas pemulung lebih terbuka terhadap kelompok lain, termasuk bagi kelompok dari luar yang merupakan pendamping, peneliti, seniman dan kelompok masyarakat lain. Dengan terbukanya pola interaksi sosial tersebut maka terbuka pula peluang bagi terciptanya pola hubungan antar kelompok masyarakat di luar komunitas pemulung.
Pada masa awal keberadaan mereka di TPAS Antang mereka hanya melakukan interaksi sosial secara internal dalam komunitas mereka. Pelaksanaan pesta pernikahan, khitanan dan hajatan lain, kini telah melibatkan masyarakat lain di luar kominitas mereka. Dengan demikian, telah terjadi peningkatan pola hubungan dengan komunitas luar.
Organisasi-organisasi sosial pun kini telah tumbuh dalam komunitas pemulung, seperti; kelompok pengajian, kelompok arisan, pengurus mesjid, remaja mesjid, kelompok kesenian dan radio komunitas. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas pemulung telah menjadi komunitas terbuka dan sama dengan komunitas masyarakat lainnya. Bahkan mayabo (memulung) telah menjadi pekerjaan alternative bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Menurut wawacara mendalam dengan Makmur (38 th), Direktur Pelaksana Yapta-U, perubahan yang terjadi pada mada komunitas pemulung di TPAS Antang dapat dilihat setelah melalui rentan waktu 5 tahun. Namun, perubahan tersebut telah mulai dirasakan kebedaradaan dan manfaatnya setelah 7 tahun. Penilaian Makmur ini juga dibenarkan Daeng Naha (25 th), Ibu Rumah Tangga, komunitas pemulung. Dulu Daeng Naha merupakan payabo namun kini, ia telah mengembangkan usaha menjual kue-kue di sekitar TPAS serta menjadi pengelola ekonomi keuangan mikro.

Kesimpulan
            Komunitas pemulung di TPAS Antang telah mengalami perubahan yang oleh Soekanto disebut perubahan lambat. Meski demikian, perubahan tersebut mengalami peningkatan bertahap berupa perubahan dengan pola bertahap menuju ke arah progres. Perubahan pada kominitas pemulung peliputi perubahan pola pikir, perilaku yang berimpilikasi langsung pada bidang pendidikan, kesehatan masyarakat, ekonomi, pola hubungan antar individu dan oranisasi masyarakat.

Daftar Bacaan:

E. Pandu, Maria, Prof. 2011. Materi Kuliah Perubahan Sosial Kontemporer (tidak diterbitkan).

Fukuyama, Prancis. 2001. Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal.Yogyakarta: Qalam

_______________. 2007. Trust Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Yogyakarta: Qalam

_______________. 2005. Guncangan Besar Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru. Jakarta: PT. Gramedia-Freedom Institute.

Henslin, James M. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi Jilid 2 Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga


Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grasindo Persada

Ritzer, George, Douglas J.Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern (Edisi Keenam). Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Sztompka, Tiotr. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Veeger, K.J. 1986.Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi.

Yapta-U, Januari 2011, Laporan Pendampingan (tidak diterbitkan).

 

PANGGIL SAYA PELACUR



Syamsuddin Simmau

Rembulan bukanlah perlambang cinta
Karena cinta hanya ada dalam hatimu
Hanya engaku yang tahu
Ketika cinta menjelma birahi
Birahi bukanlah cinta.
Ia adalah liang lahat menantimu setiap saat
Dalam gelap dan remang malam.

            Nining berkali-kali membaca selembar puisi yang terselip dalam tasnya sejak SMP dulu. Kemudian Nining menulis puisi itu kembali ketika pertama kali meladeni nafsu lelaki lain setelah suaminya pergi entah kemana. Padahal ia sudah berada di kota yang jauh dari keluarganya. Ia tak tahu jalan pulang.Baru seminggu di kota besar ini, datanglah seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun. Lelaki itu mencari suami Nining yang telah pergi entah kemana. Ia ditinggalkan di rumah kontrakan sendirian.
         Seminggu kemudian, ketika Nining tak lagi punya uang, lelaki itu datang lagi. Kali ini ia lebih rapi. Tubuhnya harum. Berbau farfum. Lelaki itu tersenyum menggoda. Katanya, suami Nining berutang 10 juta rupiah kepada lelaki itu. Dan kini untuk membayarnya, suami Nining menyerahkan Nining si perempuan cantik dari desa kepada lelaki berpantat belang itu. Ah, Nining yang suka membaca puisi ketika di bangku SMP dulu itu tak mampu bekutit.
Begitu pula hari ini. Ia kembali membaca puisi itu. Rangkaian kata yang ditulis tangan itu bagaikan jimat bagi Nining.
Tapi tiba-tiba saja Nining gelisah. Gerah rasanya. Padahal baru pukul 4 sore. Tidak biasanya gadis berkulit putih ini merasakan keadaan seperti ini. Ia keluar rumah kostnya memandang ke langit. Barangkali saja mendung. Tapi tidak juga. “Kenapa ya ?” gumam Nining tak jelas.
Harusnya perempuan cantik ini bahagia karena sebentar malam minggu. Biasanya, hasil yang ia peroleh dari hasil menjual kenikmatan lumayan banyak. Apalagi ia termasuk pekerja yang banyak digandrungi lelaki “pantat belang”. Tapi karena gundah di hatinya membuatnya terus bertanya.
“Apakah ini firasat buruk ?” Tanya Nining lain yang bertahta di balik dadanya. Ah, perempuan yang telah satu tahun menjajankan kenikmatan ini tidak percaya firasat.
Dulu, ia bermimpi naik kerbau hitam. Kata orang pintar, itu pertanda ia akan segera berbahagia karena memperoleh suami setia dan rezki melimpah. Nyatanya, ia menikah dengan seorang lelaki brengsek. Sama brengseknya dengan I La Galigo yang suka mempermainkan perempuan.
Mentari baru saja melambai. Mega merah temaran di bibir langit barat selat Makassar telah memudar. Keperkasaan malam kini menjelma. Merasuki para lelaki perindu kenikmatan. Lelaki yang menganggap perempuan adalah sampah. Lelaki yang selau berdusta pada istri dan anaknya. Lelaki yang tak punya rasa malu. Lelaki yang suka memaki pelacur disiang hari dan malamnya menebar rindu. Lelaki yang selalu berbicara moralitas tinggi, berbicara ketentraman rumah tangga. Berbicara proyek. Berbicara kebijakan dan regulasi.
“Puih !” entah kepada siap Nining melempar amarah.
Setiap ia hendak keluar rumah untuk bekerja air mata beningnya selalu menetes. Baginya air mata itu adalah mantra. Mantra yang selalu ia tasbihkan. Selalu dilakukannya. Ritual purba satu-satunya yang ia miliki ketika ia ragu pada kekuatan doa.
Taxi meluncur membawa Nining yang keluar rumah tanpa jiwa. Karena jiwanya ia tinggal di kamar kost. Tubuh Nining keluar tanpa cinta. Karena cinta diluar selalu menjelma birahi. Padahal birahi bukanlah cinta. Hanya jiwa Nining yang tahu tentang cinta sejati, tentang cinta yang luka, tentang cinta yang dihianati.
            Pukul 2 dinihari. Nining lepas bukingan. Perjanjiannya memang hanya sampai jam 2. Nining letih, rasanya ia mau pulang saja. Tapi ia harus menyerahkan setoran kepada bos yang juga berpantat belang. Ia menuju ke Jl. Nusantara. Tapi ia baru masuk ke dalam sebuah tempat hiburan malam, tiba-tiba banyak orang. Semuanya laki-laki. Ada petugas keamanan, ada pejabat, ada anggota dewan—entah dewan dari mana—semua perempuan yang hendak pulang ditangkap. Nining tak luput. Tingkah para lelaki kasar itu persis malaikat bertanduk dan bertaring. Bagaimana tidak Nining tahu siap mereka. Nining juga biasa bersama mereka.
            “Tangkap mereka,” seru salah seorang.
            “ Ini semua yang merusak moralitas,” teriak laki-laki yang lainnya lagi.
            “ Itu satunya lagi, Tangkap,” teriak yang lainnya sambil meneteskan air liur.
            “ Itu ada satu lagi, jangan sampai lolos,” teriak orang yang bertubuh besar dan gendut.
            “Ini semua yang merusak citra kota,” hardik lelaki yang agak hitam dan mengayungkan pentungan di tangannya.
            “Puih !” Nining tiba-tiba meludah ke tanah. Keras. Pandangannya diarahkan kepada lelaki yang mungkin pemimpin pasukan malam itu.
            “Kenapa kamu,” lelaki bermata merah itu membentak Nining.
            Nining tak bicara hanya matanya yang menyalak. Persis menikam biji mata lelaki itu. Lelaki itu tertunduk tak mampu menatap tatapan Nining yang menikam bagai badik berlekuk tuju.
            “Puih !” meski diseret menuju ke mobil, Nining masih sempat meludah lagi.
            “Heh, kamu. Berhenti,” hardik seorang petugas yang sedang mencari-cari muka kepada pimpinan pasukan malamnya.
            Langkah Nining dihentikan. Kedua lengan Nining dipegang erat.
            “Kamu marah kalau ditangkap, ya ? Makanya berhentilah berbuat begini. Kalian ini bisa merusak moralitas masyarakat kita. Jadilah perempuan baik-baik,” kata lelaki itu berkotbah tapi air liur menetes di sela bibirnya melihat tubuh Nining yang sintal.
            “Aku mengenalmu. Aku juga mengenal bos mu. Aku juga mengenal teman mu itu,” lelaki itu gelapan. Ia memandang pasukannya sembari tertunduk.
            “Hust, diam. Kamu ini bisa merusk reputasi kami,” kata lelaki itu setengah berbisik.
            “Ha…ha…ha,” Nining ngakak panjang dan keras. Keras sekali sampai semua orang yang hadir memandang ke arahnya.
            “Oe, Santi, Mita, Reni,” Nining memanggil nama teman-temannya yang tentu saja nama-nama yang disamarkan. “Buka kutangmu. Tunjukkan bahwa dia baru tidur bersama kamu kemarin. Ayo tunjuku siapa yang sudah menggaulimu tapi tidak bayar. Ayo katakan siapa yang mau memberi makan anakmu yang ditinggal pergi bapaknya. Ayo katakan siapa yang memperkosamu, tapi ia malah dilepaskan karena ia anak bos. Ha..ha..ha,” Nining seperti dirasuki dewi perang.
“Hai bapak-bapak, kami tidak pernah korupsi. Kami tidak pernah mengambil uang rakyat. Kami tidak pernah menetapkan anggaran yang di mark up. Kami tidak pernah menghisap darah masyarakat dengan alasan pajak. Kami tidak pernah menggusur oranng miskin yang butuh makan. Kami tidak pernah mengajak bapak bersetubuh dengan kami. Bapak yang tega berdusta pada istri bapak. Berdusta pada anak Bapak. Kami tidak pernah berdusta kepada suami kami. Suami kamilah yang berdusta pada kami,” Nining menghela napas dalam.
“Bagimana, kami pelacur terhormat, bukan” Kami pelacur suka membaca. Kami tahu kelakuan burukmu. Insyaflah ! puih !” semua orang terdiam. Seperti terhipnotis ceramah Nining. “Bagaimana, saya pelacur pintar, bukan ?” geram Nining sembari mengencangkan gerahamnya.
Seorang petugas mendekati Nining. Tapi Nining tidak mengenal petugas ini. Ia sepertinya orang baru. Ia meminta petugas melepaskan lengan Nining. Jelas ia petugas baru. Karena ia pun tak mengenal Nining, padahal Nining sang primadona pelacur.
“Maaf, siapa nama anda ?” Tanya petugas yang dari tadi tidak pernah bersuara itu. Tidak pernah bicara. Tidak pernah memberi aba-aba penangkapan. Tidak pernah tertawa. Tubuhnya tidak terlalu besar. Ia berpakain biasa. Nining mengamati sekujur tubuh laki-laki itu.
“Maaf siapa nama, anda ?” tanya lelaki itu lagi.
Nining mendesah. “Apa arti sebuah nama. Panggil saja saya pelacur.”

Makassar, 27 Juni 2005

Tuesday, October 30, 2012

KEBAJIKAN LOKAL MAKASSAR

(Sebuah Perspektif Kontemporer)

Syamsuddin Simmau
 
Adapun pangkal suatu perbuatan baik itu ada lima macam: 1) Jika hendak melakukan sesuatu, pikirkanlah masak-masak akan kesudahan perbuatan itu;2) Jangan marah kalau diperingati; 3) Takutlah kepada orang jujur; 4) Janganlah lekas mempercayai sesuatu kabar tapi jangan pula lekas mendustakannya; 5) Bila sudah marah betul barulah mengadakan permusuhan.
(Nasehat Raja Tallo-Mangkubumi Kerajaan Gowa,
Sultan Abdullah Awalul Islam kepada putranya, Karaeng Pattingalloang,
dalam Mangemba, 1956:79)
  


A.      Menuju Manusia Berdaya

Sebagai awalan, ada baiknya menyimak pernyataan Freire  sebagai berikut:
Kebebasan harus diraih lewat penaklukan, bukan sebagai hadiah; kebebasan harus direbut, bukan diterima sebagai anugrah. Kebebasan harus terus menerus dikejar secara bertanggung jawab. Kebebasan bukanlah suatu cita-cita yang letaknya di luar manusia; bukan pula sepotong gagasan yang menjadi mitos. Kebebasan lebih merupakan syarat yang tak bisa ditawar-tawar lagi agar manusia dapat memulai perjuangan untuk menjadi manusia utuh (Paulo Freire, terjemahan, 2009:434 ).

Pernyataan Freire di atas merupakan sebuah jalan menuju manusia berdaya. Keberdayaan hanya bisa dicapai jika manusia merdeka; merdeka dari penindasan diri sendiri, pikiran-pikiran, dogma, doksa, dan apalagi penindasan material dalam wujud kekuasaan. Kemerdekaan membawa manusia pada kondisi berdaya; dimana berdaya berarti memiliki kedasaran puncak yang lahir dari pikiran-pikiran puncak, diejawantahkan dalam aksi sosial, direfleksikan sebagai kontrol atas aksi dalam bingkai evolusi menuju manusia yang utuh.
Diri (self) manusia menurut George Herbert Mead dalam Veeger (1986: 224) terdiri dari ‘I‘ dan ‘me’. I merupakan wujud ketunggalan, ia mewakili individualitas seseorang, bersifat spontan dan rasional. Sementara me adalah diri sosial yang mencakup semua sikap, symbol norma, dan pengharapan masyarakat yang telah dibatinkan individu dan dipakai oleh individu tersebut dalam menentukan kelakuannya.
Dengan demikian, konsep manusia utuh secara sosiologis merupakan adalah intergrasi nonpartial antara I dan me menuju kemerdekaan keberdayaan diri untuk mencapai keutuhan diri. Integrasi I dan me tersebut tidaklah terjadi secara spontan tapi ia merupakan proses pembentukan realitas baru yang melalui proses reflektif atas interaksi yang terjadi.
Dalam hal ini, terjadinya realitas baru menurut Peter L. Berger dalam Poloma (2010:302) melalui proses dialektis objektifasi, internalisasi dan eksternalisasi. Proses dialektis tersebut melahirkan realitas sosial baru sebagai manifestasi dari reaksi aktor terhadap struktur. Secara sederhana dapat dilihat sebagai berikut:


 
                 Pemikiran di atas menunjukkan bahwa proses evolusi memang terus berjalan. Realitas sosial dan cultural secara paralel juga berlangsung. Teori Thomas Khun dalam Ritzer dan Goodman (2010: A-12) menggambarkan sebuah proses perubahan ilmu pengetahuan yang besar sebagaimana ilustrasi berikut:



 

                 Rupanya teori Khun ini tidak hanya berlaku bagi proses ilmu pengetahuan tapi juga terjadi dalam realitas sosial dimana terdapat sebuah realitas sosial dengan segala macam struktur dan perangkat sosial di dalamnya berdasarkan tatanan socio-cultural (sosiokultural) yang mapan (normal) kemudian terjadi anomali dari proses dialektis sebagaimana dikemukakan Berger, selanjutnya terjadi krisis, kemudian berlanjut pada aksi revolusi, dan lahirlah realitas baru dengan segala tatanan sosiokulturalnya.
Meski demikian, paradigma evolusionisme tersebut dipandang tidak lagi memadai untuk memaknai realitas. Sudah saatnya realitas (semesta, termasuk realita sosiokultural, penulis) dalam pandangan newscience, dipandang sebagai sebuah kesatuan semesta. Oleh karenanya, ia tidak bisa lagi dipandang secara parsial tapi dipandang dalam wujud interkonekasitas.  Wujud interkoneksitas inilah yang disebut tatanan (Amien, 2005:172).
Deskripsi pemikiran terdahulu memberikan pandangan bahwa masyarakat telah mengalami perubahan yang besar baik dari sudut pandang positifisme maupun dari sudut pandang new science yang menekankan tatanan sebagai sebuah kesatuan semesta. Dalam perssektif new science tidak terdapat batas yang tegas antartatanan. Karena setiap tatanana mengalami interkoneksitas satu sama lain yang mewujud menjadi tatananan yang lebih besar (semesta).
Berdasar dari beberapa pemikiran di atas maka manusia berdaya sesungguhnya adalah manusia  merdeka yang mampu melakukan adaptasi kreatif terhadap setiap perubahan sosial menurut nilai-nilai yang diyakinya untuk menyeleraskan diri dalam keberlangsungan hidup sebuah tatanan.
Pandangan penulis bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan, sebagaimana pemikiran Sztompka (2010). Dalam hal ini, bukanlah perubahan yang menjadi masalah, bukan pula dengan bentuk-bentuk perubahan, bahkan bukan pula apa yang terjadi di masa depan setelah terjadi perubahan, namun yang penting adalah apa yang menjadi bekal yang menyertai sebuah tatanan menuju masa depan. Bekal inilah yang sesungguhnya yang dimaksud oleh Amien (2005) dengan spirit zaman. 
                 Konsep manusia berdaya menjadi pokok pikiran penting dalam diskursus sosiokultural. Dalam hal ini, etnis Makassar merupakan sebuah tatanan yang didalamnya terdapat bekal spirit zaman yang mengantarnya bertahan sampai saat ini setelah melalui proses perubahan. Bagi penulis, spirit zaman senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar. Meski demikian diakui bahwa setiap nilai akan secara otomatis mengalami perubahan bentuk, mungkin dalam bentuk implementasi tapi tidak dalam bentuk nilai filosofisnya. Dengan demikian,     etnis Makassar sebagai sebuah tatanan yang masih eksis hingga saat ini dalam tatanan semesta jelas memiliki nilai-nilai filosofis yang patut diperhatikan sebagai bagian integral spirit zaman saat ini.

B.       Beberapa Nilai Filosofis Etnik Makassar
Sebelum menyajikan deskripsi lebih jauh, ada baiknya diperhatikan etnik Bugis-Makassar. Dua kata Bugis dan Makassar cenderung dipandang satu oleh berbagai ilmuan, sebut misalnya; Mattulada, Zainal Abidin, dan Abu Hamid. Menurut Pelras (2006:16) Bugis-Bugis Makassar sebagai etnik sulit dibedakan karena kedua etnik ini memiliki kesamaan-kesamaan umum dalam kebudayaan. Yang berbeda hanya bahasa mereka saja.
Meski demikian, penulis memandang bahwa meskipun kedua etnis Bugis dan Makassar merupakan etniks serumpun yang sangat mirik tapi jelas ia berbeda. Bukankan bahasa menunjukkan suku bangsa ? Mari kita lihat beberapa nilai filosofis yang menjadi spirit zaman etnik Makassar yang menurut hemat penulis masih bertahan hingga kini.

             1.      Siri’ (kadang ditulis sirik)
Menurut Zainal Abidin, Andaya, sejarawan Amerika yang pandai berbahasa Bugis dan membaca Lontarak yang mulamenemukan konsep Sirik dan Pacce, yang lebih luas pandangannya, tetapi belum lengkap, menyatakan antara lain sebagai berikut: 
Istilah siri berisi berisi makna yang nampaknya saling bertentangan yaitu self-esteem atau self respect (penghargaan diri atau rasa hormat terhadap orang lain)…Suatu situasi sirik (maksudnya situasi penodaan siri, penulis) terjadi jika seorang individu merasa bahwa kedudukan atau prestige sosialnya di dalam masyarakat atau rasa harga dirinya atau kegunaannya telah dinodai oleh seseorang di depan umum. Ia juga terjadi bila seseorang telah dituduh telah melakukan sesuatu yang tercela secara keliru dan todak adil, sedangkan ia tidak pernah melakukannya. Di dalam masyarakat ini, rasa keadilan timbul serta merta dan sangat hebat. Walaupun orang Bugis-Makassar akan menerima tanpa perlawanan perlakuan kejam jika ia merasa dan yakin bahwa ia bersalah, akan tetapi sebaliknya memberikan reaksi keras dan sangat hebat terhadap perlakuan demikian jikalau ia merasa dan yakin bahwa ia di pihak yang benar, dank arena itu direndahkan martabat secara pribadi dan secara sosial. Sekali seorang telah dinodai siriknya maka ia oleh masyarakat dituntut untukmengambil langkah-langkah guna memulihkan siriknya (harkat, martabat dan harga dirinya) sesuai pandangannya dan penilaian masyarakat. Masyarakat menghendaki seseorang yangtelah dinodai harkat dan martabatnya untuk menindak si pelanggar (orang yang menodai) oleh karena menurut masyarakat bahwa lebih baik mati dalam mempertahankan dan menegakkan harkat dan martabatnya (mate ri siri’na) dari pada hidup tanpa siri (mate siri). Seseorang yang dibunuh siriknya (mate sirik) yang tida berbuat apa-apa untuk memuihkannya dipandang hina sekali dan menjijikkan dan dianggap tidak berguna sama sekali terhadap masyarakat….Dua aspek sirik (aib dan harga diri) selalu harus diseimbangkan satu sama lain. Dengan mempertahankan keseimbangan itu, maka seseorang dipandang tetap sebagai individu yang utuh dan sempurna (1999: 201).

            Konsep siri’ inilah yang menjadi hulu nilai-nilai folosofis etnis Makassar hingga saat ini.  
 
2.      Pacce
Pacce merupakan unsure siri’ yang paling penting. Menurut Andaya dalam Zainal Abidin (1999:201), pacce digambarkan sebagai berikut:

Dalam percakapan sehari-hari pacce/pesse berarti ‘to smart’ atau gegabah, cerdas,pintar, cepat, sakit, jengkel dan poignant atau pedih, perih, dan pedas. Akan tetapi ia menggambarkan emosi yang halus dan mendalam lebih daripada pengertian harfiahnya, sebagai terbenih dalam ungkapan Makassar: Ikambe Mangkasaraka, punna tasirik pacceseng nipabbulosibatangang.

Artinya: Jika buka sirik yang membuat kami orang-orang Makassar satu, maka itulah pacce.

Menurut Andaya, bahwa pacce/pesse dan sirik adalah dwi-konsep yang menjadi cirri individu Bugis-Makassar, mempertahankan keseimbangan antara aib dan harga diri sebagai diartikan oleh sirik, dan memelihara rasa kebersamaan dalam kedudukan dan penderitaan setiap anggota masyarakatnya sebagai ditegaskan di dalam gagasan pacce/pesse sangat diharapkan dari seorang Bugis-Makassar…Ikatan antara mereka menjadi diperkuat dan solidaritas atau kebersamaan kelompok akan dipertahankan.

3.      Lambusu (jujur)
Raja Tallo, Karaeng Matuaya yang bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam kepada putranya, Karaeng Pattingalloang dalam Mangemba, (1956:79) menekankan betapa pentingnya kejujuran bagi orang Makassar. Karaeng Matuaya berpesan agar Karaeng Pattingalloang takut kepada orang yang “jujur”.

4.      Reso (etos)
Reso atau etos bagi orang Makassar merupakan nilai yang masih eksis hingga saat ini. Reso dapat kita lihat dalam ungkapan:
 Takunjunga’ bunging turu’
Nakunciri’ gulingku,
Kualleanna,
Tallanga natoalia”
Artinya secara bebas, saya tidak begitu saja mengikuti arah angin dan tidak begitu saja memutar kemudi, saya lebih suka tenggelam dari pada kembali (Mangemba, 1956:12).
 
5.      Kacaraddekang (kecerdasan)
Sani (2005: 21) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kepandaian atau kecerdasan yang melebihi kecerdasan orang lain biasanya menempati kedudukan sosial yang terpandang. Karena itu, kacaraddekang menjadi syarat bagi seorang pemimpin orang Makassar.

6.      Kabaraniang (keberanian)
Keberanian, merupakan nilai yang hingga kini masih dipegang teguh oleh orang Makassar. Hal ini dapat dilihat dari keberanian orang Makassar dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang beresiko tinggi. Sejak zaman dahulu, para panglima perang dan prajurit Makassar dikenal sangat berani berperang. Mereka rela mati demi membela kebenaran yang diyakininya. Peninggal sejarah berupa bunging baranian (sumur berani), mengandung makna sumur tempat para prajurit dimandikan. Menurut Sani, selain kacaraddekang, kabaraniang juga menjadi syarat pemimpin orang Makassar.

7.      Kakalumanynyangang (kedemawanan)
Bagi orang Makassar, kedermawanan menjadi ukuran seseorang apakah orang itu baik atau buruk. Jika ia dermawan orang itu dianggap baik. Hanya saja, memang landasan nilai ini seringkali dimanfaatkan oleh orang tertentu untuk menjadi “patron”bagi orang Makassar lainnya. Kakalumanynyangan inilah menjadi dasar solidaritas orang Makassar yang begitu kuat.

   C.     Analisis
Demikianlah beberapa nilai filosofis yang menurut hemat penulis masih dapat dijumpai hingga saat ini meskipun telah mengalami banyak benturan dengan nilai-nilai lain, realitas sosial sosial lain dan paradigm nilai-nilai baru yang lain. Hanya saja, sebagai sebuah spirit zaman, nilai-nilai folosofis orang Makassar tersebut tentu juga mengalami perubahan dalam bentuk implementasi dalam kehidupan sosiokultural orang Makassar. Hanya saja, nilai-nilai luhur kita telah mewujudk dalam realitas baru. Realitas nilai-nilai folosif ini yang telah mengalami benturan dan tafsir yang cenderung sectarian, etnisitas, komunal. Sehingga perlu dilakukan transformasi cultural. Sayangnya, kita tidak punya panutan yang konsisten, teguh/gigih (getteng) dalam menjadikan nilai-nilai budaya kita sebagai perilaku keseharian.
Transformasi nilai-nilai siri’, pacce, kacaraddekang, lambusu’, kabaraniang, kakalumannyangang dan reso perlu segera dilakukan kea rah yang tidak bersifat sectarian, etnisitas, dan komunal semata. Nilai-nilai tersebut mendesak untuk ditransformasi dalam wujud objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi (Berger) yang bermuara pada perwujudan kehidupan sosial yang dinamis tapi mallebiri, barani tapi cara’de’ (nilai kebijaksanaan), dan kritis (sipakainga’), dan barani tapi tidak puji ale.
Untuk mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dibutuhkan agen organic (pemimpin sosial) yang malabbiri’, lambusu, cara’dek, barani dalam bingaki siri na pacce. Kita butuh pemimpin sosial dalam setiap strata dan lembaga sosial kita.
Sebagai tawaran, perlu dilakukan penelitian komprehensif untuk mencari tahu lebih dalam nilai-nilai Makassar apa yang kini masih bertahan dan dipegang kuat oleh masyarakat Makassar dalam kehidupan kesejarian mereka. Semoga catatan, singkat ini dapat menjadi pengantar diskusi untuk melahirkan spirit zaman yang lebih kokoh dan kuat untuk menjadi bagian integral dari interkoneksitas tatanan lainnya.


DAFTAR BACAAN

Abidin, Andi Zainal, Prof. Mr. 1999. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan Makassar: Hasanuddin University Press.

 Abidin, Andi Zainal, Prof. Mr. 1999. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan Makassar: Hasanuddin University Press.

Berger, Peter L. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan. Jakarta: LP3ES.

Amien, A. Mappadjantji, 2005. Kemandirian Lokal Konsepsi Pembangunan,Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Freire, Paulo, 1999. Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Freire, Paulo, Ivan Illich, Erich From dkk, 2009. Menggungat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarks. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mangemba, H.D, 1956. Kenallah Sulawesi Selatan. Djakarta: Timun Mas.

Mattulada, H.A.Prof.Dr. 1991 Menyusuri Jejak Makassar dalam Sejarah (1510-1700). Makassar: Hasanuddin University Press.

Pelras, Cristian, 2006. Manusia Bugis (terjemahan). Jakarta: Nalar Forum Jakarta-Paris Ecole Francaise d’Extreme-Orient.

Poloma, Margaret M, 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas,J. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.

Sani, Yamin, M. 2005: Manusia, Kebudayaan, dan Pembangunan di Sulawesi Selatan. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Selatan.

Sztompka, Piotr, 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Veeger,K.J. 1995. Realitas Sosial. Jakarta: PT. Gramedia.