Syamsuddin Simmau
Gambaran Umum
Komunitas Pemulung (payabo)
yang menjadi perhatian makalah ini adalah komunitas yang bermukim di
Kelurahan Bangkalah dan Kelurahan Tamangapa Kecamatan Manggala Kota
Makassar. Terdapat 422 kepala keluarga (KK) pemulung. Secara rinci dapat
dijelaskan bahwa jumlah pemulung semua 780 orang; pemulung laki-laki
berjumlah 379 orang dan perempuan 401 orang. Dalam klasifikasi usia,
komunitas pemulung dibagi menjadi; pemulung remaja yang berusia 19 – 33
tahun berjumlah 199 orang; laki-laki berjumlah 122 orang dan perempuan
berjumlah 77 orang. Kelompok umur 6-18 tahun berjumlah 514; laki-laki
berjumlah 306 orang, perempuan 208 orang. Sementara kelompok umur 5
tahun ke bawah berjumlah 290 orang; laki-laki berjumlah 135 dan
perempuan berjumlah 155 orang. Komunitas pemulung tersebut bermukim di
Kelurahan Bangkala RW 4 yang tersebar di RT 00E,00A, 00C, 00D dan
Kelurahan Tamangapa yang tersebar di RW 4 RT 1,2,3,4,dan 5. (Yapta-U,
Januari 2011).
Komunitas pemulung yang bermukim di dua kelurahan di kota Makassar ini
melakukan aktifitas mereka di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS)
Tamangapa, Kecamatan Manggala Kota Makassar. Mereka berasal dari latar
belakang etnis yang berbeda, yaitu; etnis Bugis, Kajang dan Makassar
yang berasal dari Kabupaten Sinjai, Jeneponto, Takalar, Maros, Bantaeng,
Bulukumba, Gowa dan Kota Makassar.
Melihat kompleksitas kehidupan sosial komunitas pemulung ini maka
penulis tertarik untuk melakukan analisis lebih mendalam berkaitan
dengan perubahan sosial yang telah terjadi pada komunitas tersebut
sebelum adanya aktifitas pendampingan dan sesudah adanya aktifitas
pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan Pabbatta Ummi (Yapta-U) dan
lembaga lain di TPAS Antang. Dalam melakukan aktifitasnya, Yapta-U
melakukan kegiatan secara independen dan swadaya dan juga bekerja sama
beberapa lembaga-lembaga, seperti UNICEF, Plan International, ILO,
Kementrian Sosial RI dan Dinas Sosial Propinsi dan Kota Makassar.
Tentu saja, paper ini membutuhkan pengembangan yang lebih matang, baik
dari segi metodologi maupun dari segi pengumpulan data lapangan. Namun
demikian, paper ini akan member arti penting untuk memberikan deskripsi
awal tentang komunitas pemulung yang bermukim di Kelurahan Tamangapa dan
Bangkala Kota Makassar dengan mengacu pada beberapa teori perubahan
sosial.
Persfektif Teoritis
Keberadaan
komunitas pemulung di TPAS Tamangapa, Kota Makassar menarik untuk
dikaji berdasarkan beberapa pemikiran teoritis dari beberapa sosiolog.
Teori-teori inilah yang kemudian menjadi landasan analisis dalam paper
ini. Pemikiran Sztompka dan beberapa pemikiran sosiolog dapat dibuktikan
berdasarkan realitas-realitas sosial yang ada. Dalam mendukung gagasan
ini, Sztomka rupanya menyetujui pemikiran Macionis (1987) yang
mengatakan bahwa perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi
masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu. Sementara menurut Ritzer dkk
(1987:560), bahwa perubahan sosial mengacu pada variasi hubungan antar
individu, kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu
tertentu. Melengkapi gagasannya tentang konsep perubahan sosila,
Sztompka juga rupanya menyetujui pendapat Farley, 1990:626) yang
mengatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan pola perilaku,
hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu
(Sztompka, 2010:5).
Secara garis besar dapat dipertegas bahwa berdasarkan teori perubahan
sosial di atas maka perubahan sosial meliputi perubahan; pola pikir,
perilaku yang berkorelasi langsung dengan perubahan hubungan sosial,
variasi hubungan antar individu, kelompok, organisasi sosial, lembaga
sosial dan struktur sosial dalam waktu tertentu. Dengan demikian, bahwa perubahan sosial dapat dibagi dalam tiga dimensi, yaitu: dimensi struktural, kultural dan interaksional. Dengan kata lain bahwa perubahan sosial tak lain merupakan perubahan dalam “sistem sosial” (Maria, 2011).
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Soekanto (1990) bahwa ada
beberapa factor yang mendorong jalannya perubahan, yaitu:
a. Adanya kontak dengan kebudayaan lain.
b. System pendidikan formal yang maju.
c. Toleransi terhadap deviasi (perbuatan menyimpang yang bukan merupakan delik).
d. Open stratification ( system lapisan masyarakat yang terbuka)
e. Penduduk yang heterogen.
f. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
g. Orientasi ke masa depan.
h. Adanya nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki kehidupan.
Berdasarkan
deskripsi teoritis di atas maka ada 5 poin yang menjadi fokus tulisan
ini, yaitu; pendidikan, kesehatan, ekonomi, hubungan antar individu dan
organisasi kelompok yang terjadi pada komunitas pemulung yang bermukim
di sekitar TPAS Tamangapa, Kota Makassar.
Pembahasan
A. Kondisi Awal
Pada
mulanya, tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) berlokasi di Baraya,
berseberangan dengan Pasar Terong kota Makassar dan dari Tempat
pembuangan sampah lainnya di Kota Makassar seperti dari Tanjung. TPAS
kemudian dipindahkan ke Tamangapa Antang sekitar tahun 1997. Perpindahan
tersebut juga mengakibatkan berpindahnya komunitas pemulung dari Baraya
ke sekitar Tamangapa, yang selanjutnya mereka bermukim di kelurahan
Tamangapa dan Bangkala.
Ketika
TPAS berada di Tamangapa, kondisi pendidikan komunitas pemulung masih
sangat rendah. Kepala dan ibu rumah tangga hanya tamatan sekolah dasar
(SD), sementara anak-anak mereka tidak lagi bersekolah. Jadi semua
anggota keluarga yang sudah bisa keluar rumah (berusia sekitar 3-4
tahun) dapat dikatakan telah menjadi pemulung atau paling tidak sudah
berada di lokasi TPAS.
Pada
bidang kesehatan masyarakat, komunitas pemulung ketika itu belum
memiliki rumah permanen. Mereka masih mendiami rumah-rumah yang terbuat
dari kardus dan seng bekas. Selain itu, jamban dan sumber air bersih
masih sangat tergantung pada kondisi lingkungan sekitar, tidak ada
jamban permanen. Sementara sumber air berasal dari tempat yang jauh di
pemukuman warga. Karena itu, air tanah yang berada di sekitar TPAS
menjadi sumber air yang peling dekat, padahal sumber air tersebut tidak
memiliki jaminan kesehatan karena air tanah mulai terkontaminasi oleh
resapan air dari sampah.
Kondisi ekonomi komunitas pemulung berada pada lapisan terendah, tidak
berdaya. Karena, tidak ada manajemen pengelolaan hasil memulung sampah
yang memadai. Setiap sampah yang telah dikumpulkan oleh semua anggota
keluarga langsung dijual kepada pengumpul sampah tanpa melalui proses
pemilahan. Akibatnya, nilai jual sampah sangat rendah. Karena sampah
tidak kelompokkan berdasarkan nilai ekonomisnya.
Sementara hubungan antar individu terjadi dalam keluarga dan anggota
keluarga atau kerabat lain yang juga menjadi pemulung. Kumpulan kerabat
yang biasanya berasal dari daerah yang sama inilah yang kemudian
membentuk kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok pemulung tersebut rentan
terhadap konflik antar kelompok. Sehingga, sering terjadi perkelahian
antar pemulung ketika itu.
Secara struktur, komunitas pemulung tidak memiliki organisasi formal.
Posisi pengumpul lebih tinggi dari kepala dan ibu rumah tangga pemulung
dan pemulung (payabo). Biasanya, anggota keluarga menjual hasil yabo (memulung)
mereka kepada pengumpul yang telah ditentukan oleh kepala keluarga.
Apalagi, jika si pengumpul juga bertindak sebagai ”rentenir”
yang telah meminjamkan uang kepada keluarga pemulung sebelum anggota
keluarga pemulung memiliki sampah yang dapat dijual. Kondisi ini
menempatkan payabo tergantung kepada si pengumpul.
B. Kondisi Kekinian
Sejak
tahun 1994, sekolompok mahasiswa yang menaruh perhatian pada
pendampingan anak membentuk sebuah lembaga sosial yang bernama Yayasan
Pabbatta Ummi (Yapta-U). Mereka inilah yang kemudian melakukan
pendampingan kepada komunitas pemulung di TPAS Tamangapa. Pendampingan
yang dilakukan Yapta-U kemudian mendapat respon dari lembaga dunia
seperti UNICEF, Plan Iternational, dan ILO. Selain dengan lembaga
tersebut juga dengan NGO local dan pemerintah setempat.
Kehadiran
orang dari luar komunitas pemulung, baik berupa lembaga, maupun
perorangan jelas berdampat pada perubahan sosial di komunitas pemulung.
Hal ini disebabkan karena; adanya kontak dengan kebudayaan lain, system
pendidikan formal yang maju, toleransi terhadap deviasi (perbuatan
menyimpang yang bukan merupakan delik), open stratification ( system
lapisan masyarakat yang terbuka), penduduk yang heterogen, ketidakpuasan
masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, orientasi ke masa
depan, dan Adanya nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk
memperbaiki kehidupan seperti yang dikemukakan Soekanto dalam
persfektif teoritis tulisan ini.
Perubahan
sosial yang terjadi pada komunitas pemulung di TPAS Antang juga dapat
dilihat pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hubungan antar
individu dan organisasi kelompok. Pada bidang pendidikan, saat ini,
semua anak pemulung usia sekolah telah menikmati pendidikan dasar (SD),
untuk pendidikan menengah, sebagain besar telah menyelesaikan jenjang
pendidikan SMP dan SMA, bahkan sudah ada yang menyelesaikan pendidikan
tinggi pada tingkat Strata-1. Peningkatan pendidikan ini jelas merupakan
manifestasi dari terjadinya perubahan pola pikir dan perilaku anggota
dan keluarga komunitas pemulung. Selain pada pendidikan formal,
keberadaan Sanggar Kegiatan Warga (SKW) menjadi ruang pendidikan
informal bagi anak-anak dan ibu rumah tangga komunitas pemulung. Dengan
demikian, juga terjadi peningkatan kapasitas para ibu rumah tangga. Hal
ini menyebabkan terjadinya perubahan dan pola kerja pada komunitas
pemulung.
Peningkatan
kualitas pendidikan juga berimplikasi positif pada peningkatan kualitas
kesehatan mereka. Saat ini, hampir semua rumah komunitas pemulung telah
bersifat semi permanen. Pada rumah mereka, juga telah terdapat jamban
keluarga. Sumber air bersih dari PDAM juga telah mengalir. Karena itu,
pola perilaku sosial dalam bidang kesehatan masyarakat juga mengalami
perubahan positif.
Pada bidang ekonomi, komunitas pemulung juga mengalami perubahan positif. Perilaku yang dulunya langsung menjual semua hasil yabo, kini, sudah upaya untuk memilah sampah-sampah yang telah diyabo tersebut berdasatkan nilai ekonominya masing-masing. Sampah pelastik berupa plastik air mineral ukuran gelas lebih rendah harganya dibanding ukuran botol.
Demikian pula dengan kerta juga memiliki harga yang bervariasi. Dengan
adanya, pemilahan tersebut maka tingkat pendapatan pemulung juga
meningkat.
Selain
pola pemilahan sampah, secara sederhana, sebagian anggota komunitas
pemulung juga telah melakukan upaya menabung dalam bentuk simpan pinjam
dengan pola BMT. Pengelolaan dana simpan pinjam tersebut dikelolah
langsung oleh ibu-ibu rumah tangga yang telah ditunjuk oleh pendamping
dan anak-anak keluarga pemulung yang dinilai telah memiliki kecakapan
khusus pengelolaan keuangan. Kecakapan pengelolaan keuangan bagi
anak-anak keluarga pemulung diperoleh dari pendidikan formal dan
informal dari pendampingan yang telah dilakukan. Dengan adanya
pengelolaan keuangan mikro tersebut maka dominasi pengumpul
tidak lagi terjadi. Peningkatan kualitas ekonomi komunitas pemulung
dapat dilihat dari adanya kepemilikan alat-alat teknologi yang bernilai
ekonomi tinggi seperti televisi, hand phone, kulkas dan alat-alat
transportasi seperti motor dimana alat-alat tersebut tidak dimiliki oleh
komunitas pemulung pada masa-masa awal keberadaan mereka di TPAS
Antang.
Pada
bidang interaksi antar individu dalam komunitas pemulung juga telah
mengalami perubahan. Saat ini, komunitas pemulung lebih terbuka terhadap
kelompok lain, termasuk bagi kelompok dari luar yang merupakan
pendamping, peneliti, seniman dan kelompok masyarakat lain. Dengan
terbukanya pola interaksi sosial tersebut maka terbuka pula peluang bagi
terciptanya pola hubungan antar kelompok masyarakat di luar komunitas
pemulung.
Pada
masa awal keberadaan mereka di TPAS Antang mereka hanya melakukan
interaksi sosial secara internal dalam komunitas mereka. Pelaksanaan
pesta pernikahan, khitanan dan hajatan lain, kini telah melibatkan
masyarakat lain di luar kominitas mereka. Dengan demikian, telah terjadi
peningkatan pola hubungan dengan komunitas luar.
Organisasi-organisasi sosial pun kini telah tumbuh
dalam komunitas pemulung, seperti; kelompok pengajian, kelompok arisan,
pengurus mesjid, remaja mesjid, kelompok kesenian dan radio komunitas.
Hal ini menunjukkan bahwa komunitas pemulung telah menjadi komunitas
terbuka dan sama dengan komunitas masyarakat lainnya. Bahkan mayabo (memulung) telah menjadi pekerjaan alternative bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Menurut
wawacara mendalam dengan Makmur (38 th), Direktur Pelaksana Yapta-U,
perubahan yang terjadi pada mada komunitas pemulung di TPAS Antang dapat
dilihat setelah melalui rentan waktu 5 tahun. Namun, perubahan tersebut
telah mulai dirasakan kebedaradaan dan manfaatnya setelah 7 tahun.
Penilaian Makmur ini juga dibenarkan Daeng Naha (25 th), Ibu Rumah
Tangga, komunitas pemulung. Dulu Daeng Naha merupakan payabo namun kini, ia telah mengembangkan usaha menjual kue-kue di sekitar TPAS serta menjadi pengelola ekonomi keuangan mikro.
Kesimpulan
Komunitas
pemulung di TPAS Antang telah mengalami perubahan yang oleh Soekanto
disebut perubahan lambat. Meski demikian, perubahan tersebut mengalami
peningkatan bertahap berupa perubahan dengan pola bertahap menuju ke
arah progres. Perubahan pada kominitas pemulung peliputi perubahan pola
pikir, perilaku yang berimpilikasi langsung pada bidang pendidikan,
kesehatan masyarakat, ekonomi, pola hubungan antar individu dan
oranisasi masyarakat.
Daftar Bacaan:
E. Pandu, Maria, Prof. 2011. Materi Kuliah Perubahan Sosial Kontemporer (tidak diterbitkan).
Fukuyama, Prancis. 2001. Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal.Yogyakarta: Qalam
_______________. 2007. Trust Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Yogyakarta: Qalam
_______________. 2005. Guncangan Besar Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru. Jakarta: PT. Gramedia-Freedom Institute.
Henslin, James M. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi Jilid 2 Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga
Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grasindo Persada
Ritzer, George, Douglas J.Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern (Edisi Keenam). Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Sztompka, Tiotr. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Veeger, K.J. 1986.Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi.
Yapta-U, Januari 2011, Laporan Pendampingan (tidak diterbitkan).