Wednesday, December 4, 2013

KESEHATAN MENTAL DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN MAKASSAR



Syamsuddin Simmau


Pendahuluan
            Dalam sebuah kesempatan yang membahagiakan tahun, 2012 lalu, saya mendapat kehormatan mendengarkan perbincangan informal antara Prof. Dr. H. Rusli Ngatimin (FKM), Prof. Dr. Maria E. Pandu (Sosilogi) dan Prof. Dr. H.Mahmud Tang (Antropologi), ketiganya adalah Guru Besar di Universitas Hasanuddin Makassar. Selama tiga kali pertemuan, tiga pakar tersebut banyak mengupas nilai-nilai budaya asli (indigenous) yang berpotensi digunakan untuk mendukung peningkatan taraf kesehatan ibu dan anak di Sulawesi Selatan. Mengingat, tingkat kematian ibu dan anak di daerah ini dipandang masih tinggi. Ketika itu, tentulah saya lebih banyak mendengar sambil melakukan beberapa pencatatan.  

            Dari perbincangan tiga pakar tersebut di atas, saya sering kali mendegar kata “sanro”. Kata ini digunakan oleh orang Bugis dan Makassar yang padan dengan kata “dukun” dalam bahasa Indonesia. Kata “dukun” tidak berkonotasi negatif. Dalam pikiran saya ketika itu, dukun adalah wujud purba dari “dokter”.  Meskipun, dalam prakteknya, diakui bahwa banyak tindakan dukun yang tidak sesuai dengan ilmu kedokteran. Namun, peranan dukun, khususnya dukun beranak dalam konteks ini tidak dapat dinafikan dalam memberikan pertolongan pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak. Dari perbincangan tiga guru besar, tempat saya belajar ini, saya menarik hipotesis sederhana bahwa betapa pentingnya memaksimalkan potensi budaya dalam meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.
            Saat mendengar kata “sanro”, pikiran saya pun diam-diam mengakui pandangan Ife dan Tesoriero (2008: 451) yang mengatakan bahwa tradisi budaya lokal dapat menjadi poin sentral dalam pengembangan masyarakat yang meliputi berbagai aspek. Karena itu, dalam konteks kebudayaan Makassar, diperlukan kajian mengenai aspek-asepk budaya lokal yang dapat menjadi poin sentral pengembangan masyarakat dimakasud.
            Tulisan singkat ini bersifat subjektif, tentu saja ia masih memerlukan studi dan penelitian mendalam untuk menggali lebih banyak nilai-nilai dan aspek-aspek budaya Makassar yang dapat menjadi modal budaya dalam pengembangan taraf kesehatan masyarakat. Meski demikian, tulisan ini dimaksudkan sebagai pintu masuk untuk melakukan studi lanjutan, khususnya studi tentang keterkaitan antara budaya orang Makassar dengan kesehatan mental. Karena itu, untuk mendukung kebutuhan ini, saya melakukan studi teks dan aspek kebudayaan Makassar lainnya yang mendukung. Dalam proses ini, saya menemukan beberapa kata dan seni musik tradisional yang erat kaitannya dengan tema tulisan ini. Maka saya pun masuk ke dalam tema ini melalui pintu kata dan seni.
            Ada dua hal yang menjadi poin pembahasan ini, yaitu kesehatan mental (kesehatan jiwa) dan kesehatan fisik yang keduanya dibingkai dalam perilaku sehat Orang Makassar.

Melacak Indikator Kesehatan Mental Melalui Kata, Makanan dan Seni “Orang” Makassar

a. Kata (prase)
Akhirnya, saya larut dalam studi kecil yang menarik ini. Ada dua orang sahabat yang menghangatkan pergumulan saya dengan kosa kata Makassar, yaitu Penyair M. Anis Kaba dan Alim Prasasti. Kajian literature ini berlangsung di rumah Pak Anis (sapaan saya kepada M. Anis Kaba), Kamis, 24 Oktober 2013. Langkah pertama yang saya lakukan adalah meminta dua orang mitra studi saya ini untuk mengumpulkan kosa kata atau prase atau aspek kebudayaan Makassar yang berhubungan dengan kesehatan (bukan hanya kesehatan mental). Dua orang ini saya pilih sebagai mitra studi karena keduanya adalah orang Makassar yang memahami budaya orang Makassar.
            Ada beberapa kata sehari-hari (kata yang masih hidup dalam masyarakat Makassar kekinian) yang diidentifikasi sebagai kata yang berkaitan dengan kesehatan, termasuk kesehatan mental, yaitu:
1. Tu pongoro’ = orang gila
2. Tu pongo’-pongoro’ = orang setengah gila
3. Sanro = dukun
4. Pa’ balle = obat
5. Gassing = sehat dan kuat; paripurna.
6. Gassing-gassing ji = sehat-sehat saja
7. Tangkasa’ = bersih (bisa juga bermakna sembuh)
8. Baji’-baji’mi = sudah agak baik
9. Tallasa’ = hidup
10. Jampangi (sijampangi) = pedulikan (saling peduli)
11. Katutui batang kalennu (prase) = jagalah dirimu (dalam segala hal).
12. Garring = sakit

b. Makanan
            Mari kita cek beberapa makanan yang berbasis kultur orang Makassar, antara lain:
1. Cucuru’ bayao (gula, telur)
2. Cucuru’  (gula merah)
3. Konro (tulang)
4. Coto (jeroan)
5. Kaluku
6. Golla
7. Pallu’ ce’la
8. Pallu’ mara
9. Pallu mara
10. Pallu kacci
            Makanan-makanan yang berbasis kultur tersebut jelas rawan memicu terjadinya penyakit hipertensi, diabetes, jantung dan lain-lain. Jika makanan-makanan tersebut memang menjadi penyebab utama kematian seseorang maka saya pikir sudah tidak ada orang Makassar yang hidup saat ini.

c. Seni Musik dan Tari
1. Seni Musik
Selain, kata dan prase, dalam perbicangan saya dengan Hamzah Dg. Ramma (Seniman musik tradisional Makassar) yang sekaligus murid Bapak Mile atau Daeng Mile (maestro musik tradisional Makassar), dikatakan bahwa dalam musik tradisional Makassar dikenal jenis musik yang disebut tunrung pa’balle (musik gendang pengobatan). Menurut Dg. Ramma, tunrung pa’balle biasanya dilakukan jika ada seseorang yang menderita sakit menahun namun tidak kunjung sembuh setelah diobati, termasuk obat dokter. Tunrung pa’balle ini bisa pula dilakukan untuk mengobati orang yang mengalami sakit non medis atau menderita sakit akibat terkena ilmu sihir (guna-guna).
Sementara itu, Daeng Mile, bahkan memandang seni musik tradisional itu sebagai jalan spiritual. Baginya, bermusik adalah ibadah. Maka tidak heran jika Dg. Mile dan komunitasnya yang bermukim di Kalaserena, Bontonompo, Kabupaten Gowa, masih eksis hingga kini. Mereka bertahan dalam gempuran kultur asing yang serba citra dan fantasi. Kedalaman pemahaman musik Dg. Mile yang saban hari dilakoni melalui ritual dan tradisi perkawinan di Makassar menjadikan keberadaan musik gendang Makassar pada saat ada hajatan pernikahan wajib dipertunjukkan. Dalam hal ini, musik tradisonal Makassar bukanlah sekadar media hiburan, tapi ia sekaligus menjadi media pengobatan, media appasili’ (mappasili’) — doa untuk meminta kesehatan dan keselamatan bagi si empunya hajatan dan keluarganya – agar penyakit baik penyakit fisik maupun mental menjauh dari kehidupan keluarga si pemangku hajatan.

2. Pakarena
            Pakarena adalah paduan antara musik pakarena dan gerak (tari) pakarena. Menurut Dg. Mile, Pakarena sesungguhnya adalah konsep keseimbangan hidup antara fisik dan spiritual. Musik pakarena yang bertalu-talu, gemuruh dan berapi-api sedangkan gerak pakarena dilakukan sebaliknya; gerak pakarena; lembut, gemulai bahkan bergerak atas perintah jiwa. Rupanya konsep keseibangan inilah yang membuat orang Makassar masih bertahan hingga kini.
             
Perlakuan terhadap Orang Sakit
Bagi orang Makassar, mereka yang mengalami sakit mental disebut tu pongoro’ dan yang dalam bahasa halusnya biasa disebut tugarring. Sedangkan orang setengah waras disebut tu pongo’-pongoro’. Meskipun, kata tu pongoro’ dan tupongo’-pongoro’ juga kadang digunakan untuk melampiaskan kekesalan seseorang kepada orang yang membuatnya kesal.
            Sebelum menderita sakit, khususnya sakit mental, orang Makassar mengenal nasihat katutui batang kalennu yang berarti jaga diri dari segala hal. Artinya, orang Makassar memiliki pengetahuan tentang cara preventif untuk mencegah agar tidak menderita sakit. Namun, setelah seseorang mengalami sakit maka orang Makassar akan sijampangi dan si katutui. Bagi masyarakat Makassar, keluarga yang sakit patut mendapat pertolongan dari keluarga dan tetangga. Karena itu, telah jamak bagi masyarakat Makassar, jika ada anggota keluarga yang sakit maka anggota keluarga lainnya akan menjaga, baik di rumah sakit atau di rumah (perawatan di rumah) sementara anggota keluarga lainnya dan tetatangga datang menjenguk. Ketika datang menjenguk si sakit, keluarga dan tetangga yang datang biasanya membawa uang untuk membantu pengobatan si sakit. Perilaku seperti ini tidak hanya terjadi di desa tapi juga masih terjadi dalam kehidupan masyarakat Makassar di perkotaan.
            Khusus bagi anggota keluarga yang mengalami sakit mental, dalam kondisi yang sangat parah sekalipun, biasanya tidak dipasung, hanya dikurung dalam kamar atau rumah. Hal ini dilakukan agar si sakit tidak mengganggu orang lain. Berbeda dengan suku lain, orang Makassar tidak menyembunyikan jika ada anggota keluarga mereka yang mengalami sakit mental  dengan alasan malu (masiri’). Bagi, mereka keluarga yang sakit mental tetaplah keluarga mereka karenanya harus dirawat di rumah. Namun, dewasa ini, anggota keluarga yang sakit mental sudah dirawat di rumah sakit. Dalam hal ini, ada dua kasus yang mendukung, yaitu keluarga ANK dan keluarga ARN (sengaja disamarkan untuk menghindari publikasi individual yang tidak diinginkan). Sebagai catatan, keluarga ANK dan ARN adalah keluarga yang teguh memegang kultur Makassar.
            Selain ke rumah sakit, orang Makassar juga masih meminta bantuan paranormal atau ahli spiritual untuk menyembuhkan penyakit mental yang diderita. Karena, penyakit mental masih di anggap sebagai bagian dari ilmu sihir. Selain meminta bantuan kepada dukun atau ahli spiritual, sebagaimana disebutkan di atas, juga kadang dilakukan pengobatan dengan cara nipatunrungangngi gandarng (dimainkan music tradisional Makassar yang disebut tunrung pa’balle). Namun, pengobatan dengan musik ini biasanya masih terbatas pada keluarga bangsawan atau keluarga si musisi saja.
           
Kesimpulan
            Masyarakat Makassar memandang bahwa penyakit mental dapat disembuhkan melalui bantuan sanro dan juga musik. Ketika ada anggota keluarga atau tetangga yang mengalami sakit maka sikap solidaritas masyarakat Makassar muncul untuk memberi bantuan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami penyakit mental, maka orang Makassar merawat keluarganya di rumah. Bagi kelompok menengah dewasa ini, umumnya, anggota keluarga yang sakit mental diserahkan kepada rumah sakit jiwa untuk dirawat. Sementara anggota keluarga lainnya datang menjenguk ke rumah sakit.

DAFTAR BACAAN

 Abidin, Andi Zainal. 1999. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan Makassar: Hasanuddin University Press.

Herskovits, J, Melville. 1951. Man and His Works The Science of Cultural Anthropology. New York: Alfred A. Knopf.

Ife, Jim & Frank Tesoriero.2008. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi Community Development (diterjemahkan oleh Sastrawan Manullang dkk). Yagyakarta: Pustaka Pelajar.

Mangemba, H.D, 1956. Kenallah Sulawesi Selatan. Djakarta: Timun Mas.
Mattehes, B.F. 1883. Hollandsch-Makassaarch Woordenlijst (cetakan ke 2).

Mattulada, H.A.1991 Menyusuri Jejak Makassar dalam Sejarah (1510-1700). Makassar: Hasanuddin University Press.

Sani, Yamin, M. 2005. Manusia, Kebudayaan, dan Pembangunan di Sulawesi Selatan. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan.

Foto:

DSC_4952.JPG


Gendang Makassar: Arfan Rahim (paling depan) dan team sedang mempertunjukan music gendang Makassar (Gambar atas)

Foto wawancara Syamsuddin Simmau dengan Bapak Mile.jpg

Wawancara Syamsuddin Simmau dengan Bapak Mile di kediaman Bapak Mile

No comments: