Syamsuddin Simmau
Pendahuluan
Dalam sebuah kesempatan yang
membahagiakan tahun, 2012 lalu, saya mendapat kehormatan mendengarkan
perbincangan informal antara Prof. Dr. H.
Rusli Ngatimin (FKM), Prof. Dr. Maria E. Pandu (Sosilogi) dan Prof. Dr.
H.Mahmud Tang (Antropologi), ketiganya adalah Guru Besar di Universitas
Hasanuddin Makassar. Selama tiga kali pertemuan, tiga pakar tersebut banyak
mengupas nilai-nilai budaya asli (indigenous)
yang berpotensi digunakan untuk mendukung peningkatan taraf kesehatan ibu
dan anak di Sulawesi Selatan. Mengingat, tingkat kematian ibu dan anak di
daerah ini dipandang masih tinggi. Ketika itu, tentulah saya lebih banyak
mendengar sambil melakukan beberapa pencatatan.
Dari perbincangan tiga pakar
tersebut di atas, saya sering kali mendegar kata “sanro”. Kata ini digunakan oleh orang Bugis dan Makassar yang
padan dengan kata “dukun” dalam bahasa Indonesia. Kata “dukun” tidak
berkonotasi negatif. Dalam pikiran saya ketika itu, dukun adalah wujud purba
dari “dokter”. Meskipun, dalam
prakteknya, diakui bahwa banyak tindakan dukun yang tidak sesuai dengan ilmu
kedokteran. Namun, peranan dukun, khususnya dukun beranak dalam konteks ini
tidak dapat dinafikan dalam memberikan pertolongan pelayanan kesehatan bagi ibu
dan anak. Dari perbincangan tiga guru besar, tempat saya belajar ini, saya
menarik hipotesis sederhana bahwa betapa pentingnya memaksimalkan potensi
budaya dalam meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.
Saat mendengar kata “sanro”, pikiran
saya pun diam-diam mengakui pandangan Ife dan Tesoriero (2008: 451) yang
mengatakan bahwa tradisi budaya lokal dapat menjadi poin sentral dalam
pengembangan masyarakat yang meliputi berbagai aspek. Karena itu, dalam konteks
kebudayaan Makassar, diperlukan kajian mengenai aspek-asepk budaya lokal yang
dapat menjadi poin sentral pengembangan masyarakat dimakasud.
Tulisan singkat ini bersifat
subjektif, tentu saja ia masih memerlukan studi dan penelitian mendalam untuk
menggali lebih banyak nilai-nilai dan aspek-aspek budaya Makassar yang dapat
menjadi modal budaya dalam pengembangan taraf kesehatan masyarakat. Meski
demikian, tulisan ini dimaksudkan sebagai pintu masuk untuk melakukan studi
lanjutan, khususnya studi tentang keterkaitan antara budaya orang Makassar
dengan kesehatan mental. Karena itu, untuk mendukung kebutuhan ini, saya
melakukan studi teks dan aspek kebudayaan Makassar lainnya yang mendukung. Dalam
proses ini, saya menemukan beberapa kata dan seni musik tradisional yang erat
kaitannya dengan tema tulisan ini. Maka saya pun masuk ke dalam tema ini
melalui pintu kata dan seni.
Ada dua hal yang menjadi poin
pembahasan ini, yaitu kesehatan mental (kesehatan jiwa) dan kesehatan fisik
yang keduanya dibingkai dalam perilaku sehat Orang Makassar.
Melacak Indikator Kesehatan Mental Melalui
Kata, Makanan dan Seni “Orang” Makassar
a. Kata (prase)
Akhirnya,
saya larut dalam studi kecil yang menarik ini. Ada dua orang sahabat yang
menghangatkan pergumulan saya dengan kosa kata Makassar, yaitu Penyair M. Anis
Kaba dan Alim Prasasti. Kajian literature ini berlangsung di rumah Pak Anis
(sapaan saya kepada M. Anis Kaba), Kamis, 24 Oktober 2013. Langkah pertama yang
saya lakukan adalah meminta dua orang mitra studi saya ini untuk mengumpulkan
kosa kata atau prase atau aspek kebudayaan Makassar yang berhubungan dengan
kesehatan (bukan hanya kesehatan mental). Dua orang ini saya pilih sebagai
mitra studi karena keduanya adalah orang Makassar yang memahami budaya orang
Makassar.
Ada beberapa kata sehari-hari (kata
yang masih hidup dalam masyarakat Makassar kekinian) yang diidentifikasi
sebagai kata yang berkaitan dengan kesehatan, termasuk kesehatan mental, yaitu:
1. Tu pongoro’ =
orang gila
2. Tu pongo’-pongoro’ = orang setengah gila
3. Sanro = dukun
4. Pa’ balle = obat
5. Gassing = sehat dan kuat; paripurna.
6. Gassing-gassing ji = sehat-sehat saja
7. Tangkasa’ = bersih (bisa juga bermakna
sembuh)
8. Baji’-baji’mi = sudah agak baik
9. Tallasa’ = hidup
10. Jampangi (sijampangi) = pedulikan
(saling peduli)
11. Katutui batang kalennu (prase) = jagalah
dirimu (dalam segala hal).
12. Garring = sakit
b. Makanan
Mari kita cek beberapa makanan yang
berbasis kultur orang Makassar, antara lain:
1. Cucuru’ bayao (gula, telur)
2. Cucuru’ (gula merah)
3. Konro (tulang)
4. Coto (jeroan)
5. Kaluku
6. Golla
7. Pallu’ ce’la
8. Pallu’ mara
9. Pallu mara
10. Pallu kacci
Makanan-makanan yang berbasis kultur
tersebut jelas rawan memicu terjadinya penyakit hipertensi, diabetes, jantung dan lain-lain. Jika makanan-makanan
tersebut memang menjadi penyebab utama kematian seseorang maka saya pikir sudah
tidak ada orang Makassar yang hidup saat ini.
c. Seni Musik dan
Tari
1. Seni Musik
Selain,
kata dan prase, dalam perbicangan saya dengan Hamzah Dg. Ramma (Seniman musik
tradisional Makassar) yang sekaligus murid Bapak Mile atau Daeng Mile (maestro
musik tradisional Makassar), dikatakan bahwa dalam musik tradisional Makassar
dikenal jenis musik yang disebut tunrung
pa’balle (musik gendang pengobatan). Menurut Dg. Ramma, tunrung pa’balle biasanya dilakukan jika
ada seseorang yang menderita sakit menahun namun tidak kunjung sembuh setelah
diobati, termasuk obat dokter. Tunrung
pa’balle ini bisa pula dilakukan untuk mengobati orang yang mengalami sakit
non medis atau menderita sakit akibat terkena ilmu sihir (guna-guna).
Sementara
itu, Daeng Mile, bahkan memandang seni musik tradisional itu sebagai jalan
spiritual. Baginya, bermusik adalah ibadah. Maka tidak heran jika Dg. Mile dan
komunitasnya yang bermukim di Kalaserena, Bontonompo, Kabupaten Gowa, masih
eksis hingga kini. Mereka bertahan dalam gempuran kultur asing yang serba citra
dan fantasi. Kedalaman pemahaman musik Dg. Mile yang saban hari dilakoni
melalui ritual dan tradisi perkawinan di Makassar menjadikan keberadaan musik
gendang Makassar pada saat ada hajatan pernikahan wajib dipertunjukkan. Dalam
hal ini, musik tradisonal Makassar bukanlah sekadar media hiburan, tapi ia
sekaligus menjadi media pengobatan, media appasili’
(mappasili’) — doa untuk meminta kesehatan dan keselamatan bagi si empunya
hajatan dan keluarganya – agar penyakit baik penyakit fisik maupun mental
menjauh dari kehidupan keluarga si pemangku hajatan.
2. Pakarena
Pakarena adalah paduan antara musik
pakarena dan gerak (tari) pakarena. Menurut Dg. Mile, Pakarena sesungguhnya
adalah konsep keseimbangan hidup antara fisik dan spiritual. Musik pakarena
yang bertalu-talu, gemuruh dan berapi-api sedangkan gerak pakarena dilakukan
sebaliknya; gerak pakarena; lembut, gemulai bahkan bergerak atas perintah jiwa.
Rupanya konsep keseibangan inilah yang membuat orang Makassar masih bertahan
hingga kini.
Perlakuan terhadap Orang Sakit
Bagi
orang Makassar, mereka yang mengalami sakit mental disebut tu pongoro’ dan yang dalam bahasa halusnya biasa disebut tugarring. Sedangkan orang setengah
waras disebut tu pongo’-pongoro’.
Meskipun, kata tu pongoro’ dan tupongo’-pongoro’ juga kadang digunakan
untuk melampiaskan kekesalan seseorang kepada orang yang membuatnya kesal.
Sebelum menderita sakit, khususnya sakit
mental, orang Makassar mengenal nasihat katutui
batang kalennu yang berarti jaga diri dari segala hal. Artinya, orang
Makassar memiliki pengetahuan tentang cara preventif untuk mencegah agar tidak
menderita sakit. Namun, setelah seseorang mengalami sakit maka orang Makassar
akan sijampangi dan si katutui. Bagi masyarakat Makassar,
keluarga yang sakit patut mendapat pertolongan dari keluarga dan tetangga.
Karena itu, telah jamak bagi masyarakat Makassar, jika ada anggota keluarga
yang sakit maka anggota keluarga lainnya akan menjaga, baik di rumah sakit atau
di rumah (perawatan di rumah) sementara anggota keluarga lainnya dan tetatangga
datang menjenguk. Ketika datang menjenguk si sakit, keluarga dan tetangga yang
datang biasanya membawa uang untuk membantu pengobatan si sakit. Perilaku
seperti ini tidak hanya terjadi di desa tapi juga masih terjadi dalam kehidupan
masyarakat Makassar di perkotaan.
Khusus bagi anggota keluarga yang
mengalami sakit mental, dalam kondisi yang sangat parah sekalipun, biasanya tidak
dipasung, hanya dikurung dalam kamar atau rumah. Hal ini dilakukan agar si
sakit tidak mengganggu orang lain. Berbeda dengan suku lain, orang Makassar tidak
menyembunyikan jika ada anggota keluarga mereka yang mengalami sakit mental dengan alasan malu (masiri’). Bagi, mereka keluarga yang sakit mental tetaplah keluarga
mereka karenanya harus dirawat di rumah. Namun, dewasa ini, anggota keluarga
yang sakit mental sudah dirawat di rumah sakit. Dalam hal ini, ada dua kasus
yang mendukung, yaitu keluarga ANK dan keluarga ARN (sengaja disamarkan untuk
menghindari publikasi individual yang tidak diinginkan). Sebagai catatan,
keluarga ANK dan ARN adalah keluarga yang teguh memegang kultur Makassar.
Selain ke rumah sakit, orang
Makassar juga masih meminta bantuan paranormal atau ahli spiritual untuk
menyembuhkan penyakit mental yang diderita. Karena, penyakit mental masih di
anggap sebagai bagian dari ilmu sihir. Selain meminta bantuan kepada dukun atau
ahli spiritual, sebagaimana disebutkan di atas, juga kadang dilakukan
pengobatan dengan cara nipatunrungangngi
gandarng (dimainkan music tradisional Makassar yang disebut tunrung pa’balle). Namun, pengobatan
dengan musik ini biasanya masih terbatas pada keluarga bangsawan atau keluarga
si musisi saja.
Kesimpulan
Masyarakat Makassar memandang bahwa
penyakit mental dapat disembuhkan melalui bantuan sanro dan juga musik. Ketika ada anggota keluarga atau tetangga
yang mengalami sakit maka sikap solidaritas masyarakat Makassar muncul untuk
memberi bantuan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami penyakit mental, maka
orang Makassar merawat keluarganya di rumah. Bagi kelompok menengah dewasa ini,
umumnya, anggota keluarga yang sakit mental diserahkan kepada rumah sakit jiwa
untuk dirawat. Sementara anggota keluarga lainnya datang menjenguk ke rumah
sakit.
DAFTAR BACAAN
Abidin,
Andi Zainal. 1999. Capita Selecta
Kebudayaan Sulawesi Selatan Makassar: Hasanuddin University Press.
Herskovits, J, Melville. 1951. Man and His Works The Science of Cultural
Anthropology. New York: Alfred A. Knopf.
Ife, Jim & Frank Tesoriero.2008. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era
Globalisasi Community Development (diterjemahkan oleh Sastrawan Manullang dkk).
Yagyakarta: Pustaka Pelajar.
Mangemba, H.D, 1956. Kenallah Sulawesi Selatan. Djakarta:
Timun Mas.
Mattehes, B.F. 1883. Hollandsch-Makassaarch Woordenlijst (cetakan ke 2).
Mattulada, H.A.1991 Menyusuri Jejak Makassar dalam Sejarah (1510-1700). Makassar:
Hasanuddin University Press.
Sani, Yamin, M. 2005. Manusia, Kebudayaan, dan Pembangunan di Sulawesi Selatan. Makassar:
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan.
Foto:
Gendang Makassar: Arfan Rahim (paling
depan) dan team sedang mempertunjukan music gendang Makassar (Gambar atas)
Wawancara Syamsuddin Simmau dengan
Bapak Mile di kediaman Bapak Mile
No comments:
Post a Comment