Sunday, November 15, 2009

Puisi

Doa Seorang Penulis Fana

Syamsuddin Simmau


Wahai Tuhan yang Maha Menulis tanda kebesaranNya

Sungguh Engkaulah Maha Berilmu

Engkaulah Maha Kasih

Tak kuasalah hamba Menulis jika Engkau tak mengizinkan

Sekiranya Engkau Ridha maka kuatkanlah hamba untuk menulis

dengan ikhlas dan penuh cinta

Jadikanlah tulisan hamba membuat hamba bahagia

Membuat Keluarga hamba bahagia

Membuat sahabat hamba bahagia

Sekiranya Engkau Ridha maka jadikanlah tulisan hamba

menjadi tulisan yang membahagiakan hambaMu yang lain.

Wahai Zat yang Ilmunya Meliputi Segala Sesuatu

Sekiranya Engkau Berkenan maka perkenankanlah hamba menikmati pancaran

Cahaya IlmuMu Yang Maha Agung

Amin

Amin

Amin ....

Wasuponda, 13 Nop.2009

Pelatihan Menulis dengan Metode Participative Writing Training (PWT)


Participative Writing Training di Wasuponda, Dahsyat Saya Menunggu Tulisan Teman-Teman

Participative Writing Training (PWT) di Wasuponda yang berlangsung dari tanggal 10 sampai 13 Nopember 2009 sungguh menyenangkan. Saya mendapatkan energi baru dari Wasuponda. Bagaimana tidak, Lembaga Pelita Desa yang dimotori Pak Norman memberi fasilitas yang sangat luar biasa. Selain itu, teman-teman peserta yang merupakan tenaga fasilitator tangguh dari empat kecamatan dampingan community development PT. INCO sangat bersemangat. Mereka adalah fasilitator pengembangan masyarakat yang memapu menulis dengan baik. Sebagai penemu dan trainer PWT, saya yakin teman-teman di Wasuponda, Malili, Towuti dan Nuha segera mengimplementasikan pengalaman baru mereka setelah aktif dan penuh semangat mengikuti PWT ini.

Sebagai tindak lanjut dari PWT, teman-teman peserta terus membangun komunikasi dengan saya tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kepenulisan. Kami sepakat untuk berkomunikasi sekali seminggu agar kegiatan menulis teman-teman menjadi kebiasaan. Bahkan, mereka akan menjadikan menulis sebagai bagian dari hidup mereka. Karena dengan menuliskan pengalaman interaksi teman-teman bersama masyarakat maka akan lahir pengetahuan baru -- yang tentu saja menjadi cahaya -- bagi teman-teman, masyarakat dan orang banyak. Sungguh menulis adalah sebuah keniscayaan, sebagaimana keniscayaan Danau Matano yang terus memberikan kesejukan.

Ada beberapa tokoh dibalik sukses PWT ini, mereka antara lain: Kak Abdul Rasyid Idris, Pak Norman, Pak Ikhman, Pak Ikhsan (Pak Coy), Pak Bagas, Pak Syawal, Pak Miftah dan tentu saja Divisi Eksternal Relation PT Inco yang terus menerus, tiada henti memberi support bagi pelaksanaan PWT.

Tentu saja, selain tokoh dan lembaga tersebut di atas, teman-teman peserta adalah PWT adalah kunci utama keberhasilan training ini. Meskipun mereka telah mengikuti PWT dengan serius namun jika teman-teman tidak menulis itu sama saja dengan TKC (maaf, singkatan ini hanya diketahui oleh alumni PWT). Karena itu, saya membuka diri dan setia mengedit serta berbagi dengan teman-teman alumni PWT soal menulis.

Akhirnya, dari lubuk hati yang dalam saya menghaturkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada teman-teman yang telah memberi dukungan atas suksesnya PWT di "Negeri Nanas yang Tumbuh di atas Batu". Isi hati dan pikiran saya jelas tercantum dalam Doa Seorang Penulis Fana.

Teman-teman, terimakasih untuk semuanya. Tanpa Anda, saya tidak berarti.

Friday, July 31, 2009

Kumpulan Cerita Pendek

LELAKI BOLEH MENANGIS

Cerpen Syamsuddin Simmau





Laut di lepas Pantai Losari masih saja bergemuruh. Berita tsunami masih saja menebar kengerian. Segala derita juga masih tergambar di tv-tv. Pemerkosaan Sinta yang dilakukan Rahwana juga masih saja memekakan gendang telinga. Sementara I Lagaligo juga masih saja asyik mencabuli istri orang, seperti bapaknya yang juga senang melanggar pamali. Lalu semuanya menjelma sunami.



Lelaki Mimit terjaga. Matanya awas. Mengapa angin dalam dadanya masih saja membadai. Mengapa air masih saja menetes dari pinggir kedua matanya. Lalu mengapa segala kengerian menjelma sakit di ulu hati ketika ia menatap seorang perempuan di depannya.




Lelaki Mimit mencoba menahan angin membadai itu. Tapi sekali lagi ia terpaksa membuka lembar demi lembar mantra songkabala agar air matanya tak mengalir lagi. Dan segalanya kembali seperti semula. Seperti ketika Batara Guru menjelma mani dan menetas di bamboo kuning. Juga seperti We Nyilik Timo yang menjelma ranum segala birahi, bibir selalu basah dengan rambutnya yang menguntai kerinduan segala perkasa lelaki.

Ah, lelaki Mimit masih saja mencari mantra Songkabala. Sesekali ia membaca serpihan mantra dengan bibir gemetar. Air dari kedua belah matanya semakin deras mengalir. “Wahai air mata berhentilah mengalir. Menjelmalah bubung segala rindu di Botinglangi. Agar kemarau dihati menjelma kuncup segala bunga. Menjelmalah danau di Boriliu agar gelisah tak berkisah kepedihan.” Jerit Lekai Mimit membatin karena lidah lelaki membantu.



Air mata itu masih saja mengalir. Karena tak ditemukan mantra penahan air mata lelaki. Lelaki Mimit tahu hanya air mata perempuan yang dapat terbendung janji. Seperti Sawerigading yang sering mengumbar janji untuk perempuannya.





Lembar demi lembar mantara songkabala telah usai dibaca. Tak ada mantra bendung air mata lelaki. Karena Patotoe—yang menentukan nasib—katanya tak memberi air mata pada lelaki. Tapi kenyataannya air mata lelaki Mimit masih saja menganak sungai menuju Sungai Mare di perbatasan Cina.





Tak ada mantra yang mampu membendung air mata lelaki. Tapi Lelaki Mimit itu mengetahui sumber air matanya. Ternyata air mata yang menjelma hujan asin itu berasal dari perempuan Andi Inre.





Lelaki Mimit tak kuasa menahan gelisah. Angin di dadanya masih saja membadai. Ingin rasanya ia menjelma I La Galigo yang memaksa lelaki lain meninggalkan istrinya. Agar Inre tahu, segala ininnawa yang telah menjelma badai di dadanya itu adalah jelmaan dari segala embun yang terdampar di dedaunan pagi.





“Andi Inre,” Lelaki Mimit menggumam laksana gemuruh di sela badai. Aku bukanlah Sawerigading yang menikahi I We Cudai dengan paksa. Lalu menikam rekan sendiri untuk sepenggal harum dari belahan dadamu. Engkaulah yang berkata, aku tak pantas menjelma di batinmu. Karena aku tak tega menebang pohon cinta I La Walenreng. Aku tak tega menjelma mentari jika hanya untuk mengumpulkan segala nestapa dan harta. Aku hanyalah Orowane Sukku Pappoji—lelaki segala pencinta untuk jiwamu yang ranum. Untuk matamu yang membulan. Untuk candamu yang mengicau. Untuk napasmu yang menyepoi. Untuk leher jenjangmu yang meruas. Untuk kulit putihmu yang memega di segala pagi. Untuk hatimu yang mendanau. Untuk harummu yang membelai.

Andi Inre. Akulah Orowane sukku papoji itu. Yang menatapmu walau dengan mata terpejam. Yang membelaimu walau dengan tangan tak bergerak. Yang memujimu laksana Sawerigading yang mabuk cinta pada We Tenriabeng. Engkaulah yang membuatku mabuk walau tak meneguk tuak, Andi Inre.




Tapi deras air mengalir dari kedua belah mataku ini adalah air yang bersumber dari jiwaku yang menangung segala perih. Jiwa yang engkau tutup segala mendung. Jiwa yang engkau tikam dengan tangkai bamboo kuning. Jiwa yang engkau himpit dengan dua gunung berbatu hitam di Senrijawa. Jiwa yang engkau panggang dengan segala panas di pusar bumi. Jiwa yang engkau hianati dengan penghianatan yang nyata. Dengan penghianatan yang menjelma badai. Dengan penghianatan We Cudai pada tunangannya demi menyambut si brengsek Sawerigading.





Padahal Andi Inre-ku. Telah kujelmakan padang ilalang jadi taman segala bunga. Telah kujelmakan air secawan jadi danau. Telah kujelmakan batu hitam Gunung Senrijawa jadi dipan berlapis awan putih tempatmu melepaskan penat. Segalanya telah siap untukmu. Sungguh.





Tapi Andi. Air mata ini bersumber dari mu. Dari luka yang telah kau torehkan. Dari luka yang takkan terhapus hujan semusim. Ini luka telah menjelma badai.





Lelaki Mimit mengela napas dalam. Ia terbayang Ira, Mutiah, Elisa, dan Nisma yang tanpa ragu telah membuka lembar-lembar harinya agar kisah kasmaran Sawerigading dan I We Tenriabeng tertulis nyata. Tapi lelaki sukku pappoji itu bergeming. Karena hatinya, jiwanya, cinna ininnawa-nya telah menjelma tuak tana Cina—yang memabukkan walau tak diteguk—yang menjelmakan kesadaran jadi lupa.





Ira datang dengan tangan terbuka. Dari bibirnya tecium aroma bunga rosi. Rambut hitam panjangnya bergerai bagai bunga alosi. Hidung bulo silappana mangir. Walau lehernya tak beruas, tapi air mengalir dari kerongkongannya tampak ketika ia melepas dahaga. Ira Pakati nama lengkapnya. Perempuan bukan sembarang perempuan. Perempuan dengan mata bettoeng. Perempuan berhati lapang.





Mutiah Cut Tari, adalah perempuan peranakan. Campuran Arab dan Melayu. Kulitnya langsat ranum. Bibirnya merah delima. Rambutnya tergerai sebahu. Alis matanya rapi laksana semut hitam yang berjejer. Ia perempuan berhati danau, hati selalu sejuk. Hati yang tak lelah menampung keluh kesah.





Elisa Rahmadin, perempuan bertubuh sintal. Padat. Sedikit berkulit hitam. Tapi manisnya lebih manis dari gula sari enau. Tatap matanya laksana terpaan embun yang merapat disubuh hari. Tak pernah ada api dari sorot matanya. Ia perempuan mabitti balana. Dialah dermaga terbaik bagi pelaut yang gantung jangkar.

Nisma Asrianti, perempuan berhati kicau burung di pagi hari. Tak ada derita, tak ada duka, tak ada mendung apalagi badai. Hidup baginya adalah keceriahan. Ia perempuan pelipur segalah lara. Ia tempat berlutut bagi para gelisah, menghapus segala duka.




Tapi bagi lelaki Mimit, Andi Inre adalah jelmaan segala keindahan. Hanya dialah perempuan yang apabila ditatap oleh pengembara yang kehausan maka hilanglah hausnya. Apabila ditatap oleh pengelana yang lelah maka lenyaplah lelahnya. Apabila ditatap oleh perompak bermata api maka padamlah apinya. Apabila dipandang dari tanah yang gersang maka hijaulah rumputnya. Apabila dipandang dari bawah pohon kering maka kuncuplah pucuknya. Apabila dipandang dari sisi bunga yang layu maka merekalah bunganya. Bagi lelaki sukku pappoji itu, hanya ada Andi Inre. Hanya Inre.





Air mengalir dari matanya bersumber dari Andi Inre. Perempuan yang sepuluh tahun lalu telah mewujud dihatinya. Perempuan yang telah memberinya kesejukan danau, kelembutan mega, kesegaran embun, keharuman bunga. Perempuan yang telah menjinakkan api perompaknya, perempuan yang telah menambatkan perahu kembaranya, perempuan yang telah menghentikan langkah kafilahnya. Perempuan yang telah memabukkannya.

Tapi air mengalir dari mata Lelaki itu bersumber dari Andi Inre. Perempuan yang kini berjalan lalu lalang di rumah sakit Dadi Makassar. Perempuan yang ia rawat sebagai pasien. Karena lelaki yang sepuluh tahun lalu itu kini telah menjadi psikiater.




Ah. Lelaki Mimit mendesah. Badai dalam dadanya mulai reda. Seiring berita sunami yang mulai berlalu. Tapi air mata yang mengalir itu adalah air mata lelaki. Karena lelaki memang boleh menangis !





Makassar, 21 Mei 2005

Saturday, June 20, 2009

Mereka yang Berjasa


Keluarga

Kedua orang tua saya. Ayah saya La Simmau dan Ibu saya I Jannania telah mengajarkan kepada saya makna cinta, kasih sayang,keteguhan dalam menjalani hidup, pantang menyerah, bersemangat dan mandiri.Merekalah kunci saya memasuki setiap dimensi kehidupan.

Aktivitas Saya

Memfasilitasi FGD Interfaith LBHP.2i Cordaid

Berdasarkan penelitian Lembaga Bantuan Hukum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (LBH.P2i), masalah toleransi baik antar umat beragama maupun intra umat beragama sedang melemah. Semakin melemahnya Toleransi ini disebebakan oleh dua faktor utama;politisasi agama dan ketimpangan hukum. Karena itu, sejak Agustus 2008 sampai Juni 2009, LBH.P2i atas dukungan Cordaid melakukan serangkaian focus group discussion (FGD)untuk menguatkan kembali toleransi dan harmoni dalam masyarakat. Kelompok sasaran adalah kelompok perempuan keagamaan, termasuk majelis taklim.

Berkaitan dengan Program Penguatan Toleransi dan Harmoni ini, LBH.P2i meminta saya menjadi CO dan fasilitator FGD tersebut.



foto di atas, ketika saya memfasilitasi FGD Penguatan Toleransi dan Harmonidi Majelis Taklim Nurul Hijrah Kampung Nelayan Kelurahan Untia Kecamatan Biringkanayya Kota Makassar, Oktober 2008 lalu.



Foto di atas, ketika menjadi fasilitator FGD di Majelis Taklim Babul Muttaqin,Kelurahan Bangkala Kecamatan Manggala Kota Makassar, Minggu 28 Juni 2009.

Sampai Saat ini, LBH.P2i telah melaksanakan 9 FGD di sembilan majelis taklim di Kota Makassar. Saya bertugas memfasilitasi masing-masing FGD tersebut.

Budaya

Mari kita jadikan budaya kita untuk mengaplikasikan demokrasi,keragaman,kesetaraan dan keadilan.

Berikut gambar Tedong Bonga ketika saya ke Kete Kesu Tana Toraja, bulan lalu.

Cerita Pendek

PANGGIL SAYA PELACUR
Syamsuddin Simmau

Rembulan bukanlah perlambang cinta
Karena cinta hanya ada dalam hatimu
Hanya engkau yang tahu
Ketika cinta menjelma birahi
Birahi bukanlah cinta.
Ia adalah liang lahat menantimu setiap saat
Dalam gelap dan remang malam.


Nining berkali-kali membaca selembar puisi yang terselip dalam tasnya sejak SMP dulu. Kemudian Nining menulis puisi itu kembali ketika pertama kali meladeni nafsu lelaki lain setelah suaminya pergi entah kemana. Padahal ia sudah berada di kota yang jauh dari keluarganya. Ia tak tahu jalan pulang.
Baru seminggu di kota besar ini, datanglah seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun. Lelaki itu mencari suami Nining yang telah pergi entah kemana. Ia ditinggalkan di rumah kontrakan sendirian.
Seminggu kemudian, ketika Nining tak lagi punya uang, lelaki itu datang lagi. Kali ini ia lebih rapi. Tubuhnya harum. Berbau farfum. Lelaki itu tersenyum menggoda. Katanya, suami Nining berutang 10 juta rupiah kepada lelaki itu. Dan kini untuk membayarnya, suami Nining menyerahkan Nining si perempuan cantik dari desa kepada lelaki berpantat belang itu. Ah, Nining yang suka membaca puisi ketika di bangku SMP dulu itu tak mampu bekutit.
Begitu pula hari ini. Ia kembali membaca puisi itu. Rangkaian kata yang ditulis tangan itu bagaikan jimat bagi Nining.
Tapi tiba-tiba saja Nining gelisah. Gerah rasanya. Padahal baru pukul 4 sore. Tidak biasanya gadis berkulit putih ini merasakan keadaan seperti ini. Ia keluar rumah kostnya memandang ke langit. Barangkali saja mendung. Tapi tidak juga. “Kenapa ya ?” gumam Nining tak jelas.
Harusnya, perempuan cantik ini bahagia karena sebentar malam minggu. Biasanya, hasil yang ia peroleh dari menjual kenikmatan lumayan banyak. Apalagi ia termasuk pekerja yang banyak digandrungi lelaki “pantat belang”. Tapi karena gundah di hatinya membuatnya terus bertanya.
“Apakah ini firasat buruk ?” Tanya Nining lain yang bertahta di balik dadanya. Ah, perempuan yang telah satu tahun menjajakan kenikmatan ini tidak percaya firasat.
Dulu, ia bermimpi naik kerbau hitam. Kata orang pintar, itu pertanda ia akan segera berbahagia karena memperoleh suami setia dan rezki melimpah. Nyatanya, ia menikah dengan seorang lelaki brengsek. Sama brengseknya dengan I La Galigo yang suka mempermainkan perempuan.
Mentari baru saja melambai. Mega merah temaran di bibir langit barat selat Makassar telah memudar. Keperkasaan malam kini menjelma. Merasuki para lelaki perindu kenikmatan. Lelaki yang menganggap perempuan adalah sampah. Lelaki yang selau berdusta pada istri dan anaknya. Lelaki yang tak punya rasa malu. Lelaki yang suka memaki pelacur disiang hari dan malamnya menebar rindu. Lelaki yang selalu berbicara moralitas tinggi, berbicara ketentraman rumah tangga. Berbicara proyek. Berbicara kebijakan dan regulasi.
“Puih !” entah kepada siap Nining melempar amarah.
Setiap ia hendak keluar rumah untuk bekerja air mata beningnya selalu menetes. Baginya air mata itu adalah mantra. Mantra yang selalu ia tasbihkan. Selalu dilakukannya. Ritual purba satu-satunya yang ia miliki ketika ia ragu pada kekuatan doa.
Taxi meluncur membawa Nining yang keluar rumah tanpa jiwa. Karena jiwanya ia tinggal di kamar kost. Tubuh Nining keluar tanpa cinta. Karena cinta diluar selalu menjelma birahi. Padahal birahi bukanlah cinta. Hanya jiwa Nining yang tahu tentang cinta sejati, tentang cinta yang luka, tentang cinta yang dihianati.
Pukul 2 dinihari. Nining lepas bukingan. Perjanjiannya memang hanya sampai jam 2. Nining letih, rasanya ia mau pulang saja. Tapi ia harus menyerahkan setoran kepada bos yang juga berpantat belang. Ia menuju ke Jl. Nusantara. Tapi ia baru masuk ke dalam sebuah tempat hiburan malam, tiba-tiba banyak orang. Semuanya laki-laki. Ada petugas keamanan, ada pejabat, ada anggota dewan—entah dewan dari mana—semua perempuan yang hendak pulang ditangkap. Nining tak luput. Tingkah para lelaki kasar itu persis malaikat bertanduk dan bertaring. Bagaimana tidak Nining tahu siap mereka. Nining juga biasa bersama mereka.
“Tangkap mereka,” seru salah seorang.
“ Ini semua yang merusak moralitas,” teriak laki-laki yang lainnya lagi.
“ Itu satunya lagi, Tangkap,” teriak yang lainnya sambil meneteskan air liur.
“ Itu ada satu lagi, jangan sampai lolos,” teriak orang yang bertubuh besar dan gendut.
“Ini semua yang merusak citra kota,” hardik lelaki yang agak hitam dan mengayungkan pentungan di tangannya.
“Puih !” Nining tiba-tiba meludah ke tanah. Keras. Pandangannya diarahkan kepada lelaki yang mungkin pemimpin pasukan malam itu.
“Kenapa kamu,” lelaki bermata merah itu membentak Nining.
Nining tak bicara hanya matanya yang menyalak. Persis menikam biji mata lelaki itu. Lelaki itu tertunduk tak mampu menatap tatapan Nining yang menikam bagai badik berlekuk tuju.
“Puih !” meski diseret menuju ke mobil, Nining masih sempat meludah lagi.
“Heh, kamu. Berhenti,” hardik seorang petugas yang sedang mencari-cari muka kepada pimpinan pasukan malamnya.
Langkah Nining dihentikan. Kedua lengan Nining dipegang erat.
“Kamu marah kalau ditangkap, ya ? Makanya berhentilah berbuat begini. Kalian ini bisa merusak moralitas masyarakat kita. Jadilah perempuan baik-baik,” kata lelaki itu berkotbah tapi air liur menetes di sela bibirnya melihat tubuh Nining yang sintal.
“Aku mengenalmu. Aku juga mengenal bos mu. Aku juga mengenal teman mu itu,” lelaki itu gelapan. Ia memandang pasukannya sembari tertunduk.
“Hust, diam. Kamu ini bisa merusk reputasi kami,” kata lelaki itu setengah berbisik.
“Ha…ha…ha,” Nining ngakak panjang dan keras. Keras sekali sampai semua orang yang hadir memandang ke arahnya.
“Oe, Santi, Mita, Reni,” Nining memanggil nama teman-temannya yang tentu saja nama-nama yang disamarkan. “Buka kutangmu. Tunjukkan bahwa dia baru tidur bersama kamu kemarin. Ayo tunjuku siapa yang sudah menggaulimu tapi tidak bayar. Ayo katakan siapa yang mau memberi makan anakmu yang ditinggal pergi bapaknya. Ayo katakan siapa yang memperkosamu, tapi ia malah dilepaskan karena ia anak bos. Ha..ha..ha,” Nining seperti dirasuki dewi perang.
“Hai bapak-bapak, kami tidak pernah korupsi. Kami tidak pernah mengambil uang rakyat. Kami tidak pernah menetapkan anggaran yang di mark up. Kami tidak pernah menghisap darah masyarakat dengan alasan pajak. Kami tidak pernah menggusur oranng miskin yang butuh makan. Kami tidak pernah mengajak bapak bersetubuh dengan kami. Bapak yang tega berdusta pada istri bapak. Berdusta pada anak Bapak. Kami tidak pernah berdusta kepada suami kami. Suami kamilah yang berdusta pada kami,” Nining menghela napas dalam.
“Bagimana, kami pelacur terhormat, bukan” Kami pelacur suka membaca. Kami tahu kelakuan burukmu. Insyaflah ! puih !” semua orang terdiam. Seperti terhipnotis ceramah Nining. “Bagaimana, saya pelacur pintar, bukan ?” geram Nining sembari mengencangkan gerahamnya.
Seorang petugas mendekati Nining. Tapi Nining tidak mengenal petugas ini. Ia sepertinya orang baru. Ia meminta petugas melepaskan lengan Nining. Jelas ia petugas baru. Karena ia pun tak mengenal Nining, padahal Nining sang primadona pelacur.
“Maaf, siapa nama anda ?” Tanya petugas yang dari tadi tidak pernah bersuara itu. Tidak pernah bicara. Tidak pernah memberi aba-aba penangkapan. Tidak pernah tertawa. Tubuhnya tidak terlalu besar. Ia berpakain biasa. Nining mengamati sekujur tubuh laki-laki itu.
“Maaf siapa nama, Anda ?” tanya lelaki itu lagi.
Nining mendesah. “Apa arti sebuah nama. Panggil saja saya pelacur.”

Makassar, 27 Juni 2009


DIPLOMAT RANJANG
Cerpen Syamsuddin Simmau

Langit di ufuk barat pantai Losari mulai memerah, meski tak semerah langit senja di Kaimana. Mega berarak berpadu dengan sinar merah tembaga. Ketika itu seorang perempuan indah mulai berdandan. Tingginya 169 cm, kulitnya putih bersih—darah merahnya seakan tampak mengalir-- di balik kulit putihnya. Hidung indahhya seakan hanya menghirup harum kembang setaman. Lehernya jenjang beruas bagai bambu gading—jika ia minum air, seakan akan air itu tampak mengalir – di kerongkongannya. Rambutnya berkilau laksana malam diterpa cayaha rembulan. Matanya bersinar bagai menghimpun cahaya bittoeng. Andai saja I We Cuddai masih hidup ia pun akan iri pada kecatikan perempuan indah itu.
Di dalam kamar 309, lantai tiga di sebuah apartemen di tengah kota, jika naik dengan lift, belok kanan. Dua kamar dari ujung, itulah kamar perempuan indah itu. Kini ia sedang sendiri. Baju mandi berwarna merah jambu yang melilit tubuhnya ia tanggalkan. Tak sehelai benang pun kini menempel di tubuhnya (maaf, jangan memikirkan hal macam-macam). Lalau, ia mengenakan busananya satu-satu. Di depan kaca hias ia mengenakan celana dalam berwarna hitam, bra warna hitam, lalu di balut dengan pakaian dalam semacam singlet yang terbuat dari kain renda yang juga berwarna hitam. Lalu kemeja berwarna putih dikenakannya, rok dalam juga berwarna putih. Setelah jas berwarna hitam dan rok yang panjangnya sedikit di bawah lututnya juga berwarna hitam. Si jelita tampaknya sedang bekerja pada sip malam.
Sebuah taxi telah pula menunggunya di lantai dasar apartemen mewah di tengah kota itu. Taxi meluncur, wuss! Lampu merkuri di sepanjang jalan protokol pun telah berpendar. Hanya 20 menit, taxi telah parkir di depan pintu masuk sebuah hotel berbintang lima di dekat pantai Losari.
Front office boy hotel itu menyambut si Jelita ramah. Aha, mungkin ia seorang karyawan hotel itu. Ia lalu bergegas menuju ke lift. Ia memencet nomor 9. Tepat, ia menuju ke lantai 9. Dengan cekatan dan langkah yang pasti ia melangkah bak seorang pragawati.
Si perempuan jelita itu menuju ke kamar 912. Ia memecet bel dengan jemari lentiknya. Dan hup, seorang lelaki paruh bayah menyambutnya dengan senyum mengembang. Sebuah pelukan hangatpun mendarat di tubunya. Tapi si jelita hanya menyambut dengan kecupan tipis di pipi kanan lelaki itu.
“Ada apa sayang. Kenapa tidak semesra minggu kemarin ?” lelaki bertampang politisi itu penasaran dengan sikap si jelita.
“Ah,” si jelita melepas nafasnya. Harum nafasnya seakan memenuhi ruangan mewah itu.
“Kenapa, Sayang ?” desak si lelaki bertampang politisi itu.
“Kenapa sih ada aturan yang ketat soal tender pengadaan mobiler kantor itu ? Ah, saya jadi sulit,” seru di jelita dengan nada kesal. Tapi bibir tipisnya yang selalu basah tetap saja menyunggingkan senyum ke wajah lelaki yang agak gemuk itu.
Kini mereka berdua tengah duduk di atas tempat tidur.
“Ah, gampanglah itu. Semua bisa diatur. Masa tidak percaya sama saya sih, sayang,” goda di lelaki penggoda itu.
“Benar ?” si Jelit balas menggoda. Lalu ia bergegas menyingkap kain gordin kamar 912 itu. Laut di lepas pantai Losari pun tampak kelam. Laut berpadu dengan gelap malam. Dan lampu-lampu perahu nelayan berkedip di kejauhan bagai kerlip bintang di atas sana. Tak ada suara percakapan lagi di kamar 912. yang terdengar hanya rintihan lirih si Jelita dan desah nafas si lelaki bertampang politisi itu.
Aneh bin ajaib, keesokan harinya telah ada pengumuman hasil tender pengadaan alat kantor di koran harian. Si jelita yang hanya mengenakan singlet dan celana pendek di dalam kamarnya itu tersenyum puas. Berita di koran tak ia baca semua. Ia lalu menutup wajahnya dengan koran itu seraya melemparkan badannya ke atas tempat tidur empuk berseprei putih di kamaranya.
Waktu berganti. Detik jam terasa cepat berlalu. Ia seperti memburu sesuatu. Meski tak jelas apa yang diburu. Tak jauh berbeda dengan hari kemarin. Langit di ufuk Barat Losari pun kembali memerah meski tak semerah senja di Kaimana.
Si perempuan jelita kita baru saja keluar dari kamar mandi di dalam kamar 309 di apartemen mewah itu. Baju mandi berwarna merah jampu pun ia tanggalkan. Tak ada sehelai kain pun menutup tubunya (maaf, mohon jangan berpikir macam-macam). Ia lalu mengenakan celana dalam berwarna putih mengkilap, bra berwarna putih mengkilap, singlet dalam terbuat dari kain renda juga berwarna putih. Lalu ia mengenakan rok dalam yang terbuat dari kain renda berwarna hitam. Si Jelita pun kemudian mengenakan kemeja berwarna merah muda. Ada strep-strep putih di kerah kemeja itu. Sepesang setelan jas berwarna putih pun menutup tubuh perempuan jelita itu dan rok putih yang panjangnya di bawah lutut pun melengkapi busanyanya. Ah, ia juga membawa tas tangan kulit kecil yang berwarna putih.
Tak jauh berbeda dengan kemarin, sebuah taxi pun telah pula menunggunya di depan pintu apartment. Tapi kali ini, ada alunan musik di dalam taxi itu. Taxi kali ini meluncur menuju ke jalan AP Pettarani. Hanya 10 menit sopir taxipun memarkir taxinya di depan hotel berbintang lima. Seperti kemarin, perempuan jelita itu melangkah indah memasuki hotel. Tampaknya sudah sering ia masuk ke hotel ini. Ia menuju ke lift, memencet tombolnya lalu masuk. Ia memencet tombol no. 7. Dari lift ia berbelok ke kiri. Kini ia berdiri di depan kamar 709.
Hup ! Seorang lelaki menyambutnya dengan senyum lebar. Lagi-lagi seperti kemarin, si perempuan jelita membuka gordin kamar 709 yang dingin karena AC. Ah, ia kini menatap jejeran lampu-lampu kota Makassar.
“Indah nian lampu-lampu di kota ini. Bagai kunang-kunang di kampungku,” kenang si Jelita dalam hati.
“Ada apa, sayang ?” lelaki bertubuh tinggi bertampang bersih itu menegur perempuan indah itu seraya melilitkan ke dua tangannya di pinggang si jelita yang ramping.
Seperti hari kemarin, tak ada hiruk pikuk di kamar itu 709 itu. Hanya desah napas si jelita dan erangan purba si lelaki jangkung diiringi musik klasik.
Seperti hari kemarin, aneh bin ajaib, keesokan harinya telah ada pula pengumuman hasil tender pengadaan leptop untuk seluruh pejabat di salah satu koran harian.
Si jelita yang hanya mengenakan singlet dan celana pendek di dalam kamarnya itu tersenyum puas. Berita di koran tak ia baca semua. Ia lalu menutup wajahnya dengan koran itu seraya melemparkan badannya ke atas tempat tidur empuk berseprei putih di kamaranya.
Enam jam perempuan jelita nan indah itu tertidur. Bunyi bel yang bertubi-tubi sontak membangunkannya.
“Ya, tunggu. Siapa sih ?” ia melangkah malas membuka pintu.
“Apa maumu. Bukankah aku sudah memberimu segalanya !” seorang lelaki bertubuh tegap menghardik si Jelita ketika pintu kamar di buka. Lelaki itu ditemani seorang lelaki bertubuh agak kurus. Keduanya mengenakan jaket kulit berwarna hitam.
“Sabar, Bang. Saya tidak mengerti. Ada apa ini ?” ujar si Jelita seraya mundur.
Kejadiannya berjalan begitu cepat. Setelah erangan kecil si Jelita semakin sayup terdengar, tak ada lagi suara berisik. Juga tak ada lagi bunyi musik hipop mengalun. Tak terdengar lagi gemerincik bunyi air mandi si jelita.
Pagi pukul, 07.30. Beberapa pejabat terlihat gelisah. Di koran harian langganan si Jelita telah tertulis dengan hurif kapital, “PIMPINAN PERUSAHAAN CV JE’NE SUCI TERKAPAR DI APARTEMENNYA,” demikian kutipan judul berita di koran langganan si Jelita.

Makassar, 14 Juli 2009