Thursday, November 22, 2012

Keluarga dan Masyarakat

-->
Pendapat Henslin (2006:116), sebagaimana telah dijelaskan juga pada bab terdahulu bahwa keluarga (family) terdiri atas individu-individu yang menganggap bahwa mereka memiliki hubungan darah, pernihakan atau adopsi. Di negara-negara barat batas-batas antara rumah tangga dan keluarga tidak jelas karena mereka menganggap bahwa keluarga terdiri dari seorang suami, istri dan anak-anak. Tapi kenyataannya, ada juga rumah tangga yang hidup serumah dengan mertua atau orang tua mereka. Karena itu, keluarga dan rumah tangga bagi Henslin tidak terlalu dikotomikan.
Berdasar pada pandangan Henslin tersebut maka keluarga dengan sendirinya akan mengalami perkembangan ke arah yang lebih besar. Setiap individu bisa saja menjadi anggota keluarga yang baru melalui jalan pernikahan. Dari proses pernikahan, dua sistem kekeluargaan atau lebih akan saling mengikat diri menjadi sistem kekeluargaan yang lebih besar. Selain proses pernihakan, pertambahan anggota keluarga juga bisa bertambah melalui proses adopsi.
Berkaitan dengan batasan mengenai keluarga, Collins (1987) tidak sekedar membatasi keluarga menurut pandangan bahwa seorang ayah menikah dengan seorang ibu dan melahirkan anak-anak. Collins (1987:28) menulis:
The question of defining a family may like a simple one. What automatically comes to mind is a husband, wife, and children, living together in a house. But families are both more and less than this. If we bring other relatives into the household, they too are part of the family. Moreover, there is a sense in which we say people comprise a family even if they don’t live together. This is what we mean when we say, “The family all gathered at Grandma’s for Thanksgiving.”

(Pertanyaan tentang definisi suatu keluarga bisa dipandang sebagai satu hal yang sederhana. Apa yang muncul secara otomatis ke dalam pikiran adalah ada seorang suami, isteri, dan anak, tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi keluarga bisa bermakna lebih atau kurang dari pengertian ini. Jika kita membawa keluarga lain dalam rumah tangga maka tampak bahwa mereka juga adalah bagian dari keluarga. Lebih dari itu, sebagaimana kita katakan bahwa orang termasuk sebuah keluarga meskipun mereka tidak tinggal bersama. Inilah yang kita maksud dengan, “Keluarga berkumpul di nenek untuk merayakan thanksgiving.”)

Pandangan Collins tersebut menunjukkan bahwa adanya anggota keluarga tidak hanya disebabkan oleh faktor perkawinan belaka, bahwa seorang keluarga lain ketika  diajak ke dalam keluarga maka mereka juga adalah anggota dari keluarga. Sebuah keluarga juga tidak mesti tinggal bersama.
Lebih dari itu, pandangan Collins mencakup keluarga dalam pengertian yang lebih luas lagi karena ia memandang pernikahan kaum lesbian dan guy juga merupakan bentuk-bentuk keluarga. Dengan demikian Collins tidak membatasi diri pada apa yang ia sebut dengan sexualintercourse (hubungan seksual) yang melahirkan anak saja. Collins mencontohkan bahwa pada suku Nuer di Sudan, dua orang perempuan dibolehkan menikah bersama. Seorang perempuan yang lebih kaya boleh menikahi seorang perempuan yang lebih muda. Mereka menikah juga menikah secara seremonial sebagaimana pernikahan perempuan dan laki-laki. Untuk melengkapi keluarga mereka, perempuan yang lebih tua tersebut, yang mereka sebut “suami”, mencari laki-laki untuk menghamili istrinya (perempuan muda yang telah ia nikahi). Kemudian, anak yang lahir diserahkan kepada perempuan yang lebih tua (suami) yang kemudian disebut “ayah”.
Yang terpenting bagi Collins (1987: 34), bukanlah definisi keluarga, tetapi penekanan mengenai keluarga itu sendiri. Collins berpandangan bahwa esensi sebuah keluarga adalah bukan terletak pada proses kelahiran anak saja, tapi lebih dari itu adalah bagaimana menempatkan anak-anak tersebut dalam struktur sosial. Keluarga seharusnya melakukan transformasi fakta-fakta bilogis ke dalam organisasi sosial, kemudian membentuk jaringan orang tua dan anak. Selanjutnya keluarga memperkenalkan peran-peran sosial anak serta melakukan sosialisasi terhadap nilai-nilai budaya.
Peran penting keluarga dalam masyarakat tidak dapat disangkal lagi. Untuk memperkuat pernyataan ini, menurut La Play (1806-1882) dalam teori determinismenya (Veeger, 1986:55), dia berkeinginan untuk memulihkan keadaan yang tertib di negaranya. Namun, timbul pertanyaan dalam dirinya bahwa apa yang harus diperbuat supaya semua orang di negaranya kembali lagi merasakan rasa aman dan sentosa, kembali lagi menaati nilai-nilai etis dan kembali lagi bersatu padu ? Rupanya ia berpendapat bahwa jawaban atas semua pertanyaan tersebut adalah berhubungan dengan keluarga. Setelah melakukan penelitian mengenai keluarga, La Play mengatakan bahwa untuk mengenal masyarakat maka terlebih dahulu harus mengenal keluarga. Karena keluarga bukan saja terdiri dari individu-individu yang ada di dalamnya tapi juga terdiri dari lembaga-lembaga keluarga lain. Dengan demikian, struktur keluarga serta pola relasi kekeluargaan sangat menentukan kondisi ketertiban masyarakat (social order) atau kekacauan masyarakat (social disorder).
Sejalan dengan pandangan di atas, Goode (2004:4) mengatakan bahwa keluarga terdiri dari pribadi-pribadi tapi sekaligus keluarga merupakan bagian dari jaringan sosial yang lebih besar. Dalam menjalankan fungsinya, keluarga merupakan sarana pengenalan masyarakat. Dalam hal ini, Goode berpandangan bahwa masyarakat dan individu merupakan hubungan timbal balik; individu-individu dalam keluarga akan memperoleh dukungan dari masyarakat dan masyarakat membutuhkan dukungan dari individu-individu. Karena itu, demikian pentingnya keluarga, Goode menilai bahwa keluarga berfungsi sebagai katalisator bagi individu-individu untuk berinteraksi dengan hubungan sosial yang lebih besar.
Lebih jauh, Goode berpendapat bahwa suatu masyarakat tidak mampu mempertahankan eksistensinya jika kebutuhannya tidak dapat dipenuhi oleh keluarga. Dalam kaitan ini, keluarga dipandang sebagai produksi dan distributor hasil-hasil produksi, sekaligus, keluarga merupakan sarana perlindungan bagi orang tua dan anak-anak, orang sakit dan perempuan hamil, persamaan hukum dan lain-lain.
Karena itu, tidak heran, jika Goode meyakini bahwa keluarga merupakan satu-satunya lembaga sosial, selain agama, yang secara resmi telah berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini, tugas-tugas kekeluargaan merupakan tanggung jawab setiap pribadi dalam masyarakat. Tanggung jawab tersebut cukup beralasan karena setiap individu dilahirkan dari keluarga dan juga membentuk keluarga-keluarga lainnya. Tanggung jawab keluarga tidak dapat diwakilkan kepada orang lain. Dengan demikian, setiap orang harus menyesuaikan diri kepada tuntutan-tuntutan keluarga.
Dalam pandangan senada, Dianne Gittens menekankan bahwa keluarga adalah institusi universal yang menunjukkan fungsi-fungsi esensial individu-individu dan masyarakat (Abbott & Wallace, 1997:137).
-->Semakin jelaslah bahwa masyarakat dan keluarga tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Keluarga merupakan institusi penting dalam mendukung eksistensi masyarakat. Keluarga sangat menentukan institusi-institusi lain dalam masyarakat. Karena dari keluargalah sumber daya manusia itu berasal, di mana sumber daya manusia berupa individu-individu menjadi tenaga kerja dalam relasi bisnis, menjadi pengusaha dan menjadi industriawan. Dalam bidang pendidikan; keluargalah yang menyuplai para guru besar, dosen, guru, murid, mahasiswa dan lain-lain. Dalam konteks negara; keluargalah yang menyuplai pejabat, anggota parlemen, anggota partai politik, militer, petugas sipil dan bahkan dalam institusi agama sekalipun; keluargalah yang menjadi ulama, ustadz, paus, uskup, pendeta, biarawati, bante dan lain-lain, sekaligus keluargalah yang menyediakan umat beragama. Dengan demikian, cukup beralasan jika dipertegas bahwa rumah tangga sepatutnya menjadi keluarga yang idel, demokrtais dan sehat. Sehingga keluarga mampu berperan maksimal dalam mewujudkan tatanan sosial yang tertib namun dinamis.

No comments: