Wednesday, January 5, 2011

FILSAFAT SOSIOLOGI RITZER


Filsafat Sosiologi
( Sosiologi sebagai Ilmu dan Paradigma Sosiologi Menurut Ritzer)

Syamsuddin Simmau

A.    Pendahuluan
Diskursus sosiologi sebagai ilmu dan paradigma sosiologi  dalam sudut pandang filsafat merupakan hal yang menarik untuk didalami. Sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat memiliki cakupan yang sangat luas, ia meliputi seluruh proses interaksi manusia secara subjektifitas dan intersubjektifitas. Karena itu, wajar jika Pitirim A.Sorokin (1947) menyebutnya superorganic karena sosiologi meliputi seluruh proses interaksi manusia dan hasil dari proses interaksi yang telah dilakukan manusia.
Demikian, kiranya cukup beralasan jika paper ini dibatasi pada pembahasan tentang Sosiologi sebagai Ilmu dan Paradigma Sosiologi. Secara garis besar pembahasan ini mendeskripsikan beberapa pendapat mengenai sosiologi sebagai ilmu secara substantif dan juga mengenai tiga paradigma soiologi menurut George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2010).
Pembahasan ini tidak dimaksudkan untuk kembali merefleksi sosiologi secara historis dari zaman Yunani atau zaman Abdul Rahman Ibnu Khaldun, namun paper ini lebih memusatkan perhatian pada teori-teori sosiologi yang mengacu pada konsep-konsep yang dikembang Ritzer, yang ia sebut sebagai paradigma sosiologi. Paradigma sosiologi dimaksud adalah paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Ketiga paradigram tersebut saling berkorelasi dengan grand theory sosiologi sebagai landasan sampai pada teori-teori sosiologi post-modern. Secara gamblang, Ritzer menjelaskan tiga paradigma tersebut dalam bukunya Sosiologi:Ilmu Berparadigma Ganda. Penjelasan mengenai paradigma ini juga dapat dijumpai pada Teori Sosiologi Modern (2010) yang ditulis George Ritzer dan Douglas J. Goodman.
Setelah melalui proses presentasi dan diskusi di dalam kelas mata kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Dr. Arlina Gunarya, M.Sc, paper ini mengalami penyempurnaan tentang landasan filosofis Ritzer menurut persfektif filsafat ilmu sebagai respon positif terhadap saran dan tanggapan Dr. Arlina serta masukan dari rekan-rekan satu kelas. Karena itu, paper ini menyajikan Jejak Filosofis Ritzer dalam merumuskan pardigma integratif sebagai paradigma baru yang bersifat terbuka.
   
B.     Pembahasan
1.      Sosiologi sebagai Ilmu
Para ilmuwan telah jamak menganggap bahwa filsafat adalah induk ilmu pengetahuan (mater scientiarum). Pada mulanya, semua ilmu bermula dari filsafat. Demikian pula halnya dengan ilmu tentang masyarakat yang dikenal sebagai sosiologi. Setelah melalui perkembangan, seiring dengan berkembangnya peradaban manusia, banyak ilmu memisahkan dari dari filsafat.
Astronomi (ilmu perbintangan) dan fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang filsafat yang pertama-tama memisahkan diri dan selanjutnya mengalami perkembangan menuju tujuannya masing-masing. Ilmu kimia, biologi dan geologi kemudian juga memisahkan diri dari filsafat. Kemudian pada abad ke-19, dua ilmu pengetahuan baru muncul, yaitu; psikologi dan sosiologi (ilmu yang memperlajari tentang masyarakat).
Soerjono Soekanto (1995;4) menjelaskan bahwa seorang ahli filsafat bangsa Prancis bernama Auguste Comte (1798-1957) telah menulis beberapa buku yang berisi pendekatan-pendekatan umum yang digunakan untuk mempelajari masyarakat. Comte berpendapat bahwa ilmu pengetahuan memiliki urutan-urutan tertentu berdasarkan logika dan bahwa setiap penelitian dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu untuk mencapai tahapan ilmiah. Karena itu, setiap penelitian tentang masyarakat harus ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri.
Comte menggunakan istilah sosiologi yang berasal dari kata Latin socius yang berarti “kawan” dan kata Yunani logos yang berarti “kata” atau “berbicara”. Dengan demikian, sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat. Disini, Comte menekankan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan kemasyarakat umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Maksudnya adalah sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan lainnya.
Sementara itu, George Ritzer & Douglas J. Goodman (2010:5) mengingatkan kembali bahwa sebenarnya sosiologi telah berkembang sejak zaman Yunani. Dan, salah satu hal penting yang patut dicatat adalah bahwa nama Abdul Rahman Ibnu Khaldun yang lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada 27 Mei 1332 juga diakui Ritzer sebagai seorang sosiolog, selain pelopor sosiologi seperti; Karl Marx (Jerman), Max Weber  (Jerman), Emile Durkheim dan Goorg Simmel. Ritzer memandang bahwa pandangan Ibnu Khaldun tentang masyarakat mirip dengan sosiologi zaman sekarang.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, dapat dideskripsikan bahwa filsafat dan sosiologi memiliki kedekatan yang erat sebagai ilmu pengatahuan. Jika dikaitkan dengan pandangan Comte yang menegaskan tentang pentingnya tahapan ilmiah dalam melakukan studi tentang masyarakat maka sosiologi secara konsisten juga sekaligus menjadikan filsafat sebagai sebuah pendekatan ilmiah yang menyaratkan metode berfikir ilmiah sebagai landasan penting dalam penelitian dan pendekatan-pendekatan mengenai masyarakat. Artinya, pendalaman tentang sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat sangat penting dilakukan. Hal ini sejalan dengan pandangan Suryo Ediyono dalam Buku Ajar Filsafat Ilmu (2010: 3) bahwa filsafat sebagai cara berfikir refleksi (mendalam),penyelidikan menggunakan alasan, serta berfikir secara hati-hati.
Pitirin A.Sorokin dalam Society, Culture, and Personality (1947:3-7) memiliki pandangan tersendiri mengenai studi tentang masyarakat. Disini Sorokin menggunakan istilah superorganic. Istilah superorganic yang dimaksud adalah sosiologi. Dia berangkat dari penjelasannya bahwa superorganic sejajar dengan seluruh karsa dan rasa dengan manifestasi-manifestasi yang dikembangkan dengan jelas. Dalam hal ini penomena superorganic meliputi bahasa, ilmu pengetahuan dan filsafat, agama, seni rupa, arsitektur, musik sastra, drama, hukum dan etika, moral dan perilaku, pengembangan teknologi, domestikasi, bahkan pelatihan binatang dan sebagainya. Superorganic ditemukan dengan jelas pada interaksi manusia dan produk-produk dari interaksi tersebut.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sosilogi adalah ilmu tentang masyarakat yang meliputi seluruh interaksi yang terjadi serta produk yang tercipta sebagai hasil dari keseluruhan proses interaksi yang terjadi.

2.      Paradigma Sosiologi
Menurut Ritzer dan Goodman (2010), ada tiga paradigma yang mendominasi sosiologi yang berpotensi untuk mencapai status paradigma. Ketiga paradigma itu adalah paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.

2.1. Paradigma Fakta Sosial
Paradigma fakta sosial menggunakan model karya Emile Durkheim terutama dalam karya Durkheim mengenani The Rules of Sociological Method  dan Suicide. Menurut Durkheim, fakta sosial atau struktur dan institusi sosial memiliki skala yang luas meliputi tidak hanya pada penomena fakta sosial semata tapi juga memusatkan perhatian pada pikiran dan tindakan individu.
Dalam hal ini, teori struktural fungsional dipandang memiliki peran yang signifikan karena cenderung berkarakter stabil sehingga lebih mengacu pada konsesus umum. Sedangkan teori konflik lebih menekankan pada instabilitas (kekacauan) antara fakta sosial dan gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui aturan dan hukum yang memaksa masyarakat. Teori lain yang termasuk mendukung paradigma ini adalah teori sistem.
2.2. Paradigma Definisi Sosial
Model yang dominan dalam paradigma fakta sosial adalah teori social action karya Max Weber. Karya ini membantu mempelajari cara aktor mendefinisikan situasi sosial mereka. Ia juga membantu dalam mempelajari pengaruh definisi sosial terhadap tindakan sosial dan interaksi yang terjadi selanjutnya.
Metode yang cenderung digunakan  oleh mereka yang menganut paradigma ini adalah metode observasi ketimbang metode lainnya. Meski demikian metode interview-kuesioner juga menjadi bagian integral dari paradigma ini.
Ada beberapa teori yang termasuk dalam paradigma definisi sosial, seperti teori tindakan, interaksionisme simbolik,fenomenologi,etnometologi, dan eksistensialisme.
2.3. Paradigma Perilaku Sosial
Model dasar yang digunakan paradigma perilaku sosial adalah karya psikolog B.F. Skinner. Karena menurut penganut paradigma ini, masalah pokok sosiologi adalah perilaku individu yang tidak dipikirkan. Paradigma ini mengacu pada pemberian reward dan punishment.
Teori yang relevan dengan paradigma ini adalah teori behaviorisme sosial dan teori pertukaran. Kedua teori ini mendonominasi para penganut paradigma perilaku sosial. Dengan demikian, metode yang sesuai adalah metode eksperimen.
2.4. Menuju Paradigma Integratif
Berdasar pada ketiga paradigma fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial, Ritzer mengajukan gagasan tentang paradigma sosial integratif. Menurutnya, model paradigma ini mampu menjelaskan kesatuan realitas makro objektif, seperti birokrasi, realitas makro subjektif seperti nilai, fenomena mikro objektif seperti polainteraksi, dan fakta mikro objektif seperti proses konstruksi realitas. Dalam hal ini, Ritzer mekankan perlunya penerapan ketiga paradigma sosiologi sebagai paradigma integratif yang saling berkorelasi satu dengan lainnya. Meskipun Ritzer menawarkan paradigma integratif sebagai jalan keluar atas “kekacauan” kebuntuan teori-teori sosial nama tetap membuka ruang terhadap lahirnya paradigma-paradigma baru.
Dalam pandangan Ritzer, kini sosiologi berada pada tahap krisis karena terjadinya chaos teori-teori sosiologi modern, bahkan post modern. Meski demikian, tidak pupus harapan bahwa meskipun teori-teori sosiologi kini sedang berada pada situasi chaos namun, tetap saja ada peluang untuk lahirnya ide-ide baru yang akan melahirkan teori-teori yang berkontribusi penting pada sosiologi.
2.5.  Dari Heraklitus hingga Ritzer: Menyusuri Jejak Paradigma Integratif Ritzer
                 Telah disampaikan sebelumnya bahwa meskipun Ritzer menawarkan paradigma integratif sebagai paradigma baru yang dipandang mampu menjadi paradigma yang lebih komprehensif dalam membahas masalah sosial, namun Ritzer tetap membuka ruang bagi lahirnya paradigma baru, karena ia memandang paradigma sosiologi saat ini berada pada masa chaos.
                 Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa Ritzer menjadikan pemikiran Thomas Khun (1922-1996) sebagai landasan paradigma sosial yang ia bangun. Menurut Khun (Yuana, 2010:373) bahwa terjadi revolusi intelektual yang membalikkan perjalanan panjang jalur filsafat konservatif. Periode “normal” ditandani dengan tingkat independensi dan objektifitas rendah, dan lebih banyak menyetujui asumsi dan hasil yang sudah diharapkan. Selama periode “normal” ini, jika terjadi anomali hasil penelitian atau hasil di luar dari yang diharapkan, hasil ini akan dikesampingkan dan dianggap tidak relevan atau sebagai masalah yang akan diselesaikan lain waktu.
                 Menurut Khun, incommensurability (ketidakproporsionalan) yang menolak bahwa ilmu pengetahuan bergerak maju ke arah kebenaran hakiki. Kejadian penolakan paradigma lama, menurut Khun, untuk menerima hal yang baru justru meniadakan kemungkinan perbandingan. Karena itu, Khun berpendapat bahwa pandangan ilmuwan terhadap dunia mengalami perubahan yang ekstrim dengan munculnya paradigma baru sehingga tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif dan kualitatif dengan paradigma lama. Khun mencontohkan bahwa Copernicus mengemukakan pandangannya tentang astronomi, yaitu zaman dimana bumi mengelilingi matahari yang dikenal dengan teori heliosentris. Sejak itu, pandangan tentang semesta benar-benar mengalami perubahan karena paradigma lama yang memandang matahari yang mengelilingi bumi tergantikan dengan paradigma baru yang mengatakan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari. Selanjutnya paradigma heliosentris mendapat dukungan kuat dari Galileo Galilei (1564-1642) dengan penemuan teleskop.
                 Teori Khun dapat dilukiskan dengan diagram (Ritzer, 2010:A-12) berikut:
Paradigma I       Ilmu Normal      Aanomali        Krisis        Revolusi       Paradigma II
                 Dengan demikian, setiap paradigma akan terus mengalami perubahan setelah melalui proses seperti yang digambarkan pada diagram di atas. Berangkat dari diagram di atas, Ritzer tetap membuka ruang untuk ide-ide baru bagi lahirnya paradigma yang baru pula.
                 Selain Khun, pemikiran Pierre Bourdieu (Ritzer,2010: A-7) yang menginginkan sosiologi sebagai refleksi juga melandasi pikiran Ritzer. Bourdieu menolak pemisahan metateori dari apek studi sosiologi lainnya. Bourdieu yakin bahwa sosiolog akan mampu terus menerus bersikap refleksi ketika melakukan analisis sosiologis. Proseses refleksi sosiolog jelas membuka peluang-peluang baru terhadap paradigma baru. Hal inilah yang mendasari Ritzer untuk mengelompokkan paradigma sosiologi dalam tiga paradigma menuju paradigma integratif.
                 Nama lain, yang hidup sezaman dengan Ritzer, Jacques Derrida (1930-2004), rupanya juga mendasari pemikiran Ritzer. Derrida dikenal dengan teori dekonstruksi yang menyatakan bahwa interpretasi sangat memungkinkan terjadinya perbedaan antara pemberi tanda dengan penerima tanda, yang artinya objektifitas interpretasi menjadi tidak mungkin. Teori dekonstruksi Derrida cenderung mendekonstruksi pemikiran “mapan”. Pemikiran Derrida berlandas pada filsafat Saussure tentang strukturalisme bahasa dengan artian bahwa sebuah tanda (sign) yang dibangun oleh hubungannya dengan tanda-tanda lain, sekaligus perbedaan dengan tanda-tanda lain dalam sebuah sistm konsep.
                 Nama Burrhus Frederic Skinner (1904-1990) yang merupakan seorang filsuf psikologi tentu tidak dapat dilepaskan dari paradigma integratif tawaran Ritzer. Korelasi pikiran dua tokoh ini sangat erat. Skinner merupakan filsuf Prancis beraliran filsafat behaviorisme radikal. Skinner menerapkan filsafatnya bukan hanya pada level individu, tapi juga pada level masyarakat berupa ide teknologi perilaku (cultural technology) yang mampu melakukan rekayasa kebudayaan (cultural engineering) untuk melancarkan revolusi kebudayaan, sebagaimana yang Skinner sebut sebagai Darwinisme Sosial. Karena rekayasa kebudayaan memiliki peluang besar terjadi dalam sistem sosial maka dengan sendirinya akan terjadi perubahan terus menerus, sebagaimana disebut Charles Darwin dengan teori evolusinya.
                 Andaikan Ritzer “malu-malu” menyebut nama Jean Paul Sartre (1905-1980) maka tentulah Ritzer mengabaikan asaz kebebasan manusia untuk terus melakukan pergerakan dalam menjalani kehidupannya. Tentu saja, jika merujuk pada paradigma integratif yang tetap membuka ruang pada terciptanya paradigma baru maka pikiran Sartre patut diperhitungkan sebagai bagian yang berperan dalam pemikiran Ritzer.
                 Menurut Sartre, tidak pernah ada yang memaksa manusia. Manusia selalu dihadapkan pada pilihan dalam setiap aspek kehidupannya. Jadi manusia selalu memiliki pilihan walaupun konsekwensinya adalah kematian. Karenanya kebabasan manusia untuk memilih tidak pernah hilang.
                  Meskipun pemikiran Ritzer tidak terang-terangan mengatakan bahwa filsafat pragmatisme John Dewey (1859-1952), namun pemikiran Dewey, khususnya dalam menentukan kebenaran yang harus melalui proses pengujian ilmiah jelas mendasari pikiran Ritzer.
                 Dewey mengemukakan lima langkah pencarian kebenaran, yaitu: Pertama, kondisi kebiasaan yang menjadi pengetahuan tiba-tiba berubah. Saat itu, pikiran akan segera bekerja untuk mencari penjelasan. Kedua, pencarian unsur-unsur dari situasi untuk merumuskan permasalahan yang ada. Ketiga, penyusunan dugaan-dugaan atau hipotesis secara kreatif yang mungkin menjadi jawaban terhadap persoalan yang disusun pada uraian kedua. Keempat, pengidentifikasian hipotesis dan pencarian urutan tingkat kebenarannya. Kelima, pengujian untuk menentukan hal manakah yang benar.
                 Karena pencarian kebenaran harus terus diuji sesuai tahapan Dewey maka setiap perubahan membutuhkan penjelasan ilmiah. Pada saat bersamaan, pencarian kebenaran tersebut jelas mengalami pergerakan yang terus berlangsung. Dengan demikian, pencarian kebenaran dimaksud berpotensi melahirkan paradigma baru sebagai jawaban atas pencaraian kebenaran yang dilakukan.
                 Pikiran Ritzer yang dituangkan dalam McDonaldisasi Masyarakat (McDonaldization of Society) jelas berhubungan secara historis filosofis dengan Karl Marx. Kalau Ritzer menyoroti tentang “overrasionalitas” pada perusahaan cepat saji seperti McDonald sementara Karl Marx menjelaskan pola kerja kapitalisme dalam hubungan pekerja dan majikan, yang dinilai Marx sebagai pola kerja yang tidak seimbang dalam memperoleh keuntungan.
                 Sementara itu, teori evolusi Charles Robert Darwin (1809-1892)  yang menekankan bahwa alam ini memiliki mekanisme yang mengatur bahwa siapakah yang selamat dan terus hidup dan siapakah yang harus mati, yang ia sebut seleksi alam. Selanjutnya Darwin mengatakan bawah setiap organ, mengalami perubahan sedikit demi sedikit yang ia sebut evolusi. Dengan demikian, pikiran Thomas Khun yang mewarnai pikiran paradigma Ritzer jelas memiliki landasan evolusi Darwin. Hanya saja, Darwin lebih menekankan pada evolusi organ sementara Khun dan Ritzer pada perubahan yang puncaknya mengalami revolusi sehingga dibutuhkan paradigma baru.
                 Penganut teori evolusi lainnya, Henri Louis Bergson (1859-1941) dengan sendirinya juga menjadi dasar lahirnya paradigma-paradigma baru. Bergson berpendapat bahwa kejadian alam semesta ini adalah hasil dari interaksi yang terus menerus antara daya hidup (elan vital) dan materi. Meskipun Bergson lebih menekankan pada perubahan alam, namun perubahan yang terjadi pada masyarakat jelas juga memiliki korelasi paralel dengan perubahan yang terjadi pada alam semesta. Dengan demikian, cukup beralasan jika pandangan Bergson ini memiliki kaitan dengan perubahan paradigma menurut pandangan Ritzer.
                 Membaca filsafat Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) yang mengatakan bahwa kebenaran hakiki pelan-pelan akan terkuak seiring rentang evolusi sejarah perjalanan pemikiran filsafat juga dengan nyata dapat menjadi alasan Ritzer menawarkan konsep paradigma baru. Hegel mengajukan konsep dialektika yang dimulai dengan tesis yang mula-mula dianggap benar. Lalu refleksi menemukan kontradiksi dalam tesis yang oleh Hegel disebut antitesis dengan kekuatan legitimasi yang sama. Pertentangan tesis dan antitesis ini memunculkan ide ketiga yang disebut sintesis.
                 August Comte (1798-1857) yang dianggap sebagai Bapak Sosiologi jelas  menjadi landasan utama pikiran Ritzer. Menurut Comte, perkembangan tatanan sosial dan ilmu pengetahuan diawalai dengan tahap teologi lalu berkembang pada tahap metafisika kemudian berkembang menjadi tahap pengetahuan positif yang tentu saja terus mengalami perkembangan berdasarkan pandangan Khun tentang anomali.
                 Aristoteles (384-322 SM) adalah filsuf yang menguasai banyak ilmu pengetahuan. Dia dikenal sebagai filosof yang selalu menampilkan data yang sangat kaya dan terklasifikasi dengan baik. Karena itulah, Aristoteles dianggap sebagai Bapak Ilmu Empiris dan Metode Ilmiah. Dia mengemukakan etika bahwa manusia yang bertindak dengan pikiran yang rasional dan bijaksana untuk tujuan kebajikan.
                 Metode ilmiah yang dikembangkan Ritzer jelas berangkat dari metode yang dikemukakan Aristoteles. Selain landasan metodologis, Aristoteles juga mengatakan bahwa alam semesta bergerak menuju kepada tujuan tertentu namun tidak menjelaskan kapan tujuan itu tercapai. Jika memperhatikan paradigma Ritzer yang membuka diri terhadap lahirnya paradigma baru maka pergerakan semesta versi Aristoteles yang menuju tujuannya juga akan mengalami perubahan-perubahan. Dengan demikan, maka benarlah Khun yang menjadi landasan pikiran Ritzer bahwa dari anomali akan terjadi krisis, lalu mengalami revolusi kemudian melahirkan paradigma baru dalam persfektif sosiologis.
                 Pandangan Plato (427-347 SM) yang mengatakan bahwa realitas yang hakiki adalah Realitas Yang Abadi, tidak berubah. Namun ada realitas lain yang merupakan cerminan realitas abadi itu. Realitas cerminan ini bersifat ilusif, berubah dan fana. Bila dikaitkan dengan Ritzer maka Realitas Yang Abadi yang tidak berubah itu, sebagaimana disebut Plato, bertentangan dengan pandangan Thomas Khun. Namun, jika dihubungkan dengan cerminan realitas seperti disebut Plato maka jelas terlihat betapa pendapat Khun berangkat dari Plato. Dengan demikian, paradigma baru yang bisa saja lahir dari ide-ide baru sebagai respon terhadap pemikiran sosioal yang chaos menurut Ritzer berkaitan dengan realitas cerminan Plato.
                 Sekitar 600 tahun Sebelum Masehi (SM) sampai 540 tahun SM, Heraklitus mengatakan bahwa semua hal di alam ini selalu berubah, mengalir, tidak diam, penuh persaingan dan bersifat abadi jelas menjadi akar paradigma  yang dikemukakan Ritzer. Bahwa kondisi paradigma yang terjadi saat ini berada pada situasi chaos yang memungkinkan lahirnya ide-ide baru sangat beralasan jika berdasar pada pendapat Heraklitus tersebut.
                 Deskripsi singkat beberapa pemikiran filosof yang dikemukakan di atas semakin memperjelas jejak landasan pemikiran Ritzer tentang Paradigma Integratif yang bersifat terbuka terhadap lahirnya ide-ide baru yang berpotensi besar melahirkan paradigma yang lebih baru pula sebagai respon atas fenomena sosial.

C.    Penutup

Teori-teori sosiologi memiliki peranan penting dalam melakukan studi tentang masyarakat. Teori fungsionalisme struktural, neofungsionalisme, teori konflik, teori sistem, teori interaksionisme simbolik, etnometodoligi, teori pertukaran, teori jaringan, teori pilihan rasional, teori fenisme modern, teori modernitas kontemporer, teori strukturalisme, post strukturalisme dan teori-teori sosial post-modern menjadi paradigma penting dalam sosiologi.
Ide Filsuf, Thomas Khun yang kemudian diperjelas oleh Ritzer dan Goodman dengan mengusung paradigma integratif karena Ritzer mengangap bahwa kini teori-teori sosiologi berada pada kondisi chaos. Namun, selalu saja ada harapan, ide-ide baru akan lahir untuk memberi sumbangsi penting bagi sosiologi pada masa mendatang.

Daftar Bacaan
Al – ‘Alim, 2010, Al-Qur’an dan Terjemahannya, edisi Ilmu Pengetahuan. Al- Mizan Publishing Hause.
Beilharz. 2005. Teori-Teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka (alih bahasa: Sigit Jatmiko).Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Ediyono, Suryo, Dr, M.Hum, 2010, Buku Ajar Filsafat Ilmu.Yogyakarta: Kaliwangi.

Ibnu Khaldun, 2001. Muqaddimah Ibnu Khaldun (Penerjemah Ahmadie Thoha). Jakarta: Pustaka Firdaus.
Johnson, Doyle Paul, 1986. Teori Sosiologi Klasik danModern Jilid I (diindonesiakan oleh Robert M. Z. Lawang). Jakarta: PT.Gramedia.
_________________, 1986. Teori Sosiologi Klasik danModern Jilid II (diindonesiakan oleh Robert M. Z. Lawang). Jakarta: PT.Gramedia.
Mustofa Cabib. Tanpa Tahun.Hand Out Teori Sosiologi Modern. www.wikipedia.
Ritzer, George dan Douglas J.Goodman, 2010. Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam. Jakarta: Kencana.
Soekanto, Soerjono, Prof, Dr,1990, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press
Sorokin, Pitirim A, 1947.Society, Culture and Personality. New York & London: Harper & Brother Publishers.
Veeger, K.J. 1986. Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT.Gramedia.
Yuana, Kumara Ari, 2010.The Greatest Philosophers. Yogyakarta: Penerbit Andi.
http://www.anakciremai.com/2010/01/makalah-filsafat-tentang-ilmu-ilmu-alam.html