Dari cintalah sebuah rumah tangga itu
bermuasal. Namun, muncul pertanyaan, “Bagaimana dengan perceraian ?” Bagaimana
mungkin terjadi perceraian jika sebuah rumah tangga berlandaskan atas cinta ?
Perceraian menurut pandangan Collins
(1987:2380), adalah ketika hancurnya sebuah kekuasaan, privilege (perlakukan khusus) dan konflik terhadap cinta dan
solidaritas dalam sebuah pernikahan. Ketika keseimbangan sumber daya berupa
emosional, ekonomi dan seksual berubah sehingga pekawinan harus pula mengalami
perubahan maka pasangan perkawinan dalam keluarga itu pun bubar.
Sementara Goode (2004: 184-185)
memandang bahwa kekacauan dalam keluarga dapat dipandang sebagai pecahnya satu
unit keluarga, terputusnya atau retaknya satu sistem sosial jika satu atau
beberapa anggota gagal menjalankan kewajiban peran mereka secara maksimal. Selanjutnya
Goode memberikan definisi terhadap pembatalan,
perpisahan, perceraian dan meninggalkan keluarga. Menurutnya, bentuk
tersebut merupakan kondisi terputusnya keluarga yang disebabkan karena salah
satu atau kedua pasangan itu memutuskan untuk saling menginggalkan dan dengan demikian
mereka berhenti pula melaksanakan kewajiban peran masing-masing.
Ada
beberapa penyebab retaknya sebuah hubungan pernikahan. Menurut Henslin
(2006:138) bahwa salah satu penyebab perceraian adalah tingginya pengahsilan
istri dibanding suami. selain itu, Saputra (2011) dalam http://www.detiknews.com telah melakukan wawancara
dengan Direktur Jenderal Badilag Mahkamah Agung RI, Agung Wahyu Widiana, bahwa
penyebab perceraian di Indonesia berdasarkan urutannya adalah kecemburuan,
masalah ekonomi dan keharmonisan rumah tangga. Informasi mengenai penyebab
perceraian di Indonesia juga dilansir media online
http://edukasi.kompasiana.com. Menurut
media ini, selain penyebab tersebut di atas juga terdapat masalah
perselingkuhan sebagai penyebab perceraian.
Sejalan dengan infromasi di atas, Yusran
melalui http://beta.fajar.co.id, melaporkan bahwa data
Kantor Pengadilan Negeri Agama (PNA) Makassar tahun 2010 menunjukkan, penyebab
perceraian di Kota Makassar adalah kekejaman jasmani, poligami, kawin
paksa, gangguan pihak ketiga, kekejaman mental, ekonomi, dihukum, cemburu, politis,
dan cacat biologis. Namun yang mendominasi adalah karena masalah tanggungjawab
dan keharmonisan dalam rumah tangga.
Sementara itu, Abbott & Wallace
(1997:146) mengemukakan bahwa menurut pandangan feminis, ada beberapa hal yang
menyebabkan sebuah rumah tangga tidak berjalan sebagimana mestinya. Dalam hal
ini, Abbott & Wallace mengutip pendapat Ann Oakley yang telah melakukan
penelitian terhadap wanita yang mengalami konflik keluarga di empat daerah yang
berbeda. Penyebab terjadinya keluarga yang tidak harmonis itu adalah:
1. Pembagian
kerja berdasarkan jenis kelamin yang memaksa wanita bertanggung jawab pada
wilayah domestik dan pengasuhan anak. Hal ini berarti bahwa wanita tergantung
secara ekonomi dan tidak memiliki akses terhadap uang yang mereka miliki.
2. Konflik
timbul dari perbedaan kebutuhan emosional antara wanita dan laki-laki. Dalam
kaitan ini, wanita dipandang mampu menyesuaikan diri dengan frustrasi dan
kemarahan suami dan anak-anak mereka. Tapi wanita justru tidak memiliki tempat
untuk mengadukan dirinya.
3. Perbedaan
kekuatan ekonomi dan fisik antara suami dan istri dimana istri kadang memiliki
kontrol sumber keuangan yang rendah untuk memenuhi kebutuhan aktifitas
sosialnya dan istri juga kadang menerima perlakukan kekerasan dari suami
mereka.
4. Laki-laki
mengontrol seksualitas dan kesuburan, artinya, laki-laki seolah-olah lebih
penting dibanding wanita. Dalam hal ini, seakan-akan wanita menyerahkan
kebutuhan seksualnya kepada suami mereka dan wanita harus mengasuh anak-anak
mereka.
Menurut pandangan para feminis tersebut dapat
dipertegas bahwa kebutuhan rumah
tangga atau keluarga harus didahulukan
sementara kebutuhan wanita dibelakangkan.
Perlakukan ini dipandang tidak adil
sehingga menjadi pemicu terjadinya keluarga yang
tidak harmonis.
No comments:
Post a Comment