Pentingnya Identitas dalam Membangun
Karakter Kepemimpinan Lokal
Menuju Integrasi Negara Bangsa
Syamsuddin Simmau
A. Latar Belakang Konseptual
Perubahan
merupakan sebuah kepastian. Salah satu penyebab yang mendorong
terciptanya perubahan adalah konflik. Menurut Ralf Dahrendorf,
masyarakat memiliki dua wajah, yaitu konflik dan konsensus (Ritzer dan
Goodman, 2010:153). Melandasi gagasan tersebut, Heraklitus (600-540 SM)
jauh sebelumnya telah mengatakan bahwa semua hal di alam ini selalu
berubah, mengalir, tidak diam, penuh persaingan dan bersifat abadi. Maka
jelaslah bahwa konflik dan sosial order merupakan dua sisi mata uang
yang saling melengkapi satu sama lain.
Pertanyaannya
kemudian adalah, apakah dalam gerak, mengalir, berubah, dengan adanya
konflik yang berakar dari proses interaksi masyarakat yang berfat abadi
itu terjadi reduksi bahkan penghilangan identitas ? Tentu saja, iya.
Tidak sedikit masyarakat yang kehilangan identitas kediriannya sehingga
menjadi masyarakat yang terus bergerak tanpa identitas yang pada
akhirnya sehingga sulit dikenali.
Berangkat
dari mengenali, mengidentifikasi, menamai, dan mencirikan sesuatu
itulah muasal dari pentingnya identitas dibicarakan. Proses interaksi
sosial terjadi disebabkan karena adanya sesuatu yang memiliki identitas
yang perlu untuk saling mengenal dan saling berinteraksi. Tanpa identitas maka tidak ada interaksi.
Meski demikian, identitas dalam perbincangan ini berfokus pada suatu cita-cita menuju sebuah integrasi
negara bangsa, Indonesia Raya, yang terbangun dari kepemimpinan lokal
yang memiliki identitas yang berbasis atas nilai-nila luhur. Dengan demikian, setidaknya ada tiga poin penting yang menjadi warna dasar dalam paper ini, yaitu; identitas, karakter kepemimpinan lokal, dan integrasi negara bangsa.
Persfektif ini terbangun dari realitas Indonesia kekinian yang sedang
terayun-ayun pada kompleksitas realitas disintegrasi. Potensi
disintegrasi ini sangat besar akarnya dalam sebuah negara bangsa yang
bernama Indonesia. Hal ini disebabkan oleh latar belakang sejarah yang
menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan multi bangsa yang
tersebar pada ribuan pulau dengan diwarnai dengan etnis dan budayanya
yang sangat beragam.
Meski
demikian, potensi keragaman identitas etnik dan budaya telah didorong
untuk mengaktualisasikan sebuah bangsa besar yang baru yang disebut
Bangsa Indonesia. Dengan demikian, Bangsa Indonesia adalah kumpulan
bangsa-bangsa yang tidak hanya memiliki latar belakang historis berbeda
tapi juga memiliki identitas etnis yang berbeda pula. Menariknya,
realitas keragaman inilah yang justru oleh para founding father ini dijadikan sebagai energi entitas untuk membangun entitas yang lebih besar yang disebut Bangsa Indonesia.
Secara historis, kekuatan Bangsa Indonesia sejak awal didirikannya, bermuasal dari jalinan derita kolektif
yang lahir dari praktek kolonialisme. Para pemimpin kerajaan kemudian
menjadi motor terjadinya mobilisasi sosial untuk kembali merebut hakikat
kemanusiaan mereka sebagai makhluk yang bebas dan bermartaba dari
tangan penguasa kolonial.
Derita
kolektif inilah yang sekaligus menjelma menjadi ingatakan kolektif yang
selanjutnya semakin menguat menjadi sebuah kesadaran kolektif untuk
mewujudkan sebuah kedaulatan bersama. Searah dengan itu, dibangun pula
konsensus tentang pentingnya sebuah bangsa yang lebih besar yang
bersumber dari beragam bangsa-bangsa untuk menyatukan diri menjadi
Bangsa Indonesia.
Berhulu
dari derita kolektif tersebut, sejarah Bangsa Indonesia mencatat bahwa
para raja pada masa transisi dari era kolonialisme menuju era Bangsa
Indonesia menyerahkan kekuasaannya dalam bentuk pengakuan bergabung
dalam sebuah negara bangsa, Indonesia. Bergabungnya raja-raja di pulau
Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Ambon dalam negara bangsa
Indonesia semakin mengokohkan berdirinya negara bangsa ini.
Bercermin
secara ilmiah pada sejarah, maka jamak diketahui bahwa peran para raja
yang menjadi pemimpin beragam bangsa yang menopang negeri ini merupakan
kunci utama terbangunnya negara Bangsa Indonesia. Kesadaran kolektif
yang terdorong dari derita kolektif dimaksud telah mendorong para raja yang menjadi patron rakyatnya ketika itu untuk legowo
melakukan integrasi demi memperkuat diri sebagai sebuah bangsa yang
kokoh, berwibawa menuju pencapaian kemanusian, kesejahteraan,
kedaulatan, dan keadilan untuk semua.
Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa peranan para raja, sebagai manifestasi characterized local leader yang pada gilirannya tiba pada sebuah characterized local leadership (kepemimpinan lokal yang berkarakter). Karena itu, konsepsi characterized local leadership seraca fundamental dipengaruhi oleh konsepsi kemandirian lokal yang dimatangkan oleh Mappadjantji Amin (2003).
Menurut Mappadjantji, kemandirian lokal adalah sintesa dari wawasan baru yang ditawarkan oleh paradigma holisme dialogis. Paradigma ini ditunjang oleg 3 pilar utama yaitu:
1. Holisme interkoneksitas sebagai “kounter” dari reduksionisme dalam modern science.
2. Probabilisme sebagai jawaban terhadap determinisme dalam modern science.
3. Kontekstualisme yang mengganti objektifisme pada paradigma newtonian.
Karena itu, kemandirian lokal merupakan paradigma baru dari new science sebagai jawaban terhadap kegagalan modern science dalam menemukan jawaban terhadap beragam problem yang ada. Dengan demikian, kemandirian lokal yang ditopang oleh tatanan merupakan perwujudan interkoneksitas, dalam hal ini tatanan tidak berbatas (boundary).
Setiap tatanan memiliki identitas yang spesifik. Identitas inilah
menurut Mappadjantji yang menjadi spirit tatanan yang menjaga sekaligus
tercermin pada pola interkoneksitas yang terjadi.
Dalam
kaitan ini, tatanan merupakan entitas organik, yang dalam
mempertahankan keberadaannya, tatanan mengadakan pertukaran energi,
materi dan informasi dengan lingkungannya. Karena itu, tatanan secara
berkelanjutan melakukan proses adaptasi diri terhadap dinamika
perubahannya lingkungannya.
Selain memiliki kemampuan adaptif, tatanan juga memiliki kemampuan swa-organisasi (self organizing capacity).
Semakin besar kapasitas swa-organisasi maka akan semakin adaptif pula
suatu tatanan. Hal ini berarti bahwa semakin besar pula kemampuan
tatanan itu untuk mempertahankan keberlangsungan keberadaanya.
Sementara
itu, Mappadjantji menjelaskan bahwa pada hakekatnya, setiap tatanan
memiliki kemampuan untuk melakukan apapun berdasarkan kehendak bebas dan
identitas masing-masing. Karena itu, kemandirian lokal dapat pandang
pada dua kata, yaitu; kemandirian dan lokal. Kemandirian berkorelasi
dengan kemampuan tatanan untuk melakukan apapun berdasarkan kehendak
bebas. Sedangkan kata lokal
menunjuk pada dua hal, yaitu; (a) kemandirian tatanan bersifat lokal
karena tatanan tidak terpisah dari lingkungannya, (b) untuk menjelaskan
“kebenaran” dalam persfektif new science bahwa kebenaran semesta itu dikelompokkan kedalam dua kategori, yaitu; bersifat lokal dan non-lokal.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa identitas, kepemimpinan lokal yang
berkarakter, dan kemandirian lokal memiliki peran penting dalam
keberlangsungan sebuah negara bangsa dimana setiap bangsa-bangsa yang
menjadi identitas di dalamnya merupakan tatanan yang saling
berinterkoneksi membuat tatanan yang kebih besar yang disebut bangsa
Indonesia.
B. Seputar Identitas
Menurut
Liliweri (2009:38) bahwa identitas kita merupakan sebuah batas yang
kuat untuk mengevaliasi kehadiran diri kita dengan orang lain. Sebagai
pelengkap, kiranya, bukan hanya mempergas batas kedirian seseorang
dengan lain tapi juga dengan lingkungannya. Dengan demikian jelaslah
bahwa identitas merujuk pada asal-usul.
Dalam
keterkaitan ini, identitas diri dipandang sebagai keunikan
karakteristik seseorang. Dalam ini,setiap orang memiliki karakteristik
yang berbeda dengan orang lain, baik suara, warna kulit, bentuk tubuh,
perilaku budaya dan perilaku sosial, gerak gerik dan sebagainya.
Sementara
itu, identitas sosial terbentuk sebagai akibat dari keanggotaan kita
dalam suatu kelompok kebudayaan. Dalam konesitasnya dengan identitas
sosial ada baiknya kita mengutip pendapat Liliweri bahwa tipe kelompok
kebudayaan antara lain; umur, gender, kerja, agama, kelas sosial, tempat
dan seterusnya. Mengacu pada pandangan tersebut maka kita akan bisa
membedakan sekelompok orang dengan kelompok lainnya melalui kelompok
umur lalau kita menetapkan ciri-ciri perilaku mereka berdasarkan usia
tua atau muda.
Selain
menjelaskan identitas sosial, Liliweri juga mendeskripsikan identitas
budaya sebagai ciri yang ditunjukkan seseorang karena orang itu
merupakan anggota dari sebuah kelompok etnis tertentu. Dimana hal ini
merupakan pembelajaran dan penerimaan terhadap tradisi, sifat bawaan,
bahasa, agama, dan keturunan dari suatu kebudayaan. Sebagai contoh,
seseorang bisa mengidentifikasi orang Flores sebagai orang Khatolik dan
orang Lamahala di Adonara sebagai orang Islam dan sebagainya.
Berdasar
pada determinitasi identias diri, sosial dan budaya maka hal tersebut
juga berkorelasi langsung dengan identitas etnik. Seseorang bisa
membedakan orang lain dengan melihat identitas etniknya, yang biasanya
merujuk pada ciri etnis tertentu, misalnya; bentuk rambut, mata, warna
kulit dan seterusnya.
Pertanyaannya
kemudian adalah apakah identitas etnik berpengaruh terhadap perilaku ?
penelitian beberapa ahli telah membuktikan bahwa identitas etnik
berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Salah satunya dapat kita lihat
pada penelitian Sandra Champion (1993) seperti yang dikutip Liliweri
bahwa pada umumnya remaja migran yang sukses disebabkan karena mereka
selalu menyelidiki riwayat asal usul mereka, terutama cerita-cerita
heroik atau cerita-cerita kepahlawanan suku bangsa mereka.
C. Local Wishdom sebagai Nilai Identitas
Kearifan lokal atau Local Wishdom merupakan nilai sebuah identitas. Pada bangsa Bugis, nilai-nilai budaya yang juga mencerminkan identitas budayanya, seperti lempu
(jujur), getteng (teguh pada pendirian), ada tongeng (perkataan benar),
siamasei (saling mengasihi), sipakainge (saling mengingatkan), awaraniang (keberanian), reso (kerja keras), sipatuo (saling menghidupi)
dan sebagainya (Rahman Amin, 1992) merupakan nilai-nilai yang melekat
erat pada perilaku dan tindakan-tindakan manusia Bugis. Meski demikian,
patut diakuibahwa tetap saja terjadi penyimpangan terhada nilai-nilai sebagai identitas sosial maupun identis budaya dan individu.
Sebagai
contoh, seorang Raja di Bone yang bernama La Inca harus dibunuh sendiri
oleh neneknya Arung Matajang karena perilakunya yang tidak baik. Salah
satu perbuatan yang menyebabkan La Inca di bunuh adalah karena ia
kedapatan menggagahi istri orang. Selan La Inca, La Pagala Nenek
Mallomo, seorang raja di Sidenreng membunuh anak kandungnya sendiri demi
menegakkan hukuman mati terhadap anaknya yang dinilai tidak jujur.
Tentulah
penegakan nilai-nilai kebaikan tersebut tidak hanya terdapat pada suku
bangsa Bugis semata, penegakan nilai-nilai sebagai identitas bangsa ini
juga terjadi pada bangsa-bangsa lain. Karena itu, implementasi
nilai-nilai sebagai identitas individu, sosial dan budaya sangat penting
dilakukan dalam membangun sebuah tatanan yang menjadi “ruh” dari
kemandirian lokal.
Konsistensi
para pemimpin lokal pada zaman kerajaan dulu merupakan modal sosial dan
modal budaya yang sangat kuat untuk mendukung penguatan lahirnya
pemimpin-pemimpin lokal yang secara berkelanjutan dalam persfektif
kemandirian lokal saling melakukan interkoneksi dan saling mempengaruhi
satu sama lain untuk menciptakan tatanan yang mandiri, berdaya.
Masalahnya
sekarang, sebagaiman dikutip dari Mappadjantji, bahwa bangsa ini sedang
berada pada kondisis krisis identitas. Dengan demikian, tawarannya
adalah determinasi identitas bangsa sebagai karakter yang tidak dapat
disangkal menjadi hal mendasar yang sepatutnya dilakukan.
D. Penerimaan Holistik sebagai Syarat Integrasi Negara Bangsa
Merujuk
pada konsep kemandirian lokal sebagaimana ditawarkan Mappadjantji, maka
konsep kepemimpinan lokal menjadi poin penting yang perlu menjadi
tatanan koneksitas yang saling terkait dengan tatanan yang telah ada.
Sebuah tatanan lokal yang bermuara pada penciptaan tatanan non-lokal
(negara) tidak mungkin tercapai tanpa penegasan syarat keberadaan
pemimpin lokal yang memiliki karakter yang diwarnai oleh nilai-nilai
sosial dan budaya yang kuat, dimana nilai-nilai budaya yang kuat itu
menjadi identitas pemimpin-pemim lokal. Dengan lahirnya
pemimpin-pemimpin lokal yang memiliki identitas kedirian yang kuat maka
pemimpin-pemimpin lokal itu terus melakukan interkoneksitas untuk saling
mendukung lahirnya sebuah tatanan karakter yang lebih baik.
Seorang pemimpin lokal yang memiki karakter yang bersumber dari nilai-nilai amaccangeng
(kepandaian), lempu (jujur), getteng (teguh pada pendirian), ada
tongeng (perkataan benar), siamasei (saling mengasihi), sipakainge
(saling mengingatkan), awaraniang (keberanian), reso (kerja keras),
sipatuo (saling menghidupi, dan mamase (pengasih/pengayom) secara
swa-organisasi dan senantiasa melakukan interkoneksitas untuk konsisten
menjaga dan mengimplementasikan nilai-nilai identistasnya maka tatanan
negara bangsa yang bernama Indonesia bisa terwujud. Hal ini disebabkan
bahwa, Indonesia sebagai negara multikultur perlu mengembangkan sikap
saling penerimaan dengan memberikan apresiasi terhadap keberdayaan lokal
yang bersumber dari sumberdaya lokal, baik sumber daya sosial, budaya
dan alam.
Pemimpin-pemimpin
lokal yang berkarakter secara langsung menjadi agen perubahan sosial
untuk mewujudkan tatanan negera bangsa yang lebih baik. Sebagai
prasyarat, perlu ada determinasi yang jelas tentang karakter bangsa yang
mengacu pada identitas negara bangsa yang dituju.
Dengan
tersedianya identitas negara bangsa maka integrasi yang bersumber dari
penerimaan bersama secara holistik atas identitas tersebut memperkuat
dan mempercepat proses terwujudkan negara bangsa yang berkarakter.
Sebagai ilsutrasi interkoneksitas local characterized leadership dapat dilihat sebagai berikut:
E. Penutup
Identitas
kepemimpinan lokal yang berkarakter melakukan interkoneksitas dengan
kepemimpinan lokal lainnya yang memiliki karakter yang sama. Sementara,
kepemimpinan lokal yang tidak berkarakter sedapat dimungkin didorong
untuk lebih mempertegas pengimplementasian nilai-nilai sosial dan budaya
sebagai identitas.
Perfektif holisme dialogis untuk mendorong terciptanya integritas negera bangsa merupakan paradigma baru yang berpangkal pada newscience sebagai counter hegemony atas modern science.
Tentulah studi ini masih membutuhkan kajian lebih dalam untuk menemukan
karakter negera bangsa yang berdaya secara sosial dan budaya
sebagaimana yang dicita-citakan.
Daftar Pusataka
Amin, A. Mappadjantji, 2003. Kemandirian Lokal. Makassar: Lembaga Penerbitan Unhas.
Liliweri, Alo, Prof.Dr. 2009. Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKIS
Pruit, Dean G dan Jeffrey Z. Rubin. 2009. Teori Konflik Sosial (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahim, H.A. Rahman, Prof. Dr. 1992. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Makassar: Hasanuddin University Press.
Ritzer, George, Douglas J.Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern (Edisi Keenam). Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Susan, Novri, Ma. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Soelaiman, Munandar M. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sztompka, Tiotr. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Yuana, Kumara Ari, 2010.The Greatest Philosophers. Yogyakarta: Penerbit Andi.
No comments:
Post a Comment