Tuesday, October 30, 2012

Pentingnya Identitas dalam Membangun
Karakter Kepemimpinan Lokal
 Menuju Integrasi Negara Bangsa

Syamsuddin Simmau


A.     Latar Belakang Konseptual
Perubahan merupakan sebuah kepastian. Salah satu penyebab yang mendorong terciptanya perubahan adalah konflik. Menurut Ralf Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yaitu konflik dan konsensus (Ritzer dan Goodman, 2010:153). Melandasi gagasan tersebut, Heraklitus (600-540 SM) jauh sebelumnya telah mengatakan bahwa semua hal di alam ini selalu berubah, mengalir, tidak diam, penuh persaingan dan bersifat abadi. Maka jelaslah bahwa konflik dan sosial order merupakan dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah dalam gerak, mengalir, berubah, dengan adanya konflik yang berakar dari proses interaksi masyarakat yang berfat abadi itu terjadi reduksi bahkan penghilangan identitas ? Tentu saja, iya. Tidak sedikit masyarakat yang kehilangan identitas kediriannya sehingga menjadi masyarakat yang terus bergerak tanpa identitas yang pada akhirnya sehingga sulit dikenali.
Berangkat dari mengenali, mengidentifikasi, menamai, dan mencirikan sesuatu itulah muasal dari pentingnya identitas dibicarakan. Proses interaksi sosial terjadi disebabkan karena adanya sesuatu yang memiliki identitas yang perlu untuk saling  mengenal dan saling berinteraksi. Tanpa identitas maka tidak ada interaksi.
Meski demikian, identitas dalam perbincangan ini berfokus pada suatu cita-cita menuju sebuah integrasi negara bangsa, Indonesia Raya, yang terbangun dari kepemimpinan lokal yang memiliki identitas yang berbasis atas nilai-nila luhur.  Dengan demikian, setidaknya ada tiga poin penting yang menjadi warna dasar dalam paper ini, yaitu; identitas, karakter kepemimpinan lokal, dan integrasi negara bangsa. Persfektif ini terbangun dari realitas Indonesia kekinian yang sedang terayun-ayun pada kompleksitas realitas disintegrasi. Potensi disintegrasi ini sangat besar akarnya dalam sebuah negara bangsa yang bernama Indonesia. Hal ini disebabkan oleh latar belakang sejarah  yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan multi bangsa yang tersebar pada ribuan pulau dengan diwarnai dengan etnis dan budayanya yang sangat beragam.
Meski demikian, potensi keragaman identitas etnik dan budaya telah didorong untuk mengaktualisasikan sebuah bangsa besar yang baru yang disebut Bangsa Indonesia. Dengan demikian, Bangsa Indonesia adalah kumpulan bangsa-bangsa yang tidak hanya memiliki latar belakang historis berbeda tapi juga memiliki identitas etnis yang berbeda pula. Menariknya, realitas keragaman inilah yang justru oleh para founding father ini dijadikan sebagai energi entitas untuk membangun entitas yang lebih besar yang disebut Bangsa Indonesia.
Secara historis, kekuatan Bangsa Indonesia sejak awal didirikannya, bermuasal dari jalinan derita kolektif yang lahir dari praktek kolonialisme. Para pemimpin kerajaan kemudian menjadi motor terjadinya mobilisasi sosial untuk kembali merebut hakikat kemanusiaan mereka sebagai makhluk yang bebas dan bermartaba dari tangan penguasa kolonial.
Derita kolektif inilah yang sekaligus menjelma menjadi ingatakan kolektif yang selanjutnya semakin menguat menjadi sebuah kesadaran kolektif untuk mewujudkan sebuah kedaulatan bersama. Searah dengan itu, dibangun pula konsensus tentang pentingnya sebuah bangsa yang lebih besar yang bersumber dari beragam bangsa-bangsa untuk menyatukan diri menjadi Bangsa Indonesia.
Berhulu dari derita kolektif tersebut, sejarah Bangsa Indonesia mencatat bahwa para raja pada masa transisi dari era kolonialisme menuju era Bangsa Indonesia menyerahkan kekuasaannya dalam bentuk pengakuan bergabung dalam sebuah negara bangsa, Indonesia. Bergabungnya raja-raja di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Ambon dalam negara bangsa Indonesia semakin mengokohkan berdirinya negara bangsa ini.
Bercermin secara ilmiah pada sejarah, maka jamak diketahui bahwa peran para raja yang menjadi pemimpin beragam bangsa yang menopang negeri ini merupakan kunci utama terbangunnya negara Bangsa Indonesia. Kesadaran kolektif yang terdorong dari derita kolektif dimaksud telah mendorong para raja yang menjadi patron rakyatnya ketika itu untuk legowo melakukan integrasi demi memperkuat diri sebagai sebuah bangsa yang kokoh, berwibawa menuju pencapaian kemanusian, kesejahteraan, kedaulatan, dan keadilan untuk semua.
Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa peranan para raja, sebagai manifestasi  characterized local leader yang pada gilirannya tiba pada sebuah characterized local leadership (kepemimpinan lokal yang berkarakter). Karena itu, konsepsi characterized local leadership seraca fundamental dipengaruhi oleh konsepsi kemandirian lokal yang dimatangkan oleh Mappadjantji Amin (2003).
Menurut Mappadjantji, kemandirian lokal adalah sintesa dari wawasan baru yang ditawarkan oleh paradigma holisme dialogis. Paradigma ini ditunjang oleg 3 pilar utama yaitu:
1.    Holisme interkoneksitas sebagai “kounter” dari reduksionisme dalam modern science.
2.     Probabilisme sebagai jawaban terhadap determinisme dalam modern science.
3.    Kontekstualisme yang mengganti objektifisme pada paradigma newtonian.
Karena itu, kemandirian lokal merupakan paradigma baru dari new science sebagai jawaban terhadap kegagalan modern science  dalam menemukan jawaban terhadap beragam problem yang ada. Dengan demikian, kemandirian lokal yang ditopang oleh tatanan merupakan perwujudan interkoneksitas, dalam hal ini tatanan tidak berbatas (boundary). Setiap tatanan memiliki identitas yang spesifik. Identitas inilah menurut Mappadjantji yang menjadi spirit tatanan yang menjaga sekaligus tercermin pada pola interkoneksitas yang terjadi.
Dalam kaitan ini, tatanan merupakan entitas organik, yang dalam mempertahankan keberadaannya, tatanan mengadakan pertukaran energi, materi dan informasi dengan lingkungannya. Karena itu, tatanan secara berkelanjutan melakukan proses adaptasi diri terhadap dinamika perubahannya lingkungannya.
Selain memiliki kemampuan adaptif, tatanan juga memiliki kemampuan swa-organisasi (self organizing capacity). Semakin besar kapasitas swa-organisasi maka akan semakin adaptif pula suatu tatanan. Hal ini berarti bahwa semakin besar pula kemampuan tatanan itu untuk mempertahankan keberlangsungan keberadaanya.
Sementara itu, Mappadjantji menjelaskan bahwa pada hakekatnya, setiap tatanan memiliki kemampuan untuk melakukan apapun berdasarkan kehendak bebas dan identitas masing-masing. Karena itu, kemandirian lokal dapat pandang pada dua kata, yaitu; kemandirian dan lokal. Kemandirian berkorelasi dengan kemampuan tatanan untuk melakukan apapun berdasarkan kehendak bebas. Sedangkan kata lokal menunjuk pada dua hal, yaitu; (a) kemandirian tatanan bersifat lokal karena tatanan tidak terpisah dari lingkungannya, (b) untuk menjelaskan “kebenaran” dalam persfektif new science bahwa kebenaran semesta itu dikelompokkan kedalam dua kategori, yaitu; bersifat lokal dan non-lokal.
Dengan demikian, jelaslah bahwa identitas, kepemimpinan lokal yang berkarakter, dan kemandirian lokal memiliki peran penting dalam keberlangsungan sebuah negara bangsa dimana setiap bangsa-bangsa yang menjadi identitas di dalamnya merupakan tatanan yang saling berinterkoneksi membuat tatanan yang kebih besar yang disebut bangsa Indonesia.

B.     Seputar Identitas
Menurut Liliweri (2009:38) bahwa identitas kita merupakan sebuah batas yang kuat untuk mengevaliasi kehadiran diri kita dengan orang lain. Sebagai pelengkap, kiranya, bukan hanya mempergas batas kedirian seseorang dengan lain tapi juga dengan lingkungannya. Dengan demikian jelaslah bahwa identitas merujuk pada asal-usul.
Dalam keterkaitan ini, identitas diri dipandang sebagai keunikan karakteristik seseorang. Dalam ini,setiap orang memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang lain, baik suara, warna kulit, bentuk tubuh, perilaku budaya dan perilaku sosial, gerak gerik dan sebagainya.
Sementara itu, identitas sosial terbentuk sebagai akibat dari keanggotaan kita dalam suatu kelompok kebudayaan. Dalam konesitasnya dengan identitas sosial ada baiknya kita mengutip pendapat Liliweri bahwa tipe kelompok kebudayaan antara lain; umur, gender, kerja, agama, kelas sosial, tempat dan seterusnya. Mengacu pada pandangan tersebut maka kita akan bisa membedakan sekelompok orang dengan kelompok lainnya melalui kelompok umur lalau kita menetapkan ciri-ciri perilaku mereka berdasarkan usia tua atau muda.
Selain menjelaskan identitas sosial, Liliweri juga mendeskripsikan identitas budaya sebagai ciri yang ditunjukkan seseorang karena orang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok etnis tertentu. Dimana hal ini merupakan pembelajaran dan penerimaan terhadap tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, dan keturunan dari suatu kebudayaan. Sebagai contoh, seseorang bisa mengidentifikasi orang Flores sebagai orang Khatolik dan orang Lamahala di Adonara sebagai orang Islam dan sebagainya.
Berdasar pada determinitasi identias diri, sosial dan budaya maka hal tersebut juga berkorelasi langsung dengan identitas etnik. Seseorang bisa membedakan orang lain dengan melihat identitas etniknya, yang biasanya merujuk pada ciri etnis tertentu, misalnya; bentuk rambut, mata, warna kulit dan seterusnya.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah identitas etnik berpengaruh terhadap perilaku ? penelitian beberapa ahli telah membuktikan bahwa identitas etnik berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Salah satunya dapat kita lihat pada penelitian Sandra Champion (1993) seperti yang dikutip Liliweri bahwa pada umumnya remaja migran yang sukses disebabkan karena mereka selalu menyelidiki riwayat asal usul mereka, terutama cerita-cerita heroik atau cerita-cerita kepahlawanan suku bangsa mereka.

C.    Local Wishdom sebagai Nilai Identitas
Kearifan lokal atau Local Wishdom merupakan nilai sebuah identitas. Pada bangsa Bugis, nilai-nilai budaya yang juga mencerminkan identitas budayanya, seperti lempu (jujur), getteng (teguh pada pendirian), ada tongeng (perkataan benar), siamasei (saling mengasihi), sipakainge (saling mengingatkan), awaraniang (keberanian), reso (kerja keras), sipatuo (saling menghidupi) dan sebagainya (Rahman Amin, 1992) merupakan nilai-nilai yang melekat erat pada perilaku dan tindakan-tindakan manusia Bugis. Meski demikian, patut diakuibahwa tetap saja terjadi penyimpangan terhada nilai-nilai sebagai identitas sosial maupun identis budaya dan individu. 
Sebagai contoh, seorang Raja di Bone yang bernama La Inca harus dibunuh sendiri oleh neneknya Arung Matajang karena perilakunya yang tidak baik. Salah satu perbuatan yang menyebabkan La Inca di bunuh adalah karena ia kedapatan menggagahi istri orang. Selan La Inca, La Pagala Nenek Mallomo, seorang raja di Sidenreng membunuh anak kandungnya sendiri demi menegakkan hukuman mati terhadap anaknya yang dinilai tidak jujur.
Tentulah penegakan nilai-nilai kebaikan tersebut tidak hanya terdapat pada suku bangsa Bugis semata, penegakan nilai-nilai sebagai identitas bangsa ini juga terjadi pada bangsa-bangsa lain. Karena itu, implementasi nilai-nilai sebagai identitas individu, sosial dan budaya sangat penting dilakukan dalam membangun sebuah tatanan yang menjadi “ruh” dari kemandirian lokal.
Konsistensi para pemimpin lokal pada zaman kerajaan dulu merupakan modal sosial dan modal budaya yang sangat kuat untuk mendukung penguatan lahirnya pemimpin-pemimpin lokal yang secara berkelanjutan dalam persfektif kemandirian lokal saling melakukan interkoneksi dan saling mempengaruhi satu sama lain untuk menciptakan tatanan yang mandiri, berdaya.
Masalahnya sekarang, sebagaiman dikutip dari Mappadjantji, bahwa bangsa ini sedang berada pada kondisis krisis identitas. Dengan demikian, tawarannya adalah determinasi identitas bangsa sebagai karakter yang tidak dapat disangkal menjadi hal mendasar yang sepatutnya dilakukan.

D.    Penerimaan Holistik sebagai Syarat Integrasi Negara Bangsa
Merujuk pada konsep kemandirian lokal sebagaimana ditawarkan Mappadjantji, maka konsep kepemimpinan lokal menjadi poin penting yang perlu menjadi tatanan koneksitas yang saling terkait dengan tatanan yang telah ada. Sebuah tatanan lokal yang bermuara pada penciptaan tatanan non-lokal (negara) tidak mungkin tercapai tanpa penegasan syarat keberadaan pemimpin lokal yang memiliki karakter yang diwarnai oleh nilai-nilai sosial dan budaya yang kuat, dimana nilai-nilai budaya yang kuat itu menjadi identitas pemimpin-pemim lokal. Dengan lahirnya pemimpin-pemimpin lokal yang memiliki identitas kedirian yang kuat maka pemimpin-pemimpin lokal itu terus melakukan interkoneksitas untuk saling mendukung lahirnya sebuah tatanan karakter yang lebih baik.
Seorang pemimpin lokal yang memiki karakter yang bersumber dari nilai-nilai amaccangeng (kepandaian), lempu (jujur), getteng (teguh pada pendirian), ada tongeng (perkataan benar), siamasei (saling mengasihi), sipakainge (saling mengingatkan), awaraniang (keberanian), reso (kerja keras), sipatuo (saling menghidupi, dan mamase (pengasih/pengayom) secara swa-organisasi dan senantiasa melakukan interkoneksitas untuk konsisten menjaga dan mengimplementasikan nilai-nilai identistasnya maka tatanan negara bangsa yang bernama Indonesia bisa terwujud. Hal ini disebabkan bahwa, Indonesia sebagai negara multikultur perlu mengembangkan sikap saling penerimaan dengan memberikan apresiasi terhadap keberdayaan lokal yang bersumber dari sumberdaya lokal, baik sumber daya sosial, budaya dan alam.
Pemimpin-pemimpin lokal yang berkarakter secara langsung menjadi agen perubahan sosial untuk mewujudkan tatanan negera bangsa yang lebih baik. Sebagai prasyarat, perlu ada determinasi yang jelas tentang karakter bangsa yang mengacu pada identitas negara bangsa yang dituju.
Dengan tersedianya identitas negara bangsa maka integrasi yang bersumber dari penerimaan bersama secara holistik atas identitas tersebut memperkuat dan mempercepat proses terwujudkan negara bangsa yang berkarakter.
Sebagai ilsutrasi interkoneksitas local characterized leadership dapat dilihat sebagai berikut:



 

E.     Penutup
Identitas kepemimpinan lokal yang berkarakter melakukan interkoneksitas dengan kepemimpinan lokal lainnya yang memiliki karakter yang sama. Sementara, kepemimpinan lokal yang tidak berkarakter sedapat dimungkin didorong untuk lebih mempertegas pengimplementasian nilai-nilai sosial dan budaya sebagai identitas.
Perfektif holisme dialogis untuk mendorong terciptanya integritas negera bangsa merupakan paradigma baru yang berpangkal pada newscience sebagai counter hegemony atas modern science. Tentulah studi ini masih membutuhkan kajian lebih dalam untuk menemukan karakter negera bangsa yang berdaya secara sosial dan budaya sebagaimana yang dicita-citakan.

Daftar Pusataka

Amin, A. Mappadjantji, 2003. Kemandirian Lokal. Makassar: Lembaga Penerbitan  Unhas.
Liliweri, Alo, Prof.Dr. 2009. Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKIS
Pruit, Dean G dan Jeffrey Z. Rubin. 2009. Teori Konflik Sosial (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahim, H.A. Rahman, Prof. Dr. 1992. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Makassar: Hasanuddin University Press.
Ritzer, George, Douglas J.Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern (Edisi Keenam). Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Susan, Novri, Ma. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Soelaiman, Munandar M. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sztompka, Tiotr. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Yuana, Kumara Ari, 2010.The Greatest Philosophers. Yogyakarta: Penerbit Andi.

No comments: