Tuesday, October 30, 2012

Community Based Planning

Sebuah Paradigma Masa Depan Perencanaan Pembangunan Sosial

* Syamsuddin Simmau
   A.    Latar Belakang Konseptual

Menurut Sarbini Sumawinata (Suwarsono dan Alvin Y. SO, 1994:33) ada tiga tahap yang harus dipenuhi jika masyarakat hendak mencapai tahap tinggal landas pembangunan ekonomi. Pandangan Sumawinata mengacu pada tahap perkembangan ekonomi Rostow sebagai syarat untuk lepas landas. Pertama, untuk mencapai lepas landas ekonomi negara memerlukan tingkat investasi produktif paling tidak 10 % dari pendapatan nasional. Kedua, pertumbuhan yang tinggi atas satu atau lebih cabang industri sentral. Ketiga, tumbuh dan berkembangngnya kerangka sosial politik yang mampu menyerap dinamika perubahan masyarakat.
Swaminata memandang bahwa untuk kasus Indonesia tampaknya yang paling menonjol adalah pemenuhan syarat pertama dan mengesampingkan pemenuhan syarat kedua dan ketiga. Padahal, dua syarat terakhir merupakan syarat yang jauh lebih penting dari pada syarat pertama.
Dalam kondisi ini, Suwarsonon dan Alvin Y.SO (1994:17) mengutip Rostow bahwa jika negara dunia ketiga menghadapi masalah kecilnya dana investasi produktif maka jawaban masalahnya terletak pada kemungkinan penyediaan bantuan asing berupa bantuan modal, teknologi, dan keahlian bagi negera dunia ketiga.
Secara kritis, dapat dipandang bahwa pendapat Rostow sebagaimana dikutip Suwarsono dan Alvin Y. SO diatas merupakan “bibit unggul” terciptanya ketergantungan Indonesia sebagai negera dunia ketiga kepada bantuan asing. Akibatnya, Indonesia mengalami ketergantungan kepada negara dan lembaga keuangan internasional untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian Indonesia menjadi negara terjajah dan tertindas dari negera-negara dunia pertama (negara donor-industri).
Dalam kaitan ini, teori imprealisme, teori ketergantungan dan teori sistem dunia telah menjadi jastifikasi ketergantungan Indonesia, yang menjadi “pecandu hutang luar negeri”. Menurut Sztompka (2010:104-106) teori imperialisme dalam bentuknya yang masih sederhana dapat dilihat dari karya J.A. Hobson yang selanjutnya dikembangkan oleh Bukharin (1929) dan oleh Lenin (1939). Pada intinya dikemukakan bahwa imperialisme baru adalah imperialisme industri yang dilakukan karena terjaninya over produksi pada negera-negara industri sehingga mereka melakukan imperialisme dalam bentuk pembukaan dan kolonisasi pasar. Kontrol produksi dan pasar dari negera-negara industri selanjutnya mendorong terjadinya peningkatan rasio “hutang luar negeri” Indonesia untuk membeli hasil-hasil produksi negera-negera pemberi hutang luar negeri. Hal ini diperparah oleh kondisi politik dan perilaku korup pemerintahan yang terkesan radikal melepaskan nilai-nilai kultur dan sosial sebagai modal sosial masyarakat Indonesia.
Ketergantungan tersebut kemudian menjelma sistem saling kaitmengait antar negera sebagai sebuah sistem dunia. Sztompka (2010:101) mengutip pendapat Chirot (1977) bahwa tak ada satu negera pun di dunia yang sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam kaitan ini, Indonesia menjadi negara terjajah yang sangat tergantung pada negara donor yang juga sekaligus sebagai negara industri dalam sebuah sistem dunia yang mengikat dengan ketat. Jadilah Indonesia sebagai negara taklukan. Akibatnya, masyarakat Indonesia tidak berdaya dan semakin miskin sebagai masyarakat terjajah. Dalam persfektif ini, pembangunan diniali telah gagal membawa masyarakat Indonesia menuju keberdayaan.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah masyarakat Indonesia harus pasrah menerima realita tersebut ? Tentu tidak. Salah satu landasan teoritis adalah pendekatan newscience yang mendasari lahirnya “paradigma kemandirian lokal”.
Paradigma kemandirian lokal dapat dicermati dalam  Kemandirian Lokal Persfektif Sains Baru terhadap Organisasi, Pembangunan dan Pendidikan karya A. Mappadjantji (2003). Menurut Mappadjantji secara filosofis kemandirian lokal mengacu pada peningkatan kemandirian entitas pembangunan untuk meningkatkan kompetensi dan kapasitasnya untuk membangun diri sendiri sesuai dengan identitasnya masing-masing.
Mappadjantji mempertegas bahwa kemandirian lokal merekomendasikan agar pembangunan dilaksanakan oleh setiap tatanan dengan memanfaatkan sumber daya lokal dengan mengacu kepada karakteristik spesifik yang dimiliki. Pembangunan tatanan dimaksud diarahkan untuk meningkatkan kualitas tatanan yang indikator utamanya adalah kemampuan untuk menjalin dan mengembangkan interkoneksitas dengan tatanan lainnya, sehingga dapat tercipta jalinan keterhubungan yang saling menguntungkan dan meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan. Dengan demikian, setiap tatanan mampu menciptakan peluang bagi pengembangan dirinya dari proses perubahan itu.

   B.     Konsep Community Based Planning (CBP)
Implementasi paradigma kemandirian lokal tersebut tentulah tidak dapat dilaksanakan jika tidak diawali oleh sebuah konsep pengenalan dan identifikasi potensi sumberdaya lokal masyarakat. Karena itu, untuk mendukung implementasi kemandirian lokal diperlukan sebuah pendekatan perencanaan yang berbasis komunitas yang disebut community based palanning (CBP).
Sebagai kunci dari CBP perlu kiranya diperhatikan kerangkan perencanaan yang mengacu pada pendekatan mixed methodology; kuantitatif dan kualitatif dalam mengidentifikasi dan melakukan swakelola informasi untuk penguatan masyarakat. Untuk memperjelas konsep tersebut dapat dilihat sebagai berikut:






(Sumber: materi kuliah Dr. Syaifullah Cangara, M.Si, 2011)

            Dari skema konsep alur perencanaan berbasis masyarakat (CBS) tersebut dapat diuraikan bahwa problem sosial terdapat dalam aktor maupun masyarakat. Dengan adanya problem sosial masyarakat maka seorang perencana sosial ingin pengetahui (keingintahuan) masalah sosial yang sesungguhnya dan selanjutnya berupaya memberikan rekomendasi solusif terhadap problem tersebut. Untuk mengecek keberadaan problem sosial yang ada pada aktor maupun komunitas maka seorang perencana sosial perlu mengecek sumber masalah pada aspek kultur atau aspek struktur atau kedua-duanya. Jika penyebab masalah sosial berada pada aspek kultur maka pendekatan yang digunakan untuk menggali informasi dan indikator masalag adalah pendekatan kualitatif. Namun jika masalah sosial disebabkan oleh aspek struktur maka pendekatan yang tepat digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Dalam kaitan ini, masalah sosial juga bisa bersumber dari dua aspek tersebut secara bersamaan, baik aspek kultur maupun aspek struktur. Dalam kondisi seperti ini maka pendekatan yang patut digunakan adalah mixed approach (quantitative anda qualitatove approach). Dari ketiga pendekatan tersebut akan diperoleh indikator-indikator kausalitas masalah sosial, maka kondisi kausalitas (sebab akibat) pun diketahui. Pada gilirannya, domain masalah yang sesungguhnya terjadi juga sudah dapat diketahui (tahu) oleh seorang perencana. Dengan demikian akan mudah melakukan identifikasi masalah sosial yang sesungguhnya.
Setelah masalah sosial sudah diidentifikasi barulah diidentifikasi sumber daya ahli perencanaan yang dibutuhkan untuk menyusun perencanaan guna mencari solusi masalah sosial yang terjadi. Dengan demikian, seorang perencanan sosial berbasis masyarakat tidak bisa melakukan perencanaan sebelum ada data dan informasi autentik tentang akar masalah yang sesungguhnya. Karena itu, ada dua profesi yang bekerja pada kondisi ini, yaitu profesi peneliti (researcher) dan profesi perencana (planner). Namun demikian, bisa jadi seorang peneliti juga memiliki kemampuan perencanaan sekaligus maupun sebaliknya.
Jika penyelesaian masalah sosial tidak diselesaikan dengan paradigma ini maka bisa jadi setiap program pembangunan atau bantuan untuk pemberdayaan masyarakat tidak tepat sasaran sehingga tidak efektif, efisien dan berdaya guna. Sebagai contoh, kasus kelaparan yang terjadi di Papua beberapa tahun lalu, ketika itu pemerintah menggelontorkan dana milyaran rupiah untuk memberi bantuan berupa pembagian peras dan makanan instan. Namun yang terjadi adalah masyarakat Papua justru tidak menikmati bantuan itu, karena makanan pokok masyarakat Papua adalah umbi-umbian. Kesalahan intervensi seperti kasus Papua tersebut disebabkan karena adanya data dan informasi yang tidak berbasis pada kondisi riil masyarakat Papua ketika itu. Dengan demikian, penerapan CBP merupakan pilihan perencanaan pembangunan sosial pada saat ini dan masa datang.
   C.     Kesimpulan
Dengan menggunakan Community Based Palanning (CBP) maka masalah sosial bisa diselesaikan sesuai potensi sumber daya komunitas. Dengan demikian, sinkronisasi program yang dilaksanakan dan perencanaan akan tepat sasaran. Hasilnya, terjadi efiensi dan efektifitas perencanaan dalam menyelesaikan masalah sosial. Karena itu, jelaslah bahwa CBP merupakan paradigma perencanaan pembangunan sosial kini dan masa datang yang efisien, efektif dan berdaya guna.
Daftar Pustaka
Amin, A. Mappadjantji, 2003. Kemandirian Lokal Persfektif Sains Baru terhadap Organisasi, Pembangunan dan Pendidikan. Makassar: Lembaga Penerbitan  Unhas.
Cangara, Syaifullah, 2010, Materi Kuliah Perencanaan Pembangunan Sosial pada Program Studi Sosiologi Pascasarjana Universitas Hasanuddin (Tidak Dipublikasikan).
Ife, Jim dan Frank Tesoriero, 2008. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi Community Development. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwarsono dan Alvin Y. SO, 1994. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES
Sztompka, Piotr. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

No comments: