Sebuah Paradigma Masa Depan Perencanaan Pembangunan Sosial
* Syamsuddin Simmau
A. Latar Belakang Konseptual
Menurut
Sarbini Sumawinata (Suwarsono dan Alvin Y. SO, 1994:33) ada tiga tahap
yang harus dipenuhi jika masyarakat hendak mencapai tahap tinggal landas
pembangunan ekonomi. Pandangan Sumawinata mengacu pada tahap
perkembangan ekonomi Rostow sebagai syarat untuk lepas landas. Pertama, untuk mencapai lepas landas ekonomi negara memerlukan tingkat investasi produktif paling tidak 10 % dari pendapatan nasional. Kedua, pertumbuhan yang tinggi atas satu atau lebih cabang industri sentral. Ketiga, tumbuh dan berkembangngnya kerangka sosial politik yang mampu menyerap dinamika perubahan masyarakat.
Swaminata
memandang bahwa untuk kasus Indonesia tampaknya yang paling menonjol
adalah pemenuhan syarat pertama dan mengesampingkan pemenuhan syarat
kedua dan ketiga. Padahal, dua syarat terakhir merupakan syarat yang
jauh lebih penting dari pada syarat pertama.
Dalam
kondisi ini, Suwarsonon dan Alvin Y.SO (1994:17) mengutip Rostow bahwa
jika negara dunia ketiga menghadapi masalah kecilnya dana investasi
produktif maka jawaban masalahnya terletak pada kemungkinan penyediaan
bantuan asing berupa bantuan modal, teknologi, dan keahlian bagi negera
dunia ketiga.
Secara
kritis, dapat dipandang bahwa pendapat Rostow sebagaimana dikutip
Suwarsono dan Alvin Y. SO diatas merupakan “bibit unggul” terciptanya
ketergantungan Indonesia sebagai negera dunia ketiga kepada bantuan
asing. Akibatnya, Indonesia mengalami ketergantungan kepada negara dan
lembaga keuangan internasional untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian Indonesia menjadi negara terjajah dan tertindas dari negera-negara dunia pertama (negara donor-industri).
Dalam
kaitan ini, teori imprealisme, teori ketergantungan dan teori sistem
dunia telah menjadi jastifikasi ketergantungan Indonesia, yang menjadi
“pecandu hutang luar negeri”. Menurut Sztompka (2010:104-106) teori
imperialisme dalam bentuknya yang masih sederhana dapat dilihat dari
karya J.A. Hobson yang selanjutnya dikembangkan oleh Bukharin (1929) dan
oleh Lenin (1939). Pada intinya dikemukakan bahwa imperialisme baru
adalah imperialisme industri yang dilakukan karena terjaninya over
produksi pada negera-negara industri sehingga mereka melakukan
imperialisme dalam bentuk pembukaan dan kolonisasi pasar. Kontrol
produksi dan pasar dari negera-negara industri selanjutnya mendorong
terjadinya peningkatan rasio “hutang luar negeri” Indonesia untuk
membeli hasil-hasil produksi negera-negera pemberi hutang luar negeri.
Hal ini diperparah oleh kondisi politik dan perilaku korup pemerintahan
yang terkesan radikal melepaskan nilai-nilai kultur dan sosial sebagai
modal sosial masyarakat Indonesia.
Ketergantungan
tersebut kemudian menjelma sistem saling kaitmengait antar negera
sebagai sebuah sistem dunia. Sztompka (2010:101) mengutip pendapat
Chirot (1977) bahwa tak ada satu negera pun di dunia yang sanggup
memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam kaitan ini, Indonesia menjadi
negara terjajah yang sangat tergantung pada negara donor yang juga
sekaligus sebagai negara industri dalam sebuah sistem dunia yang
mengikat dengan ketat. Jadilah Indonesia sebagai negara taklukan.
Akibatnya, masyarakat Indonesia tidak berdaya dan semakin miskin sebagai
masyarakat terjajah. Dalam persfektif ini, pembangunan diniali telah
gagal membawa masyarakat Indonesia menuju keberdayaan.
Pertanyaannya
kemudian adalah apakah masyarakat Indonesia harus pasrah menerima
realita tersebut ? Tentu tidak. Salah satu landasan teoritis adalah
pendekatan newscience yang mendasari lahirnya “paradigma kemandirian lokal”.
Paradigma kemandirian lokal dapat dicermati dalam Kemandirian Lokal Persfektif Sains Baru terhadap Organisasi, Pembangunan dan Pendidikan
karya A. Mappadjantji (2003). Menurut Mappadjantji secara filosofis
kemandirian lokal mengacu pada peningkatan kemandirian entitas
pembangunan untuk meningkatkan kompetensi dan kapasitasnya untuk
membangun diri sendiri sesuai dengan identitasnya masing-masing.
Mappadjantji
mempertegas bahwa kemandirian lokal merekomendasikan agar pembangunan
dilaksanakan oleh setiap tatanan dengan memanfaatkan sumber daya lokal
dengan mengacu kepada karakteristik spesifik yang dimiliki. Pembangunan
tatanan dimaksud diarahkan untuk meningkatkan kualitas tatanan yang
indikator utamanya adalah kemampuan untuk menjalin dan mengembangkan
interkoneksitas dengan tatanan lainnya, sehingga dapat tercipta jalinan
keterhubungan yang saling menguntungkan dan meningkatkan kemampuan
adaptasi terhadap perubahan. Dengan demikian, setiap tatanan mampu
menciptakan peluang bagi pengembangan dirinya dari proses perubahan itu.
B. Konsep Community Based Planning (CBP)
Implementasi
paradigma kemandirian lokal tersebut tentulah tidak dapat dilaksanakan
jika tidak diawali oleh sebuah konsep pengenalan dan identifikasi
potensi sumberdaya lokal masyarakat. Karena itu, untuk mendukung
implementasi kemandirian lokal diperlukan sebuah pendekatan perencanaan
yang berbasis komunitas yang disebut community based palanning (CBP).
Sebagai kunci dari CBP perlu kiranya diperhatikan kerangkan perencanaan yang mengacu pada pendekatan mixed methodology; kuantitatif dan kualitatif
dalam mengidentifikasi dan melakukan swakelola informasi untuk
penguatan masyarakat. Untuk memperjelas konsep tersebut dapat dilihat
sebagai berikut:
(Sumber: materi kuliah Dr. Syaifullah Cangara, M.Si, 2011)
Dari skema konsep alur perencanaan berbasis masyarakat (CBS) tersebut
dapat diuraikan bahwa problem sosial terdapat dalam aktor maupun
masyarakat. Dengan adanya problem sosial masyarakat maka seorang
perencana sosial ingin pengetahui
(keingintahuan) masalah sosial yang sesungguhnya dan selanjutnya
berupaya memberikan rekomendasi solusif terhadap problem tersebut. Untuk
mengecek keberadaan problem sosial yang ada pada aktor maupun komunitas
maka seorang perencana sosial perlu mengecek sumber masalah pada aspek
kultur atau aspek struktur atau kedua-duanya. Jika penyebab masalah
sosial berada pada aspek kultur maka pendekatan yang digunakan untuk
menggali informasi dan indikator masalag adalah pendekatan kualitatif. Namun jika masalah sosial disebabkan oleh aspek struktur maka pendekatan yang tepat digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Dalam
kaitan ini, masalah sosial juga bisa bersumber dari dua aspek tersebut
secara bersamaan, baik aspek kultur maupun aspek struktur. Dalam kondisi
seperti ini maka pendekatan yang patut digunakan adalah mixed approach (quantitative anda qualitatove approach).
Dari ketiga pendekatan tersebut akan diperoleh indikator-indikator
kausalitas masalah sosial, maka kondisi kausalitas (sebab akibat) pun
diketahui. Pada gilirannya, domain masalah yang sesungguhnya terjadi
juga sudah dapat diketahui (tahu) oleh seorang perencana. Dengan
demikian akan mudah melakukan identifikasi masalah sosial yang
sesungguhnya.
Setelah
masalah sosial sudah diidentifikasi barulah diidentifikasi sumber daya
ahli perencanaan yang dibutuhkan untuk menyusun perencanaan guna mencari
solusi masalah sosial yang terjadi. Dengan demikian, seorang perencanan
sosial berbasis masyarakat tidak bisa melakukan perencanaan sebelum ada
data dan informasi autentik tentang akar masalah yang sesungguhnya.
Karena itu, ada dua profesi yang bekerja pada kondisi ini, yaitu profesi
peneliti (researcher) dan profesi perencana (planner). Namun demikian, bisa jadi seorang peneliti juga memiliki kemampuan perencanaan sekaligus maupun sebaliknya.
Jika
penyelesaian masalah sosial tidak diselesaikan dengan paradigma ini
maka bisa jadi setiap program pembangunan atau bantuan untuk
pemberdayaan masyarakat tidak tepat sasaran sehingga tidak efektif,
efisien dan berdaya guna. Sebagai contoh, kasus kelaparan yang terjadi
di Papua beberapa tahun lalu, ketika itu pemerintah menggelontorkan dana
milyaran rupiah untuk memberi bantuan berupa pembagian peras dan
makanan instan. Namun yang terjadi adalah masyarakat Papua justru tidak
menikmati bantuan itu, karena makanan pokok masyarakat Papua adalah
umbi-umbian. Kesalahan intervensi seperti kasus Papua tersebut
disebabkan karena adanya data dan informasi yang tidak berbasis pada
kondisi riil masyarakat Papua ketika itu. Dengan demikian, penerapan CBP
merupakan pilihan perencanaan pembangunan sosial pada saat ini dan masa
datang.
C. Kesimpulan
Dengan menggunakan Community Based Palanning (CBP)
maka masalah sosial bisa diselesaikan sesuai potensi sumber daya
komunitas. Dengan demikian, sinkronisasi program yang dilaksanakan dan
perencanaan akan tepat sasaran. Hasilnya, terjadi efiensi dan
efektifitas perencanaan dalam menyelesaikan masalah sosial. Karena itu,
jelaslah bahwa CBP merupakan paradigma perencanaan pembangunan sosial kini dan masa datang yang efisien, efektif dan berdaya guna.
Daftar Pustaka
Amin, A. Mappadjantji, 2003. Kemandirian Lokal Persfektif Sains Baru terhadap Organisasi, Pembangunan dan Pendidikan. Makassar: Lembaga Penerbitan Unhas.
Cangara, Syaifullah, 2010, Materi Kuliah Perencanaan Pembangunan Sosial pada Program Studi Sosiologi Pascasarjana Universitas Hasanuddin (Tidak Dipublikasikan).
Ife, Jim dan Frank Tesoriero, 2008. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi Community Development. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwarsono dan Alvin Y. SO, 1994. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES
Sztompka, Piotr. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
No comments:
Post a Comment