Syamsuddin
Simmau
Rembulan bukanlah perlambang cinta
Karena
cinta hanya ada dalam hatimu
Hanya
engaku yang tahu
Ketika
cinta menjelma birahi
Birahi
bukanlah cinta.
Ia
adalah liang lahat menantimu setiap saat
Dalam
gelap dan remang malam.
Nining berkali-kali membaca
selembar puisi yang terselip dalam tasnya sejak SMP dulu. Kemudian Nining
menulis puisi itu kembali ketika pertama kali meladeni nafsu lelaki lain
setelah suaminya pergi entah kemana. Padahal ia sudah berada di kota yang jauh
dari keluarganya. Ia tak tahu jalan pulang.Baru seminggu di kota besar ini,
datanglah seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun. Lelaki itu mencari suami
Nining yang telah pergi entah kemana. Ia ditinggalkan di rumah kontrakan
sendirian.
Seminggu kemudian, ketika Nining
tak lagi punya uang, lelaki itu datang lagi. Kali ini ia lebih rapi. Tubuhnya
harum. Berbau farfum. Lelaki itu tersenyum menggoda. Katanya, suami Nining
berutang 10 juta rupiah kepada lelaki itu. Dan kini untuk membayarnya, suami
Nining menyerahkan Nining si perempuan cantik dari desa kepada lelaki berpantat
belang itu. Ah, Nining yang suka membaca puisi ketika di bangku SMP dulu itu
tak mampu bekutit.
Begitu pula hari ini. Ia kembali membaca puisi itu. Rangkaian kata
yang ditulis tangan itu bagaikan jimat bagi Nining.
Tapi tiba-tiba saja Nining gelisah. Gerah rasanya. Padahal baru
pukul 4 sore. Tidak biasanya gadis berkulit putih ini merasakan keadaan seperti
ini. Ia keluar rumah kostnya memandang ke langit. Barangkali saja mendung. Tapi
tidak juga. “Kenapa ya ?” gumam Nining tak jelas.
Harusnya perempuan cantik ini bahagia karena sebentar malam minggu.
Biasanya, hasil yang ia peroleh dari hasil menjual kenikmatan lumayan banyak.
Apalagi ia termasuk pekerja yang banyak digandrungi lelaki “pantat belang”.
Tapi karena gundah di hatinya membuatnya terus bertanya.
“Apakah ini firasat buruk ?” Tanya Nining lain yang bertahta di
balik dadanya. Ah, perempuan yang telah satu tahun menjajankan kenikmatan ini
tidak percaya firasat.
Dulu, ia bermimpi naik kerbau hitam. Kata orang pintar, itu pertanda
ia akan segera berbahagia karena memperoleh suami setia dan rezki melimpah.
Nyatanya, ia menikah dengan seorang lelaki brengsek. Sama brengseknya dengan I
La Galigo yang suka mempermainkan perempuan.
Mentari baru saja melambai. Mega merah temaran di bibir langit barat
selat Makassar telah memudar. Keperkasaan malam kini menjelma. Merasuki para
lelaki perindu kenikmatan. Lelaki yang menganggap perempuan adalah sampah.
Lelaki yang selau berdusta pada istri dan anaknya. Lelaki yang tak punya rasa
malu. Lelaki yang suka memaki pelacur disiang hari dan malamnya menebar rindu.
Lelaki yang selalu berbicara moralitas tinggi, berbicara ketentraman rumah
tangga. Berbicara proyek. Berbicara kebijakan dan regulasi.
“Puih !” entah kepada siap Nining melempar amarah.
Setiap ia hendak keluar rumah untuk bekerja air mata beningnya
selalu menetes. Baginya air mata itu adalah mantra. Mantra yang selalu ia
tasbihkan. Selalu dilakukannya. Ritual purba satu-satunya yang ia miliki ketika
ia ragu pada kekuatan doa.
Taxi meluncur membawa Nining yang keluar rumah tanpa jiwa. Karena
jiwanya ia tinggal di kamar kost. Tubuh Nining keluar tanpa cinta. Karena cinta
diluar selalu menjelma birahi. Padahal birahi bukanlah cinta. Hanya jiwa Nining
yang tahu tentang cinta sejati, tentang cinta yang luka, tentang cinta yang
dihianati.
Pukul 2 dinihari. Nining lepas
bukingan. Perjanjiannya memang hanya sampai jam 2. Nining letih, rasanya ia mau
pulang saja. Tapi ia harus menyerahkan setoran kepada bos yang juga berpantat
belang. Ia menuju ke Jl. Nusantara. Tapi ia baru masuk ke dalam sebuah tempat
hiburan malam, tiba-tiba banyak orang. Semuanya laki-laki. Ada petugas
keamanan, ada pejabat, ada anggota dewan—entah dewan dari mana—semua perempuan
yang hendak pulang ditangkap. Nining tak luput. Tingkah para lelaki kasar itu
persis malaikat bertanduk dan bertaring. Bagaimana tidak Nining tahu siap
mereka. Nining juga biasa bersama mereka.
“Tangkap mereka,” seru salah
seorang.
“ Ini semua yang merusak moralitas,”
teriak laki-laki yang lainnya lagi.
“ Itu satunya lagi, Tangkap,” teriak
yang lainnya sambil meneteskan air liur.
“ Itu ada satu lagi, jangan sampai
lolos,” teriak orang yang bertubuh besar dan gendut.
“Ini semua yang merusak citra kota,”
hardik lelaki yang agak hitam dan mengayungkan pentungan di tangannya.
“Puih !” Nining tiba-tiba meludah ke
tanah. Keras. Pandangannya diarahkan kepada lelaki yang mungkin pemimpin
pasukan malam itu.
“Kenapa kamu,” lelaki bermata merah
itu membentak Nining.
Nining tak bicara hanya matanya yang
menyalak. Persis menikam biji mata lelaki itu. Lelaki itu tertunduk tak mampu
menatap tatapan Nining yang menikam bagai badik berlekuk tuju.
“Puih !” meski diseret menuju ke
mobil, Nining masih sempat meludah lagi.
“Heh, kamu. Berhenti,” hardik
seorang petugas yang sedang mencari-cari muka kepada pimpinan pasukan malamnya.
Langkah Nining dihentikan. Kedua
lengan Nining dipegang erat.
“Kamu marah kalau ditangkap, ya ?
Makanya berhentilah berbuat begini. Kalian ini bisa merusak moralitas
masyarakat kita. Jadilah perempuan baik-baik,” kata lelaki itu berkotbah tapi
air liur menetes di sela bibirnya melihat tubuh Nining yang sintal.
“Aku mengenalmu. Aku juga mengenal
bos mu. Aku juga mengenal teman mu itu,” lelaki itu gelapan. Ia memandang
pasukannya sembari tertunduk.
“Hust, diam. Kamu ini bisa merusk
reputasi kami,” kata lelaki itu setengah berbisik.
“Ha…ha…ha,” Nining ngakak panjang
dan keras. Keras sekali sampai semua orang yang hadir memandang ke arahnya.
“Oe, Santi, Mita, Reni,” Nining
memanggil nama teman-temannya yang tentu saja nama-nama yang disamarkan. “Buka
kutangmu. Tunjukkan bahwa dia baru tidur bersama kamu kemarin. Ayo tunjuku
siapa yang sudah menggaulimu tapi tidak bayar. Ayo katakan siapa yang mau
memberi makan anakmu yang ditinggal pergi bapaknya. Ayo katakan siapa yang
memperkosamu, tapi ia malah dilepaskan karena ia anak bos. Ha..ha..ha,” Nining
seperti dirasuki dewi perang.
“Hai bapak-bapak, kami tidak pernah korupsi. Kami tidak pernah
mengambil uang rakyat. Kami tidak pernah menetapkan anggaran yang di mark up.
Kami tidak pernah menghisap darah masyarakat dengan alasan pajak. Kami tidak
pernah menggusur oranng miskin yang butuh makan. Kami tidak pernah mengajak
bapak bersetubuh dengan kami. Bapak yang tega berdusta pada istri bapak.
Berdusta pada anak Bapak. Kami tidak pernah berdusta kepada suami kami. Suami
kamilah yang berdusta pada kami,” Nining menghela napas dalam.
“Bagimana, kami pelacur terhormat, bukan” Kami pelacur suka membaca.
Kami tahu kelakuan burukmu. Insyaflah ! puih !” semua orang terdiam. Seperti
terhipnotis ceramah Nining. “Bagaimana, saya pelacur pintar, bukan ?” geram
Nining sembari mengencangkan gerahamnya.
Seorang petugas mendekati Nining. Tapi Nining tidak mengenal petugas
ini. Ia sepertinya orang baru. Ia meminta petugas melepaskan lengan Nining.
Jelas ia petugas baru. Karena ia pun tak mengenal Nining, padahal Nining sang
primadona pelacur.
“Maaf, siapa nama anda ?” Tanya petugas yang dari tadi tidak pernah
bersuara itu. Tidak pernah bicara. Tidak pernah memberi aba-aba penangkapan.
Tidak pernah tertawa. Tubuhnya tidak terlalu besar. Ia berpakain biasa. Nining
mengamati sekujur tubuh laki-laki itu.
“Maaf siapa nama, anda ?” tanya lelaki itu lagi.
Nining mendesah. “Apa arti sebuah nama. Panggil saja saya pelacur.”
Makassar,
27 Juni 2005
No comments:
Post a Comment