Wednesday, October 31, 2012

PANGGIL SAYA PELACUR



Syamsuddin Simmau

Rembulan bukanlah perlambang cinta
Karena cinta hanya ada dalam hatimu
Hanya engaku yang tahu
Ketika cinta menjelma birahi
Birahi bukanlah cinta.
Ia adalah liang lahat menantimu setiap saat
Dalam gelap dan remang malam.

            Nining berkali-kali membaca selembar puisi yang terselip dalam tasnya sejak SMP dulu. Kemudian Nining menulis puisi itu kembali ketika pertama kali meladeni nafsu lelaki lain setelah suaminya pergi entah kemana. Padahal ia sudah berada di kota yang jauh dari keluarganya. Ia tak tahu jalan pulang.Baru seminggu di kota besar ini, datanglah seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun. Lelaki itu mencari suami Nining yang telah pergi entah kemana. Ia ditinggalkan di rumah kontrakan sendirian.
         Seminggu kemudian, ketika Nining tak lagi punya uang, lelaki itu datang lagi. Kali ini ia lebih rapi. Tubuhnya harum. Berbau farfum. Lelaki itu tersenyum menggoda. Katanya, suami Nining berutang 10 juta rupiah kepada lelaki itu. Dan kini untuk membayarnya, suami Nining menyerahkan Nining si perempuan cantik dari desa kepada lelaki berpantat belang itu. Ah, Nining yang suka membaca puisi ketika di bangku SMP dulu itu tak mampu bekutit.
Begitu pula hari ini. Ia kembali membaca puisi itu. Rangkaian kata yang ditulis tangan itu bagaikan jimat bagi Nining.
Tapi tiba-tiba saja Nining gelisah. Gerah rasanya. Padahal baru pukul 4 sore. Tidak biasanya gadis berkulit putih ini merasakan keadaan seperti ini. Ia keluar rumah kostnya memandang ke langit. Barangkali saja mendung. Tapi tidak juga. “Kenapa ya ?” gumam Nining tak jelas.
Harusnya perempuan cantik ini bahagia karena sebentar malam minggu. Biasanya, hasil yang ia peroleh dari hasil menjual kenikmatan lumayan banyak. Apalagi ia termasuk pekerja yang banyak digandrungi lelaki “pantat belang”. Tapi karena gundah di hatinya membuatnya terus bertanya.
“Apakah ini firasat buruk ?” Tanya Nining lain yang bertahta di balik dadanya. Ah, perempuan yang telah satu tahun menjajankan kenikmatan ini tidak percaya firasat.
Dulu, ia bermimpi naik kerbau hitam. Kata orang pintar, itu pertanda ia akan segera berbahagia karena memperoleh suami setia dan rezki melimpah. Nyatanya, ia menikah dengan seorang lelaki brengsek. Sama brengseknya dengan I La Galigo yang suka mempermainkan perempuan.
Mentari baru saja melambai. Mega merah temaran di bibir langit barat selat Makassar telah memudar. Keperkasaan malam kini menjelma. Merasuki para lelaki perindu kenikmatan. Lelaki yang menganggap perempuan adalah sampah. Lelaki yang selau berdusta pada istri dan anaknya. Lelaki yang tak punya rasa malu. Lelaki yang suka memaki pelacur disiang hari dan malamnya menebar rindu. Lelaki yang selalu berbicara moralitas tinggi, berbicara ketentraman rumah tangga. Berbicara proyek. Berbicara kebijakan dan regulasi.
“Puih !” entah kepada siap Nining melempar amarah.
Setiap ia hendak keluar rumah untuk bekerja air mata beningnya selalu menetes. Baginya air mata itu adalah mantra. Mantra yang selalu ia tasbihkan. Selalu dilakukannya. Ritual purba satu-satunya yang ia miliki ketika ia ragu pada kekuatan doa.
Taxi meluncur membawa Nining yang keluar rumah tanpa jiwa. Karena jiwanya ia tinggal di kamar kost. Tubuh Nining keluar tanpa cinta. Karena cinta diluar selalu menjelma birahi. Padahal birahi bukanlah cinta. Hanya jiwa Nining yang tahu tentang cinta sejati, tentang cinta yang luka, tentang cinta yang dihianati.
            Pukul 2 dinihari. Nining lepas bukingan. Perjanjiannya memang hanya sampai jam 2. Nining letih, rasanya ia mau pulang saja. Tapi ia harus menyerahkan setoran kepada bos yang juga berpantat belang. Ia menuju ke Jl. Nusantara. Tapi ia baru masuk ke dalam sebuah tempat hiburan malam, tiba-tiba banyak orang. Semuanya laki-laki. Ada petugas keamanan, ada pejabat, ada anggota dewan—entah dewan dari mana—semua perempuan yang hendak pulang ditangkap. Nining tak luput. Tingkah para lelaki kasar itu persis malaikat bertanduk dan bertaring. Bagaimana tidak Nining tahu siap mereka. Nining juga biasa bersama mereka.
            “Tangkap mereka,” seru salah seorang.
            “ Ini semua yang merusak moralitas,” teriak laki-laki yang lainnya lagi.
            “ Itu satunya lagi, Tangkap,” teriak yang lainnya sambil meneteskan air liur.
            “ Itu ada satu lagi, jangan sampai lolos,” teriak orang yang bertubuh besar dan gendut.
            “Ini semua yang merusak citra kota,” hardik lelaki yang agak hitam dan mengayungkan pentungan di tangannya.
            “Puih !” Nining tiba-tiba meludah ke tanah. Keras. Pandangannya diarahkan kepada lelaki yang mungkin pemimpin pasukan malam itu.
            “Kenapa kamu,” lelaki bermata merah itu membentak Nining.
            Nining tak bicara hanya matanya yang menyalak. Persis menikam biji mata lelaki itu. Lelaki itu tertunduk tak mampu menatap tatapan Nining yang menikam bagai badik berlekuk tuju.
            “Puih !” meski diseret menuju ke mobil, Nining masih sempat meludah lagi.
            “Heh, kamu. Berhenti,” hardik seorang petugas yang sedang mencari-cari muka kepada pimpinan pasukan malamnya.
            Langkah Nining dihentikan. Kedua lengan Nining dipegang erat.
            “Kamu marah kalau ditangkap, ya ? Makanya berhentilah berbuat begini. Kalian ini bisa merusak moralitas masyarakat kita. Jadilah perempuan baik-baik,” kata lelaki itu berkotbah tapi air liur menetes di sela bibirnya melihat tubuh Nining yang sintal.
            “Aku mengenalmu. Aku juga mengenal bos mu. Aku juga mengenal teman mu itu,” lelaki itu gelapan. Ia memandang pasukannya sembari tertunduk.
            “Hust, diam. Kamu ini bisa merusk reputasi kami,” kata lelaki itu setengah berbisik.
            “Ha…ha…ha,” Nining ngakak panjang dan keras. Keras sekali sampai semua orang yang hadir memandang ke arahnya.
            “Oe, Santi, Mita, Reni,” Nining memanggil nama teman-temannya yang tentu saja nama-nama yang disamarkan. “Buka kutangmu. Tunjukkan bahwa dia baru tidur bersama kamu kemarin. Ayo tunjuku siapa yang sudah menggaulimu tapi tidak bayar. Ayo katakan siapa yang mau memberi makan anakmu yang ditinggal pergi bapaknya. Ayo katakan siapa yang memperkosamu, tapi ia malah dilepaskan karena ia anak bos. Ha..ha..ha,” Nining seperti dirasuki dewi perang.
“Hai bapak-bapak, kami tidak pernah korupsi. Kami tidak pernah mengambil uang rakyat. Kami tidak pernah menetapkan anggaran yang di mark up. Kami tidak pernah menghisap darah masyarakat dengan alasan pajak. Kami tidak pernah menggusur oranng miskin yang butuh makan. Kami tidak pernah mengajak bapak bersetubuh dengan kami. Bapak yang tega berdusta pada istri bapak. Berdusta pada anak Bapak. Kami tidak pernah berdusta kepada suami kami. Suami kamilah yang berdusta pada kami,” Nining menghela napas dalam.
“Bagimana, kami pelacur terhormat, bukan” Kami pelacur suka membaca. Kami tahu kelakuan burukmu. Insyaflah ! puih !” semua orang terdiam. Seperti terhipnotis ceramah Nining. “Bagaimana, saya pelacur pintar, bukan ?” geram Nining sembari mengencangkan gerahamnya.
Seorang petugas mendekati Nining. Tapi Nining tidak mengenal petugas ini. Ia sepertinya orang baru. Ia meminta petugas melepaskan lengan Nining. Jelas ia petugas baru. Karena ia pun tak mengenal Nining, padahal Nining sang primadona pelacur.
“Maaf, siapa nama anda ?” Tanya petugas yang dari tadi tidak pernah bersuara itu. Tidak pernah bicara. Tidak pernah memberi aba-aba penangkapan. Tidak pernah tertawa. Tubuhnya tidak terlalu besar. Ia berpakain biasa. Nining mengamati sekujur tubuh laki-laki itu.
“Maaf siapa nama, anda ?” tanya lelaki itu lagi.
Nining mendesah. “Apa arti sebuah nama. Panggil saja saya pelacur.”

Makassar, 27 Juni 2005

No comments: