Tuesday, October 30, 2012

KEBAJIKAN LOKAL MAKASSAR

(Sebuah Perspektif Kontemporer)

Syamsuddin Simmau
 
Adapun pangkal suatu perbuatan baik itu ada lima macam: 1) Jika hendak melakukan sesuatu, pikirkanlah masak-masak akan kesudahan perbuatan itu;2) Jangan marah kalau diperingati; 3) Takutlah kepada orang jujur; 4) Janganlah lekas mempercayai sesuatu kabar tapi jangan pula lekas mendustakannya; 5) Bila sudah marah betul barulah mengadakan permusuhan.
(Nasehat Raja Tallo-Mangkubumi Kerajaan Gowa,
Sultan Abdullah Awalul Islam kepada putranya, Karaeng Pattingalloang,
dalam Mangemba, 1956:79)
  


A.      Menuju Manusia Berdaya

Sebagai awalan, ada baiknya menyimak pernyataan Freire  sebagai berikut:
Kebebasan harus diraih lewat penaklukan, bukan sebagai hadiah; kebebasan harus direbut, bukan diterima sebagai anugrah. Kebebasan harus terus menerus dikejar secara bertanggung jawab. Kebebasan bukanlah suatu cita-cita yang letaknya di luar manusia; bukan pula sepotong gagasan yang menjadi mitos. Kebebasan lebih merupakan syarat yang tak bisa ditawar-tawar lagi agar manusia dapat memulai perjuangan untuk menjadi manusia utuh (Paulo Freire, terjemahan, 2009:434 ).

Pernyataan Freire di atas merupakan sebuah jalan menuju manusia berdaya. Keberdayaan hanya bisa dicapai jika manusia merdeka; merdeka dari penindasan diri sendiri, pikiran-pikiran, dogma, doksa, dan apalagi penindasan material dalam wujud kekuasaan. Kemerdekaan membawa manusia pada kondisi berdaya; dimana berdaya berarti memiliki kedasaran puncak yang lahir dari pikiran-pikiran puncak, diejawantahkan dalam aksi sosial, direfleksikan sebagai kontrol atas aksi dalam bingkai evolusi menuju manusia yang utuh.
Diri (self) manusia menurut George Herbert Mead dalam Veeger (1986: 224) terdiri dari ‘I‘ dan ‘me’. I merupakan wujud ketunggalan, ia mewakili individualitas seseorang, bersifat spontan dan rasional. Sementara me adalah diri sosial yang mencakup semua sikap, symbol norma, dan pengharapan masyarakat yang telah dibatinkan individu dan dipakai oleh individu tersebut dalam menentukan kelakuannya.
Dengan demikian, konsep manusia utuh secara sosiologis merupakan adalah intergrasi nonpartial antara I dan me menuju kemerdekaan keberdayaan diri untuk mencapai keutuhan diri. Integrasi I dan me tersebut tidaklah terjadi secara spontan tapi ia merupakan proses pembentukan realitas baru yang melalui proses reflektif atas interaksi yang terjadi.
Dalam hal ini, terjadinya realitas baru menurut Peter L. Berger dalam Poloma (2010:302) melalui proses dialektis objektifasi, internalisasi dan eksternalisasi. Proses dialektis tersebut melahirkan realitas sosial baru sebagai manifestasi dari reaksi aktor terhadap struktur. Secara sederhana dapat dilihat sebagai berikut:


 
                 Pemikiran di atas menunjukkan bahwa proses evolusi memang terus berjalan. Realitas sosial dan cultural secara paralel juga berlangsung. Teori Thomas Khun dalam Ritzer dan Goodman (2010: A-12) menggambarkan sebuah proses perubahan ilmu pengetahuan yang besar sebagaimana ilustrasi berikut:



 

                 Rupanya teori Khun ini tidak hanya berlaku bagi proses ilmu pengetahuan tapi juga terjadi dalam realitas sosial dimana terdapat sebuah realitas sosial dengan segala macam struktur dan perangkat sosial di dalamnya berdasarkan tatanan socio-cultural (sosiokultural) yang mapan (normal) kemudian terjadi anomali dari proses dialektis sebagaimana dikemukakan Berger, selanjutnya terjadi krisis, kemudian berlanjut pada aksi revolusi, dan lahirlah realitas baru dengan segala tatanan sosiokulturalnya.
Meski demikian, paradigma evolusionisme tersebut dipandang tidak lagi memadai untuk memaknai realitas. Sudah saatnya realitas (semesta, termasuk realita sosiokultural, penulis) dalam pandangan newscience, dipandang sebagai sebuah kesatuan semesta. Oleh karenanya, ia tidak bisa lagi dipandang secara parsial tapi dipandang dalam wujud interkonekasitas.  Wujud interkoneksitas inilah yang disebut tatanan (Amien, 2005:172).
Deskripsi pemikiran terdahulu memberikan pandangan bahwa masyarakat telah mengalami perubahan yang besar baik dari sudut pandang positifisme maupun dari sudut pandang new science yang menekankan tatanan sebagai sebuah kesatuan semesta. Dalam perssektif new science tidak terdapat batas yang tegas antartatanan. Karena setiap tatanana mengalami interkoneksitas satu sama lain yang mewujud menjadi tatananan yang lebih besar (semesta).
Berdasar dari beberapa pemikiran di atas maka manusia berdaya sesungguhnya adalah manusia  merdeka yang mampu melakukan adaptasi kreatif terhadap setiap perubahan sosial menurut nilai-nilai yang diyakinya untuk menyeleraskan diri dalam keberlangsungan hidup sebuah tatanan.
Pandangan penulis bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan, sebagaimana pemikiran Sztompka (2010). Dalam hal ini, bukanlah perubahan yang menjadi masalah, bukan pula dengan bentuk-bentuk perubahan, bahkan bukan pula apa yang terjadi di masa depan setelah terjadi perubahan, namun yang penting adalah apa yang menjadi bekal yang menyertai sebuah tatanan menuju masa depan. Bekal inilah yang sesungguhnya yang dimaksud oleh Amien (2005) dengan spirit zaman. 
                 Konsep manusia berdaya menjadi pokok pikiran penting dalam diskursus sosiokultural. Dalam hal ini, etnis Makassar merupakan sebuah tatanan yang didalamnya terdapat bekal spirit zaman yang mengantarnya bertahan sampai saat ini setelah melalui proses perubahan. Bagi penulis, spirit zaman senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar. Meski demikian diakui bahwa setiap nilai akan secara otomatis mengalami perubahan bentuk, mungkin dalam bentuk implementasi tapi tidak dalam bentuk nilai filosofisnya. Dengan demikian,     etnis Makassar sebagai sebuah tatanan yang masih eksis hingga saat ini dalam tatanan semesta jelas memiliki nilai-nilai filosofis yang patut diperhatikan sebagai bagian integral spirit zaman saat ini.

B.       Beberapa Nilai Filosofis Etnik Makassar
Sebelum menyajikan deskripsi lebih jauh, ada baiknya diperhatikan etnik Bugis-Makassar. Dua kata Bugis dan Makassar cenderung dipandang satu oleh berbagai ilmuan, sebut misalnya; Mattulada, Zainal Abidin, dan Abu Hamid. Menurut Pelras (2006:16) Bugis-Bugis Makassar sebagai etnik sulit dibedakan karena kedua etnik ini memiliki kesamaan-kesamaan umum dalam kebudayaan. Yang berbeda hanya bahasa mereka saja.
Meski demikian, penulis memandang bahwa meskipun kedua etnis Bugis dan Makassar merupakan etniks serumpun yang sangat mirik tapi jelas ia berbeda. Bukankan bahasa menunjukkan suku bangsa ? Mari kita lihat beberapa nilai filosofis yang menjadi spirit zaman etnik Makassar yang menurut hemat penulis masih bertahan hingga kini.

             1.      Siri’ (kadang ditulis sirik)
Menurut Zainal Abidin, Andaya, sejarawan Amerika yang pandai berbahasa Bugis dan membaca Lontarak yang mulamenemukan konsep Sirik dan Pacce, yang lebih luas pandangannya, tetapi belum lengkap, menyatakan antara lain sebagai berikut: 
Istilah siri berisi berisi makna yang nampaknya saling bertentangan yaitu self-esteem atau self respect (penghargaan diri atau rasa hormat terhadap orang lain)…Suatu situasi sirik (maksudnya situasi penodaan siri, penulis) terjadi jika seorang individu merasa bahwa kedudukan atau prestige sosialnya di dalam masyarakat atau rasa harga dirinya atau kegunaannya telah dinodai oleh seseorang di depan umum. Ia juga terjadi bila seseorang telah dituduh telah melakukan sesuatu yang tercela secara keliru dan todak adil, sedangkan ia tidak pernah melakukannya. Di dalam masyarakat ini, rasa keadilan timbul serta merta dan sangat hebat. Walaupun orang Bugis-Makassar akan menerima tanpa perlawanan perlakuan kejam jika ia merasa dan yakin bahwa ia bersalah, akan tetapi sebaliknya memberikan reaksi keras dan sangat hebat terhadap perlakuan demikian jikalau ia merasa dan yakin bahwa ia di pihak yang benar, dank arena itu direndahkan martabat secara pribadi dan secara sosial. Sekali seorang telah dinodai siriknya maka ia oleh masyarakat dituntut untukmengambil langkah-langkah guna memulihkan siriknya (harkat, martabat dan harga dirinya) sesuai pandangannya dan penilaian masyarakat. Masyarakat menghendaki seseorang yangtelah dinodai harkat dan martabatnya untuk menindak si pelanggar (orang yang menodai) oleh karena menurut masyarakat bahwa lebih baik mati dalam mempertahankan dan menegakkan harkat dan martabatnya (mate ri siri’na) dari pada hidup tanpa siri (mate siri). Seseorang yang dibunuh siriknya (mate sirik) yang tida berbuat apa-apa untuk memuihkannya dipandang hina sekali dan menjijikkan dan dianggap tidak berguna sama sekali terhadap masyarakat….Dua aspek sirik (aib dan harga diri) selalu harus diseimbangkan satu sama lain. Dengan mempertahankan keseimbangan itu, maka seseorang dipandang tetap sebagai individu yang utuh dan sempurna (1999: 201).

            Konsep siri’ inilah yang menjadi hulu nilai-nilai folosofis etnis Makassar hingga saat ini.  
 
2.      Pacce
Pacce merupakan unsure siri’ yang paling penting. Menurut Andaya dalam Zainal Abidin (1999:201), pacce digambarkan sebagai berikut:

Dalam percakapan sehari-hari pacce/pesse berarti ‘to smart’ atau gegabah, cerdas,pintar, cepat, sakit, jengkel dan poignant atau pedih, perih, dan pedas. Akan tetapi ia menggambarkan emosi yang halus dan mendalam lebih daripada pengertian harfiahnya, sebagai terbenih dalam ungkapan Makassar: Ikambe Mangkasaraka, punna tasirik pacceseng nipabbulosibatangang.

Artinya: Jika buka sirik yang membuat kami orang-orang Makassar satu, maka itulah pacce.

Menurut Andaya, bahwa pacce/pesse dan sirik adalah dwi-konsep yang menjadi cirri individu Bugis-Makassar, mempertahankan keseimbangan antara aib dan harga diri sebagai diartikan oleh sirik, dan memelihara rasa kebersamaan dalam kedudukan dan penderitaan setiap anggota masyarakatnya sebagai ditegaskan di dalam gagasan pacce/pesse sangat diharapkan dari seorang Bugis-Makassar…Ikatan antara mereka menjadi diperkuat dan solidaritas atau kebersamaan kelompok akan dipertahankan.

3.      Lambusu (jujur)
Raja Tallo, Karaeng Matuaya yang bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam kepada putranya, Karaeng Pattingalloang dalam Mangemba, (1956:79) menekankan betapa pentingnya kejujuran bagi orang Makassar. Karaeng Matuaya berpesan agar Karaeng Pattingalloang takut kepada orang yang “jujur”.

4.      Reso (etos)
Reso atau etos bagi orang Makassar merupakan nilai yang masih eksis hingga saat ini. Reso dapat kita lihat dalam ungkapan:
 Takunjunga’ bunging turu’
Nakunciri’ gulingku,
Kualleanna,
Tallanga natoalia”
Artinya secara bebas, saya tidak begitu saja mengikuti arah angin dan tidak begitu saja memutar kemudi, saya lebih suka tenggelam dari pada kembali (Mangemba, 1956:12).
 
5.      Kacaraddekang (kecerdasan)
Sani (2005: 21) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kepandaian atau kecerdasan yang melebihi kecerdasan orang lain biasanya menempati kedudukan sosial yang terpandang. Karena itu, kacaraddekang menjadi syarat bagi seorang pemimpin orang Makassar.

6.      Kabaraniang (keberanian)
Keberanian, merupakan nilai yang hingga kini masih dipegang teguh oleh orang Makassar. Hal ini dapat dilihat dari keberanian orang Makassar dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang beresiko tinggi. Sejak zaman dahulu, para panglima perang dan prajurit Makassar dikenal sangat berani berperang. Mereka rela mati demi membela kebenaran yang diyakininya. Peninggal sejarah berupa bunging baranian (sumur berani), mengandung makna sumur tempat para prajurit dimandikan. Menurut Sani, selain kacaraddekang, kabaraniang juga menjadi syarat pemimpin orang Makassar.

7.      Kakalumanynyangang (kedemawanan)
Bagi orang Makassar, kedermawanan menjadi ukuran seseorang apakah orang itu baik atau buruk. Jika ia dermawan orang itu dianggap baik. Hanya saja, memang landasan nilai ini seringkali dimanfaatkan oleh orang tertentu untuk menjadi “patron”bagi orang Makassar lainnya. Kakalumanynyangan inilah menjadi dasar solidaritas orang Makassar yang begitu kuat.

   C.     Analisis
Demikianlah beberapa nilai filosofis yang menurut hemat penulis masih dapat dijumpai hingga saat ini meskipun telah mengalami banyak benturan dengan nilai-nilai lain, realitas sosial sosial lain dan paradigm nilai-nilai baru yang lain. Hanya saja, sebagai sebuah spirit zaman, nilai-nilai folosofis orang Makassar tersebut tentu juga mengalami perubahan dalam bentuk implementasi dalam kehidupan sosiokultural orang Makassar. Hanya saja, nilai-nilai luhur kita telah mewujudk dalam realitas baru. Realitas nilai-nilai folosif ini yang telah mengalami benturan dan tafsir yang cenderung sectarian, etnisitas, komunal. Sehingga perlu dilakukan transformasi cultural. Sayangnya, kita tidak punya panutan yang konsisten, teguh/gigih (getteng) dalam menjadikan nilai-nilai budaya kita sebagai perilaku keseharian.
Transformasi nilai-nilai siri’, pacce, kacaraddekang, lambusu’, kabaraniang, kakalumannyangang dan reso perlu segera dilakukan kea rah yang tidak bersifat sectarian, etnisitas, dan komunal semata. Nilai-nilai tersebut mendesak untuk ditransformasi dalam wujud objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi (Berger) yang bermuara pada perwujudan kehidupan sosial yang dinamis tapi mallebiri, barani tapi cara’de’ (nilai kebijaksanaan), dan kritis (sipakainga’), dan barani tapi tidak puji ale.
Untuk mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dibutuhkan agen organic (pemimpin sosial) yang malabbiri’, lambusu, cara’dek, barani dalam bingaki siri na pacce. Kita butuh pemimpin sosial dalam setiap strata dan lembaga sosial kita.
Sebagai tawaran, perlu dilakukan penelitian komprehensif untuk mencari tahu lebih dalam nilai-nilai Makassar apa yang kini masih bertahan dan dipegang kuat oleh masyarakat Makassar dalam kehidupan kesejarian mereka. Semoga catatan, singkat ini dapat menjadi pengantar diskusi untuk melahirkan spirit zaman yang lebih kokoh dan kuat untuk menjadi bagian integral dari interkoneksitas tatanan lainnya.


DAFTAR BACAAN

Abidin, Andi Zainal, Prof. Mr. 1999. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan Makassar: Hasanuddin University Press.

 Abidin, Andi Zainal, Prof. Mr. 1999. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan Makassar: Hasanuddin University Press.

Berger, Peter L. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan. Jakarta: LP3ES.

Amien, A. Mappadjantji, 2005. Kemandirian Lokal Konsepsi Pembangunan,Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Freire, Paulo, 1999. Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Freire, Paulo, Ivan Illich, Erich From dkk, 2009. Menggungat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarks. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mangemba, H.D, 1956. Kenallah Sulawesi Selatan. Djakarta: Timun Mas.

Mattulada, H.A.Prof.Dr. 1991 Menyusuri Jejak Makassar dalam Sejarah (1510-1700). Makassar: Hasanuddin University Press.

Pelras, Cristian, 2006. Manusia Bugis (terjemahan). Jakarta: Nalar Forum Jakarta-Paris Ecole Francaise d’Extreme-Orient.

Poloma, Margaret M, 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas,J. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.

Sani, Yamin, M. 2005: Manusia, Kebudayaan, dan Pembangunan di Sulawesi Selatan. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Selatan.

Sztompka, Piotr, 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Veeger,K.J. 1995. Realitas Sosial. Jakarta: PT. Gramedia.

No comments: