(Sebuah Perspektif Kontemporer)
Syamsuddin Simmau
Adapun
pangkal suatu perbuatan baik itu ada lima macam: 1) Jika hendak
melakukan sesuatu, pikirkanlah masak-masak akan kesudahan perbuatan
itu;2) Jangan marah kalau diperingati; 3) Takutlah kepada orang jujur;
4) Janganlah lekas mempercayai sesuatu kabar tapi jangan pula lekas
mendustakannya; 5) Bila sudah marah betul barulah mengadakan permusuhan.
(Nasehat Raja Tallo-Mangkubumi Kerajaan Gowa,
Sultan Abdullah Awalul Islam kepada putranya, Karaeng Pattingalloang,
dalam Mangemba, 1956:79)
A. Menuju Manusia Berdaya
Sebagai awalan, ada baiknya menyimak pernyataan Freire sebagai berikut:
Kebebasan
harus diraih lewat penaklukan, bukan sebagai hadiah; kebebasan harus
direbut, bukan diterima sebagai anugrah. Kebebasan harus terus menerus
dikejar secara bertanggung jawab. Kebebasan bukanlah suatu cita-cita
yang letaknya di luar manusia; bukan pula sepotong gagasan yang menjadi
mitos. Kebebasan lebih merupakan syarat yang tak bisa ditawar-tawar lagi
agar manusia dapat memulai perjuangan untuk menjadi manusia utuh (Paulo
Freire, terjemahan, 2009:434 ).
Pernyataan
Freire di atas merupakan sebuah jalan menuju manusia berdaya.
Keberdayaan hanya bisa dicapai jika manusia merdeka; merdeka dari
penindasan diri sendiri, pikiran-pikiran, dogma, doksa, dan apalagi
penindasan material dalam wujud kekuasaan. Kemerdekaan membawa manusia
pada kondisi berdaya; dimana berdaya berarti memiliki kedasaran puncak
yang lahir dari pikiran-pikiran puncak, diejawantahkan dalam aksi
sosial, direfleksikan sebagai kontrol atas aksi dalam bingkai evolusi
menuju manusia yang utuh.
Diri (self) manusia menurut George Herbert Mead dalam Veeger (1986: 224) terdiri dari ‘I‘ dan ‘me’. I merupakan wujud ketunggalan, ia mewakili individualitas seseorang, bersifat spontan dan rasional. Sementara me
adalah diri sosial yang mencakup semua sikap, symbol norma, dan
pengharapan masyarakat yang telah dibatinkan individu dan dipakai oleh
individu tersebut dalam menentukan kelakuannya.
Dengan demikian, konsep manusia utuh secara sosiologis merupakan adalah intergrasi nonpartial antara I dan me menuju kemerdekaan keberdayaan diri untuk mencapai keutuhan diri. Integrasi I dan me tersebut
tidaklah terjadi secara spontan tapi ia merupakan proses pembentukan
realitas baru yang melalui proses reflektif atas interaksi yang terjadi.
Dalam hal ini, terjadinya realitas baru menurut Peter L. Berger dalam Poloma (2010:302) melalui proses dialektis objektifasi, internalisasi dan eksternalisasi.
Proses dialektis tersebut melahirkan realitas sosial baru sebagai
manifestasi dari reaksi aktor terhadap struktur. Secara sederhana dapat
dilihat sebagai berikut:
Pemikiran
di atas menunjukkan bahwa proses evolusi memang terus berjalan.
Realitas sosial dan cultural secara paralel juga berlangsung. Teori
Thomas Khun dalam Ritzer dan Goodman (2010: A-12) menggambarkan sebuah
proses perubahan ilmu pengetahuan yang besar sebagaimana ilustrasi
berikut:
Rupanya
teori Khun ini tidak hanya berlaku bagi proses ilmu pengetahuan tapi
juga terjadi dalam realitas sosial dimana terdapat sebuah realitas
sosial dengan segala macam struktur dan perangkat sosial di dalamnya
berdasarkan tatanan socio-cultural
(sosiokultural) yang mapan (normal) kemudian terjadi anomali dari
proses dialektis sebagaimana dikemukakan Berger, selanjutnya terjadi
krisis, kemudian berlanjut pada aksi revolusi, dan lahirlah realitas
baru dengan segala tatanan sosiokulturalnya.
Meski
demikian, paradigma evolusionisme tersebut dipandang tidak lagi memadai
untuk memaknai realitas. Sudah saatnya realitas (semesta, termasuk
realita sosiokultural, penulis) dalam pandangan newscience, dipandang
sebagai sebuah kesatuan semesta. Oleh karenanya, ia tidak bisa lagi
dipandang secara parsial tapi dipandang dalam wujud interkonekasitas. Wujud interkoneksitas inilah yang disebut tatanan (Amien, 2005:172).
Deskripsi
pemikiran terdahulu memberikan pandangan bahwa masyarakat telah
mengalami perubahan yang besar baik dari sudut pandang positifisme
maupun dari sudut pandang new science yang menekankan tatanan sebagai sebuah kesatuan semesta. Dalam perssektif new science
tidak terdapat batas yang tegas antartatanan. Karena setiap tatanana
mengalami interkoneksitas satu sama lain yang mewujud menjadi tatananan
yang lebih besar (semesta).
Berdasar dari beberapa pemikiran di atas maka manusia berdaya sesungguhnya adalah manusia merdeka
yang mampu melakukan adaptasi kreatif terhadap setiap perubahan sosial
menurut nilai-nilai yang diyakinya untuk menyeleraskan diri dalam
keberlangsungan hidup sebuah tatanan.
Pandangan
penulis bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan, sebagaimana
pemikiran Sztompka (2010). Dalam hal ini, bukanlah perubahan yang
menjadi masalah, bukan pula dengan bentuk-bentuk perubahan, bahkan bukan
pula apa yang terjadi di masa depan setelah terjadi perubahan, namun
yang penting adalah apa yang menjadi bekal yang menyertai sebuah tatanan
menuju masa depan. Bekal inilah yang sesungguhnya yang dimaksud oleh
Amien (2005) dengan spirit zaman.
Konsep
manusia berdaya menjadi pokok pikiran penting dalam diskursus
sosiokultural. Dalam hal ini, etnis Makassar merupakan sebuah tatanan
yang didalamnya terdapat bekal spirit zaman yang mengantarnya bertahan
sampai saat ini setelah melalui proses perubahan. Bagi penulis, spirit
zaman senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar. Meski demikian diakui
bahwa setiap nilai akan secara otomatis mengalami perubahan bentuk,
mungkin dalam bentuk implementasi tapi tidak dalam bentuk nilai
filosofisnya. Dengan demikian, etnis
Makassar sebagai sebuah tatanan yang masih eksis hingga saat ini dalam
tatanan semesta jelas memiliki nilai-nilai filosofis yang patut
diperhatikan sebagai bagian integral spirit zaman saat ini.
B. Beberapa Nilai Filosofis Etnik Makassar
Sebelum
menyajikan deskripsi lebih jauh, ada baiknya diperhatikan etnik
Bugis-Makassar. Dua kata Bugis dan Makassar cenderung dipandang satu
oleh berbagai ilmuan, sebut misalnya; Mattulada, Zainal Abidin, dan Abu
Hamid. Menurut Pelras (2006:16) Bugis-Bugis Makassar sebagai etnik sulit
dibedakan karena kedua etnik ini memiliki kesamaan-kesamaan umum dalam
kebudayaan. Yang berbeda hanya bahasa mereka saja.
Meski
demikian, penulis memandang bahwa meskipun kedua etnis Bugis dan
Makassar merupakan etniks serumpun yang sangat mirik tapi jelas ia
berbeda. Bukankan bahasa menunjukkan suku bangsa ? Mari kita lihat
beberapa nilai filosofis yang menjadi spirit zaman etnik Makassar yang
menurut hemat penulis masih bertahan hingga kini.
1. Siri’ (kadang ditulis sirik)
Menurut Zainal Abidin, Andaya, sejarawan Amerika yang pandai berbahasa Bugis dan membaca Lontarak yang mulamenemukan konsep Sirik dan Pacce, yang lebih luas pandangannya, tetapi belum lengkap, menyatakan antara lain sebagai berikut:
Istilah siri berisi berisi makna yang nampaknya saling bertentangan yaitu self-esteem atau self respect (penghargaan diri atau rasa hormat terhadap orang lain)…Suatu situasi sirik (maksudnya situasi penodaan siri, penulis) terjadi jika seorang individu merasa bahwa kedudukan atau prestige
sosialnya di dalam masyarakat atau rasa harga dirinya atau kegunaannya
telah dinodai oleh seseorang di depan umum. Ia juga terjadi bila
seseorang telah dituduh telah melakukan sesuatu yang tercela secara
keliru dan todak adil, sedangkan ia tidak pernah melakukannya. Di dalam
masyarakat ini, rasa keadilan timbul serta merta dan sangat hebat.
Walaupun orang Bugis-Makassar akan menerima tanpa perlawanan perlakuan
kejam jika ia merasa dan yakin bahwa ia bersalah, akan tetapi sebaliknya
memberikan reaksi keras dan sangat hebat terhadap perlakuan demikian
jikalau ia merasa dan yakin bahwa ia di pihak yang benar, dank arena itu
direndahkan martabat secara pribadi dan secara sosial. Sekali seorang
telah dinodai siriknya maka ia oleh masyarakat dituntut untukmengambil
langkah-langkah guna memulihkan siriknya (harkat, martabat dan harga
dirinya) sesuai pandangannya dan penilaian masyarakat. Masyarakat
menghendaki seseorang yangtelah dinodai harkat dan martabatnya untuk
menindak si pelanggar (orang yang menodai) oleh karena menurut
masyarakat bahwa lebih baik mati dalam mempertahankan dan menegakkan
harkat dan martabatnya (mate ri siri’na) dari pada hidup tanpa siri (mate siri). Seseorang yang dibunuh siriknya (mate sirik)
yang tida berbuat apa-apa untuk memuihkannya dipandang hina sekali dan
menjijikkan dan dianggap tidak berguna sama sekali terhadap
masyarakat….Dua aspek sirik (aib dan harga diri) selalu harus
diseimbangkan satu sama lain. Dengan mempertahankan keseimbangan itu,
maka seseorang dipandang tetap sebagai individu yang utuh dan sempurna
(1999: 201).
Konsep siri’ inilah yang menjadi hulu nilai-nilai folosofis etnis Makassar hingga saat ini.
2. Pacce
Pacce merupakan unsure siri’ yang paling penting. Menurut Andaya dalam Zainal Abidin (1999:201), pacce digambarkan sebagai berikut:
Dalam percakapan sehari-hari pacce/pesse berarti ‘to smart’ atau gegabah, cerdas,pintar, cepat, sakit, jengkel dan poignant atau
pedih, perih, dan pedas. Akan tetapi ia menggambarkan emosi yang halus
dan mendalam lebih daripada pengertian harfiahnya, sebagai terbenih
dalam ungkapan Makassar: Ikambe Mangkasaraka, punna tasirik pacceseng nipabbulosibatangang.
Artinya: Jika buka sirik yang membuat kami orang-orang Makassar satu, maka itulah pacce.
Menurut Andaya, bahwa pacce/pesse dan sirik
adalah dwi-konsep yang menjadi cirri individu Bugis-Makassar,
mempertahankan keseimbangan antara aib dan harga diri sebagai diartikan
oleh sirik, dan memelihara
rasa kebersamaan dalam kedudukan dan penderitaan setiap anggota
masyarakatnya sebagai ditegaskan di dalam gagasan pacce/pesse sangat
diharapkan dari seorang Bugis-Makassar…Ikatan antara mereka menjadi
diperkuat dan solidaritas atau kebersamaan kelompok akan dipertahankan.
3. Lambusu (jujur)
Raja Tallo, Karaeng Matuaya
yang bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam kepada putranya, Karaeng
Pattingalloang dalam Mangemba, (1956:79) menekankan betapa pentingnya
kejujuran bagi orang Makassar. Karaeng Matuaya berpesan agar Karaeng Pattingalloang takut kepada orang yang “jujur”.
4. Reso (etos)
Reso atau etos bagi orang Makassar merupakan nilai yang masih eksis hingga saat ini. Reso dapat kita lihat dalam ungkapan:
“Takunjunga’ bunging turu’
Nakunciri’ gulingku,
Kualleanna,
Tallanga natoalia”
Artinya
secara bebas, saya tidak begitu saja mengikuti arah angin dan tidak
begitu saja memutar kemudi, saya lebih suka tenggelam dari pada kembali (Mangemba, 1956:12).
5. Kacaraddekang (kecerdasan)
Sani
(2005: 21) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kepandaian atau
kecerdasan yang melebihi kecerdasan orang lain biasanya menempati
kedudukan sosial yang terpandang. Karena itu, kacaraddekang menjadi syarat bagi seorang pemimpin orang Makassar.
6. Kabaraniang (keberanian)
Keberanian,
merupakan nilai yang hingga kini masih dipegang teguh oleh orang
Makassar. Hal ini dapat dilihat dari keberanian orang Makassar dalam
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang beresiko tinggi. Sejak zaman dahulu,
para panglima perang dan prajurit Makassar dikenal sangat berani
berperang. Mereka rela mati demi membela kebenaran yang diyakininya.
Peninggal sejarah berupa bunging baranian (sumur berani), mengandung makna sumur tempat para prajurit dimandikan. Menurut Sani, selain kacaraddekang, kabaraniang juga menjadi syarat pemimpin orang Makassar.
7. Kakalumanynyangang (kedemawanan)
Bagi
orang Makassar, kedermawanan menjadi ukuran seseorang apakah orang itu
baik atau buruk. Jika ia dermawan orang itu dianggap baik. Hanya saja,
memang landasan nilai ini seringkali dimanfaatkan oleh orang tertentu
untuk menjadi “patron”bagi orang Makassar lainnya. Kakalumanynyangan inilah menjadi dasar solidaritas orang Makassar yang begitu kuat.
C. Analisis
Demikianlah
beberapa nilai filosofis yang menurut hemat penulis masih dapat
dijumpai hingga saat ini meskipun telah mengalami banyak benturan dengan
nilai-nilai lain, realitas sosial sosial lain dan paradigm nilai-nilai
baru yang lain. Hanya saja, sebagai sebuah spirit zaman, nilai-nilai
folosofis orang Makassar tersebut tentu juga mengalami perubahan dalam
bentuk implementasi dalam kehidupan sosiokultural orang Makassar. Hanya
saja, nilai-nilai luhur kita telah mewujudk dalam realitas baru.
Realitas nilai-nilai folosif ini yang telah mengalami benturan dan
tafsir yang cenderung sectarian, etnisitas, komunal. Sehingga perlu dilakukan transformasi cultural. Sayangnya, kita tidak punya panutan yang konsisten, teguh/gigih (getteng) dalam menjadikan nilai-nilai budaya kita sebagai perilaku keseharian.
Transformasi nilai-nilai siri’, pacce, kacaraddekang, lambusu’, kabaraniang, kakalumannyangang dan reso
perlu segera dilakukan kea rah yang tidak bersifat sectarian,
etnisitas, dan komunal semata. Nilai-nilai tersebut mendesak untuk
ditransformasi dalam wujud objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi
(Berger) yang bermuara pada perwujudan kehidupan sosial yang dinamis
tapi mallebiri, barani tapi cara’de’ (nilai kebijaksanaan), dan kritis (sipakainga’), dan barani tapi tidak puji ale.
Untuk mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dibutuhkan agen organic (pemimpin sosial) yang malabbiri’, lambusu, cara’dek, barani dalam bingaki siri na pacce. Kita butuh pemimpin sosial dalam setiap strata dan lembaga sosial kita.
Sebagai
tawaran, perlu dilakukan penelitian komprehensif untuk mencari tahu
lebih dalam nilai-nilai Makassar apa yang kini masih bertahan dan
dipegang kuat oleh masyarakat Makassar dalam kehidupan kesejarian
mereka. Semoga catatan, singkat ini dapat menjadi pengantar diskusi
untuk melahirkan spirit zaman yang lebih kokoh dan kuat untuk menjadi
bagian integral dari interkoneksitas tatanan lainnya.
DAFTAR BACAAN
Abidin, Andi Zainal, Prof. Mr. 1999. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan Makassar: Hasanuddin University Press.
Abidin, Andi Zainal, Prof. Mr. 1999. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan Makassar: Hasanuddin University Press.
Berger, Peter L. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan. Jakarta: LP3ES.
Amien, A. Mappadjantji, 2005. Kemandirian Lokal Konsepsi Pembangunan,Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Freire, Paulo, 1999. Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo, Ivan Illich, Erich From dkk, 2009. Menggungat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarks. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mangemba, H.D, 1956. Kenallah Sulawesi Selatan. Djakarta: Timun Mas.
Mattulada, H.A.Prof.Dr. 1991 Menyusuri Jejak Makassar dalam Sejarah (1510-1700). Makassar: Hasanuddin University Press.
Pelras, Cristian, 2006. Manusia Bugis (terjemahan). Jakarta: Nalar Forum Jakarta-Paris Ecole Francaise d’Extreme-Orient.
Poloma, Margaret M, 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas,J. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Sani, Yamin, M. 2005: Manusia, Kebudayaan, dan Pembangunan di Sulawesi Selatan. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Selatan.
Sztompka, Piotr, 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Veeger,K.J. 1995. Realitas Sosial. Jakarta: PT. Gramedia.
No comments:
Post a Comment