Friday, July 31, 2009

Kumpulan Cerita Pendek

LELAKI BOLEH MENANGIS

Cerpen Syamsuddin Simmau





Laut di lepas Pantai Losari masih saja bergemuruh. Berita tsunami masih saja menebar kengerian. Segala derita juga masih tergambar di tv-tv. Pemerkosaan Sinta yang dilakukan Rahwana juga masih saja memekakan gendang telinga. Sementara I Lagaligo juga masih saja asyik mencabuli istri orang, seperti bapaknya yang juga senang melanggar pamali. Lalu semuanya menjelma sunami.



Lelaki Mimit terjaga. Matanya awas. Mengapa angin dalam dadanya masih saja membadai. Mengapa air masih saja menetes dari pinggir kedua matanya. Lalu mengapa segala kengerian menjelma sakit di ulu hati ketika ia menatap seorang perempuan di depannya.




Lelaki Mimit mencoba menahan angin membadai itu. Tapi sekali lagi ia terpaksa membuka lembar demi lembar mantra songkabala agar air matanya tak mengalir lagi. Dan segalanya kembali seperti semula. Seperti ketika Batara Guru menjelma mani dan menetas di bamboo kuning. Juga seperti We Nyilik Timo yang menjelma ranum segala birahi, bibir selalu basah dengan rambutnya yang menguntai kerinduan segala perkasa lelaki.

Ah, lelaki Mimit masih saja mencari mantra Songkabala. Sesekali ia membaca serpihan mantra dengan bibir gemetar. Air dari kedua belah matanya semakin deras mengalir. “Wahai air mata berhentilah mengalir. Menjelmalah bubung segala rindu di Botinglangi. Agar kemarau dihati menjelma kuncup segala bunga. Menjelmalah danau di Boriliu agar gelisah tak berkisah kepedihan.” Jerit Lekai Mimit membatin karena lidah lelaki membantu.



Air mata itu masih saja mengalir. Karena tak ditemukan mantra penahan air mata lelaki. Lelaki Mimit tahu hanya air mata perempuan yang dapat terbendung janji. Seperti Sawerigading yang sering mengumbar janji untuk perempuannya.





Lembar demi lembar mantara songkabala telah usai dibaca. Tak ada mantra bendung air mata lelaki. Karena Patotoe—yang menentukan nasib—katanya tak memberi air mata pada lelaki. Tapi kenyataannya air mata lelaki Mimit masih saja menganak sungai menuju Sungai Mare di perbatasan Cina.





Tak ada mantra yang mampu membendung air mata lelaki. Tapi Lelaki Mimit itu mengetahui sumber air matanya. Ternyata air mata yang menjelma hujan asin itu berasal dari perempuan Andi Inre.





Lelaki Mimit tak kuasa menahan gelisah. Angin di dadanya masih saja membadai. Ingin rasanya ia menjelma I La Galigo yang memaksa lelaki lain meninggalkan istrinya. Agar Inre tahu, segala ininnawa yang telah menjelma badai di dadanya itu adalah jelmaan dari segala embun yang terdampar di dedaunan pagi.





“Andi Inre,” Lelaki Mimit menggumam laksana gemuruh di sela badai. Aku bukanlah Sawerigading yang menikahi I We Cudai dengan paksa. Lalu menikam rekan sendiri untuk sepenggal harum dari belahan dadamu. Engkaulah yang berkata, aku tak pantas menjelma di batinmu. Karena aku tak tega menebang pohon cinta I La Walenreng. Aku tak tega menjelma mentari jika hanya untuk mengumpulkan segala nestapa dan harta. Aku hanyalah Orowane Sukku Pappoji—lelaki segala pencinta untuk jiwamu yang ranum. Untuk matamu yang membulan. Untuk candamu yang mengicau. Untuk napasmu yang menyepoi. Untuk leher jenjangmu yang meruas. Untuk kulit putihmu yang memega di segala pagi. Untuk hatimu yang mendanau. Untuk harummu yang membelai.

Andi Inre. Akulah Orowane sukku papoji itu. Yang menatapmu walau dengan mata terpejam. Yang membelaimu walau dengan tangan tak bergerak. Yang memujimu laksana Sawerigading yang mabuk cinta pada We Tenriabeng. Engkaulah yang membuatku mabuk walau tak meneguk tuak, Andi Inre.




Tapi deras air mengalir dari kedua belah mataku ini adalah air yang bersumber dari jiwaku yang menangung segala perih. Jiwa yang engkau tutup segala mendung. Jiwa yang engkau tikam dengan tangkai bamboo kuning. Jiwa yang engkau himpit dengan dua gunung berbatu hitam di Senrijawa. Jiwa yang engkau panggang dengan segala panas di pusar bumi. Jiwa yang engkau hianati dengan penghianatan yang nyata. Dengan penghianatan yang menjelma badai. Dengan penghianatan We Cudai pada tunangannya demi menyambut si brengsek Sawerigading.





Padahal Andi Inre-ku. Telah kujelmakan padang ilalang jadi taman segala bunga. Telah kujelmakan air secawan jadi danau. Telah kujelmakan batu hitam Gunung Senrijawa jadi dipan berlapis awan putih tempatmu melepaskan penat. Segalanya telah siap untukmu. Sungguh.





Tapi Andi. Air mata ini bersumber dari mu. Dari luka yang telah kau torehkan. Dari luka yang takkan terhapus hujan semusim. Ini luka telah menjelma badai.





Lelaki Mimit mengela napas dalam. Ia terbayang Ira, Mutiah, Elisa, dan Nisma yang tanpa ragu telah membuka lembar-lembar harinya agar kisah kasmaran Sawerigading dan I We Tenriabeng tertulis nyata. Tapi lelaki sukku pappoji itu bergeming. Karena hatinya, jiwanya, cinna ininnawa-nya telah menjelma tuak tana Cina—yang memabukkan walau tak diteguk—yang menjelmakan kesadaran jadi lupa.





Ira datang dengan tangan terbuka. Dari bibirnya tecium aroma bunga rosi. Rambut hitam panjangnya bergerai bagai bunga alosi. Hidung bulo silappana mangir. Walau lehernya tak beruas, tapi air mengalir dari kerongkongannya tampak ketika ia melepas dahaga. Ira Pakati nama lengkapnya. Perempuan bukan sembarang perempuan. Perempuan dengan mata bettoeng. Perempuan berhati lapang.





Mutiah Cut Tari, adalah perempuan peranakan. Campuran Arab dan Melayu. Kulitnya langsat ranum. Bibirnya merah delima. Rambutnya tergerai sebahu. Alis matanya rapi laksana semut hitam yang berjejer. Ia perempuan berhati danau, hati selalu sejuk. Hati yang tak lelah menampung keluh kesah.





Elisa Rahmadin, perempuan bertubuh sintal. Padat. Sedikit berkulit hitam. Tapi manisnya lebih manis dari gula sari enau. Tatap matanya laksana terpaan embun yang merapat disubuh hari. Tak pernah ada api dari sorot matanya. Ia perempuan mabitti balana. Dialah dermaga terbaik bagi pelaut yang gantung jangkar.

Nisma Asrianti, perempuan berhati kicau burung di pagi hari. Tak ada derita, tak ada duka, tak ada mendung apalagi badai. Hidup baginya adalah keceriahan. Ia perempuan pelipur segalah lara. Ia tempat berlutut bagi para gelisah, menghapus segala duka.




Tapi bagi lelaki Mimit, Andi Inre adalah jelmaan segala keindahan. Hanya dialah perempuan yang apabila ditatap oleh pengembara yang kehausan maka hilanglah hausnya. Apabila ditatap oleh pengelana yang lelah maka lenyaplah lelahnya. Apabila ditatap oleh perompak bermata api maka padamlah apinya. Apabila dipandang dari tanah yang gersang maka hijaulah rumputnya. Apabila dipandang dari bawah pohon kering maka kuncuplah pucuknya. Apabila dipandang dari sisi bunga yang layu maka merekalah bunganya. Bagi lelaki sukku pappoji itu, hanya ada Andi Inre. Hanya Inre.





Air mengalir dari matanya bersumber dari Andi Inre. Perempuan yang sepuluh tahun lalu telah mewujud dihatinya. Perempuan yang telah memberinya kesejukan danau, kelembutan mega, kesegaran embun, keharuman bunga. Perempuan yang telah menjinakkan api perompaknya, perempuan yang telah menambatkan perahu kembaranya, perempuan yang telah menghentikan langkah kafilahnya. Perempuan yang telah memabukkannya.

Tapi air mengalir dari mata Lelaki itu bersumber dari Andi Inre. Perempuan yang kini berjalan lalu lalang di rumah sakit Dadi Makassar. Perempuan yang ia rawat sebagai pasien. Karena lelaki yang sepuluh tahun lalu itu kini telah menjadi psikiater.




Ah. Lelaki Mimit mendesah. Badai dalam dadanya mulai reda. Seiring berita sunami yang mulai berlalu. Tapi air mata yang mengalir itu adalah air mata lelaki. Karena lelaki memang boleh menangis !





Makassar, 21 Mei 2005

1 comment:

Dunia Khayalan said...

Tabe...Gurutta Sudahmi Saya perbaharui blogku...Tabe ini..
http://ardiand-saribattang.blogspot.com